Pada Sabtu-Minggu, 3-4 Maret 2018, Himpunan Psikologi Indonesia (Himpsi) menyelenggarakan Rapat Kerja III Himpsi Tahun 2018 di Hotel Santika Premiere Gubeng, Surabaya.

Ketua Kompartemen I Himpsi, Juneman Abraham, juga Lecturer Specialist Jurusan Psikologi BINUS University, turut hadir dalam Raker tersebut, sekaligus sebagai Anggota Tim Ad Hoc Penyelaras Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga dan Tata Hubungan Organisasi IPK-HIMPSI dengan HIMPSI berdasarkan Surat Keputusan Ketua Umum Himpsi No. 026/PP-HIMPSI/XII/17.

Sebelumnya, Tim Ad Hoc AD/ART menghasilkan kesepakatan diantaranya sebagai berikut:

“Perubahan-perubahan perlu didiskusikan pada Bab Keanggotaan di Anggaran Dasar HIMPSI terkait dengan bagaimana HIMPSI mendefinisikan organisasinya sebagai himpunan tempat bernaungnya profesi psikolog dan ilmuwan psikologi, definisi profesi psikolog dan definisi ilmuwan psikologi, ….”

Perlu disampaikan di sini, definisi Psikolog dan Ilmuwan Psikologi yang berlaku saat ini (lihat Kode Etik Psikologi Indonesia, 2010, Bab 1 Pasal 1):

  • PSIKOLOG adalah lulusan pendidikan profesi yang berkaitan dengan praktik psikologi dengan latar belakang pendidikan Sarjana Psikologi lulusan program pendidikan tinggi psikologi strata 1 (S1) sistem kurikukum lama atau yang mengikuti pendidikan tinggi psikologi strata 1 (S1) dan lulus dari pendidikan profesi psikologi atau strata 2 (S2) Pendidikan Magister Psikologi (Profesi Psikolog). Psikolog memiliki kewenangan untuk memberikan layanan psikologi yang meliputi bidang-bidang praktik klinis dan konseling; penelitian; pengajaran; supervisi dalam pelatihan, layanan masyarakat, pengembangan kebijakan; intervensi sosial dan klinis; pengembangan instrumen asesmen psikologi; penyelenggaraan asesmen; konseling; konsultasi organisasi; aktifitas-aktifitas dalam bidang forensik; perancangan dan evaluasi program; serta administrasi. Psikolog DIWAJIBKAN MEMILIKI IZIN PRAKTIK PSIKOLOGI sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
  • ILMUWAN PSIKOLOGI adalah ahli dalam bidang ilmu psikologi dengan latar belakang pendidikan strata 1 dan/atau strata 2 dan/atau strata 3 dalam bidang psikologi. Ilmuwan psikologi memiliki kewenangan untuk memberikan layanan psikologi yang meliputi bidang-bidang penelitian; pengajaran; supervisi dalam pelatihan; layanan masyarakat; pengembangan kebijakan; intervensi sosial; pengembangan instrumen asesmen psikologi; pengadministrasian asesmen; konseling sederhana; konsultasi organisasi; perancangan dan evaluasi program. Ilmuwan Psikologi dibedakan dalam kelompok ilmu murni (sains) dan terapan.

Dalam Raker III Himpsi, salah satu hal yang mengemuka adalah bahwa Keanggotaan Himpsi akan didefinisikan ulang, tidak lagi Psikolog dan Ilmuwan Psikologi, melainkan Anggota Biasa Himpsi adalah: Psikolog, Sarjana Psikologi, Magister Psikologi, dan Doktor Psikologi. Hal ini sebagai konsekuensi dari proposal definisi Himpunan Psikologi Indonesia sebagai satu-satunya organisasi profesi (dan keilmuan) psikologi di Indonesia yang telah berbadan hukum berdasarkan SK Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesai AHU-169.AH.01.07 Tahun 2013 tanggal 30 Agustus 2013.

