Dalam sebuah WhatsApp Group, terdapat sebuah pertanyaan:

“Saat ini kita akan menyiapkan Program Pendidikan Profesi S1 plus. Salah satunya disiapkan dosen yang mempunyai kriteria Psikolog Sosial. Apakah ada penjelasan yng dimaksud dengan Psikolog Sosial karena selama ini peminat Psikologi Sosial tidak termasuk pada profesi Psikolog tetapi sebagai ilmuwan Psikologi Sosial. Apakah ada yang dapat menjelaskan hal ini? Terimakasih.”

Kemudian ada yang menjawab, sebagai berikut:

“Seperti yang dijelaskan oleh Mb Yunita di atas, bhwa selama ini memang ada Magister Profesi Psikologi Sosial. Kebetulan satu-satunya (seinget saya) adanya di Unpad.
Terkait penyebutan, di Surat Sebutan Psikolog (SSP), tertulis “Psikolog Sosial”.

Namun jika mengacu pada UU PLP, Bidang Keilmuan Pendidikan Psikologi Spesialis dan Sub Spesialis yg diakui adalah PIO, Pendidikan, Klinis.Mungkin yang harus diperjelas adalah nanti posisi Psikolog Sosial….”

 

Tanggapan saya, sebagai berikut:

Mengenai persoalan ‘Tidak ada Psikolog Sosial di Indonesia’, pernah saya ungkap dalam artikel saya sejak tahun 2009, yang berjudul “Rethinking Praktik Psikologi“. Dalam tulisan tersebut saya mempersoalkan definisi sempit dari Praktik Psikologi (yang sayangnya, masih dianut dalam UU Pendidikan dan Layanan Psikologi), dan menyebutkan implikasinya: “Universitas Indonesia (UI) tidak akan pernah lagi melahirkan psikolog sosial, karena, sebagaimana nampak pada Gambar 2, tidak ada program profesi psikologi sosial di UI.”

Dalam komentar-komentar saya terhadap perkembangan RUU Praktik Psikologi, saya telah dengan tegas menyatakan bahwa Profesi Psikolog Sosial pada hakikatnya merupakan Contoh dari profesi Psikolog Akademik. Dalam hal ini, saya mengadvokasikan definisi luas dari “Psikolog” dan “Praktik Psikologi”. Psikolog sosial (social psychologist) di Amerika Latin, misalnya, ‘berkonsentrasi pada isu-isu praktis dan aplikasi dari psikologi‘. Sayangnya, UU Pendidikan dan Layanan Psikologi tidak mengindahkan ameliorasi definisi psikolog.

Kendati pun demikian, menurut hemat saya saat ini masih ada jalan keluar. LSP (Lembaga Sertifikasi Profesi) Psikologi (dalam naungan BNSP/Badan Nasional Sertifikasi Profesi) menerbitkan Sertifikat Kompetensi, diantaranya Perancang dan Fasilitator Pengembangan Komunitas di samping Psikolog Forensik dan Psikolog Industri dan Organisasi. Tampaknya Sertifikasi dari negara ini yang secara “formal-pragmatis” saat ini mendekati definisi Psikolog Sosial.

Mengapa demikian? Oleh karena, sebagaimana tertelusur dari Daftar Unit Kompetensinya, Kompetensi Inti dari Skema Sertifikasi Perancang dan Fasilitator Pengembangan Komunitas mencakup unsur-unsur Asesmen, Intervensi, Konsultasi, Evaluasi – yang lazim merupakan komposisi lengkap dari a professional psychologist (lihat Peterson et al. dalam ulasan sebelumnya). Hanya saja, perlu tambahan syarat minimum S2 Psikologi Peminatan Psikologi Sosial agar semakin menguatkan kualifikasi seorang Psikolog Sosial.

Kesimpulan: Psikolog Sosial adalah

(1) Mereka yang tersertifikasi oleh Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) sebagai Perancang dan Fasilitator Pengembangan Komunitas serta merupakan alumni pendidikan Sarjana Psikologi (S.Psi.) dan Magister Psikologi (M.Si./M.Psi.) Peminatan Psikologi Sosial atau sejenisnya (misal: Terapan Intervensi Sosial); atau

(2) Mereka yang lulus program Magister Psikologi Profesi Peminatan Psikolog Sosial (untuk definisi kedua ini, hanya terbatas dari Universitas Padjadjaran); atau

(3) Mereka yang lulus program Sarjana Psikologi Kurikulum Lama (dengan gelar Drs./Dra.) atau S1 Plus (Program Profesi Psikolog Umum) yang berkiprah dalam wilayah kerja psikologi sosial.

Penulis: Juneman Abraham