Dalam berbagai kesempatan, baik dalam Rapat-rapat Tim Ad Hoc AD/ART maupun Raker III Himpsi, Juneman menyampaikan sejumlah pokok pikiran, sebagai berikut:

Pertama, bahwa istilah Ilmuwan Psikologi tidak lagi memadai karena, menurut Peraturan Presiden RI No. 8 Tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI), terdapat perbedaan antara AHLI (KKNI level 8/ S2/Magister) dan ANALIS (KKNI level 6/ S1/Sarjana). Selama ini, AHLI dan ANALIS digabung menjadi satu “payung”, yaitu Ilmuwan Psikologi. Payung ini, jika dibandingkan dengan ketentuan KKNI, menjadi terlalu besar. Di samping itu, berdasarkan pernyataan publik dari Pelaksana Tugas (Plt) Ketua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) bahwa Belum ada Undang Undang Peneliti walaupun sudah ada Undang Undang Guru Dosen, hal yang perlu diantisipasikan adalah apabila suatu saat terbit Undang Undang Peneliti atau Undang Undang Ilmuwan. Sementara itu, jika perubahan AD/ART Himpsi juga dimaksudkan sebagai persiapan menuju sebuah Undang Undang Psikologi, maka yang perlu diperhatikan adalah bahwa: yang dapat diatur dalam sebuah Undang Undang Psikologi adalah Psikolog dan bukan Ilmuwan (misalnya Ilmuwan Psikologi).

Kedua, definisi PSIKOLOG diusulkan agar memuat istilah dan klasifikasi dalam KKNI, yakni: “PSIKOLOG adalah AHLI dalam bidang psikologi.”

Menurut KKNI, dalam jalur Pendidikan, AHLI memiliki 3 (tiga) klasifikasi, yakni AHLI Akademik/Keilmuan, AHLI Terapan, dan AHLI Profesi. Dengan demikian PSIKOLOG dapat dikelompokkan menjadi tiga, yakni Psikolog Akademik, Psikolog Terapan, dan Psikolog Profesi. Dihubungkan dengan bidang-bidang psikologi yang disebutkan oleh American Psychological Association (APA), maka pembagian tersebut menjadi kompatibel dengan pernyataan-pernyataan definisional APA, dengan penjelasan sebagai berikut:

1. Psikolog Akademik (Academic Psychologist). Menurut APA Dictionary of Psychology (2nd ed.) yang disunting oleh Gary R. VandenBos (2015), “The emphasis [of Theoretical Psychology/Academic Psychology] is on understanding for its own sake rather than on the utility of the knowledge” (halaman 70, entri ‘applied psychology‘). Penekanan psikologi akademik adalah pada pemahaman psikologi itu sendiri, bukan pada kegunaannya.

2. Psikolog Terapan (Applied Psychologist). Menurut APA Dictionary of Psychology 2015 (halaman 70, entri ‘applied psychology‘), psikologi terapan adalah “The application of the theories, principles, and techniques of psychology to practical concerns, such as problems of living or coping, education, vocational guidance, industry, ergonomics, consumer affairs, advertising, political campaigns, and environmental issues. It may be  contrasted with  theoretical psychology or academic psychology.” Psikologi terapan merupan aplikasi atau penerapan dari teori-teori, prinsip-prinsip, dan teknik-teknik psikologi untuk kepentingan praktis.

3. Psikolog Profesi (Professional Psychologist), yang berasosiasi dengan Praktik Klinis (Clinical Practice). Pengasosiasian ini sejalan dengan APA Dictionary of Psychology 2015 (halaman 81) dalam entri ‘Association of Psychological Science (APS)‘, yang menyatakan bahwa APS merupakan “a professional organization founded in 1988 to advance the needs and interests of scientific, applied, and academic psychologists  as opposed to  those engaged in clinical practice.

American Psychological Association sebagai organisasi profesi psikologi yang terbesar di dunia, telah memberikan penanda atau pembatas yang jelas di antara ketiganya dengan kata-kata seperti “…. be contrasted with ….” dan “…. as opposed to ….”. Hal ini yang persis dapat menjawab permintaan Kementerian Ristekdikti untuk memberikan pembedaan/distingsi/titik tekan yang jelas di antara professional streams di dalam psikologi.

 

Ketiga, bahwa ketiga jenis anggota Himpsi yang diusulkan di atas (Psikolog Akademik, Psikolog Terapan, dan Psikolog Profesi/Klinis) merupakan bagian dari profesi psikologi. Hal ini juga telah tampak pada definisi APS sebagai “a professional organization” meskipun berfokus pada sains psikologi. Artinya, tidak logis, dan memang juga tidak mungkin, bagi Himpsi untuk mengeksklusikan sains dan terapan psikologi dari profesi psikologi. Menurut APA Dictionary of Psychology 2015 (halaman 841), profession adalah:

an occupation requiring specialized training and skills that meet the established qualifications for entrance into the profession and that match subsequent performance criteria. Among other requirements is adherence to the profession’s rules of conduct governing general business practices and ethical relations between members of the profession and their colleagues and clients.”

Sebagai konsekuensinya:

1. Definisi Psikolog perlu merupakan sebuah definisi yang inklusif, yang mencakup baik Psikolog Akademik, Psikolog Terapan, maupun Psikolog Profesi/Klinis.
Terdapat sebuah preseden peraturan perundang-undangan yang ada yang patut dirujuk, yakni Undang Undang No. 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan. Dalam UU tersebut, definisi Perawat adalah seseorang yang telah lulus pendidikan tinggi Keperawatan, baik di dalam maupun di luar negeri yang diakui oleh Pemerintah sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

Berdasarkan definisi tersebut, dapat disusun definisi Psikolog sebagai berikut:

Psikolog adalah seseorang yang ahli yang telah lulus pendidikan tinggi Psikologi, baik di dalam maupun di luar negeri yang diakui oleh Pemerintah sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

2. Definisi Organisasi Profesi Psikologi juga perlu merupakan sebuah definisi yang inklusif, yang turut mengakui Rekognisi Pembelajaran Lampau.
Terdapat sebuah preseden peraturan yang ada yang patut dirujuk, yakni Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 03 Tahun 2010. Dalam Peraturan KPU tersebut, Bab 1 Pasal 1 menyebutkan bahwa “Tenaga profesional adalah seseorang yang memiliki kemahiran dan keterampilan khusus berdasarkan pendidikan atau pelatihan dalam bidang-bidang khusus, yang dapat membantu pelaksanaan tugas dan fungsi serta peningkatan kinerja KPU melalui pemberian jasa atau layanan sesuai standar dan kode etik profesi.”

Berdasarkan definisi tersebut, dapat disusun definisi Organisasi Profesi Psikologi sebagai berikut:

Organisasi Profesi Psikologi adalah wadah berhimpunnya orang-orang yang memiliki keahlian (kemahiran dan keterampilan) dalam bidang psikologi berdasarkan pendidikan atau pelatihan dalam bidang(-bidang) psikologi, yang dapat memberikan jasa atau layanan sesuai standar dan kode etik profesi psikologi.

Catatan:

  1. Istilah ahli dan keahlian ditambahkan berdasarkan rujukan dari KKNI (Perpres No. 8/2012).
  2. Himpsi merupakan satu-satunya organisasi profesi psikologi. Definisi ini tidak memerlukan penambahan menjadi “satu-satunya organisasi profesi dan keilmuan psikologi” karena akan menjadi sebuah pleonasme. Mengapa? Sebab profesi sudah mencakup juga keilmuan.

Keempat, diskusi mengenai pendefinisian Himpsi sebagai organisasi profesi seyogianya mempertimbangkan definisi profesi itu sendiri. Salah satu definisi yang cukup stabil mengenai profesi dikemukakan oleh Prof. Dr. Kees Bertens dalam bukunya yang termasyur, Etika (diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama, 1993, halaman 280). Profesor Bertes menyebutkan bahwa:

“Profesi adalah suatu moral community (masyarakat moral) yang memiliki cita-cita dan nilai-nilai bersama. Mereka yang membentuk suatu profesi disatukan juga karena latar belakang pendidikan yang sama dan bersama-sama memiliki keahlian yang tertutup bagi orang lain. Dengan demikian profesi menjadi suatu kelompok yang mempunyai kekuasaan tersendiri dan karena itu mempunyai tanggung jawab khusus. Karena memiliki monopoli atas suatu keahlian tertentu, selalu ada bahaya profesi menutup diri bagi orang dari luar dan menjadi suatu kalangan yang sukar ditembus.”

Memperhatikan kata-kata kunci dari definisi profesi di atas, yakni a) latar belakang pendidikan yang sama, b) keahlian yang tertutup, c) kekuasaan tersendiri, d) tanggung jawab khusus, e) monopoli atas suatu keahlian tertentu, serta f) sukar ditembus; maka dapat diajukan penandasan bahwa mereka yang berpendidikan S1 Psikologi dan S2 Psikologi Sains merupakan bagian dari Profesi yaitu Profesi Psikolog Akademik.

Hal tersebut, jika diturunkan dalam kalimat pertanyaan, akan berbunyi sebagai berikut:

1. Apakah mereka yang menempuh jalur pendidikan akademik linear dalam bidang Psikologi (atau: setia dalam bidang Psikologi), yakni S1 Psikologi->S2 Psikologi Sains   atau  S1 Psikologi->S2 Psikologi Sains->S3 Psikologi  memiliki Keahlian Tertutup dan lain-lain (butir a sampai dengan f di atas)?

Apabila jawabnya YA, maka mereka adalah bagian dari profesi psikologi, atau secara khusus disebut sebagai Psikolog Akademik.

Apabila jawabnya TIDAK, maka konsekuensinya cukup serius, yakni potensial timbul sebuah krisis indentitas pendidikan psikologi, yakni:

  • Bagaimana mungkin pendidikan S1 Psikologi->S2 Psikologi Sains tidak menghasilkan keahlian tertentu yang bersifat tertutup?
  • Bagaimana mungkin pendidikan S1 Psikologi->S2 Psikologi Sains->S3 Psikologi hanya menghasilkan keahlian yang mudah ditembus oleh orang/keahlian lain? (sehingga tidak layak diinklusi sebagai bagian dari profesi)?

2. Bagaimana halnya dengan kenyataan multi-entry dalam pendidikan psikologi?

Kenyataan multi-entry dalam pendidikan psikologi (S1 non-Psikologi, S2 Psikologi Sains) sangat berharga bagi pembangunan bangsa. Tindakan sekelompok orang yang menempuh pendidikan formal lintas-disiplin untuk menerapkan ilmu psikologi sangat patut diapresiasi. Oleh karenanya, kita perlu mengembangkan kepercayaan bahwa tidak ada pretensi mereka untuk menyiarkan diri sebagai profesi psikologi. Hal ini sejalan dengan ungkapan (alm.) Prof. Dr. Sarlito Wirawan Sarwono dalam buku “Dialog Psikologi Indonesia: Doeloe, Kini dan Esok” (2007).

“Sekarang dengan sistem penerimaan S2 yang terbuka seperti ini, ada arsitek belajar psikologi, jadilah dia Magister Psikologi Lingkungan, atau yang lainnya. Apa yang dia lakukan, bagaimana dia membuat rumah sesuai dengan gambaran psikologi penghuninya. Bagaimana dengan seorang planolog, perencana kota? Ada salah satu mahasiswa saya yang kebetulan dosen Arsitektur Trisakti. Dia mencoba menyusun kembali lingkungan Kebayoran. Belajar psikologi sampai S2, dia menjadi paham bidang psikologi lingkungan. Sekarang, bisakah seorang psikolog [istilah ‘psikolog’ di sini dalam pengertian yang tercantum dalam Kode Etik Psikologi Indonesia Tahun 2010] merancang Kebayoran? Kan tidak bisa. Tetapi planolog itu bisa belajar psikologi. Kita harus terbuka, tidak perlu kikir dengan ilmu.”

Sekaligus, dalam ungkapan Prof. Sarlito (“Sekarang, bisakah seorang psikolog merancang Kebayoran? Kan tidak bisa”), terungkap kerendahan hati atau kebersahajaan profesi (professional modesty) untuk mengakui keterbatasannya tetapi sekaligus berupaya untuk berkontribusi (“tidak perlu kikir dengan ilmu”) kepada profesi yang lain (misalnya, planolog).

3. Bagaimana halnya dengan lulusan S1 Psikologi? Jika tidak lagi disebut “Ilmuwan Psikologi”, tetapi juga bukan “Psikolog (baik Psikolog Akademik, Psikolog Terapan, Psikolog Profesi/Klinis”), lalu dapat disebut sebagai siapa?

Berdasarkan KKNI (level 6), lulusan S1 Psikologi disebut sebagai “Analis Psikologi“.

Kelima, sehubungan dengan 3 (tiga) jalur pendidikan dalam KKNI, yakni a) jalur keilmuan/akademik, b) jalur terapan, dan c) jalur profesi/spesialis, terdapat sejumlah konsekuensi untuk pendidikan:

1. Oleh karena S1 Psikologi sampai dengan saat ini berada pada jalur keilmuan/akademik/sains (bukan jalur vokasi/terapan), maka mereka yang akan berkarier sebagai Psikolog Terapan, perlu menempuh Matrikulasi Terapan.

2. Adapun untuk S1 non-Psikologi yang hendak menempuh pendidikan S2 Psikologi Terapan, perlu menempuh 2 (dua) kali matrikulasi, yakni: a) Matrikulasi Psikologi, dan b) Matrikulasi Terapan.

Hal tersebut sejalan dengan preseden sebelumnya (lihat Lampiran Surat Direktur Politeknik Kesehatan Semarang No. DM.04.01/A.II.1/550/2014 tanggal 30 Desember 2014), yang menyatakan bahwa Lulusan Sarjana (S1/Sains) Kesehatan dapat memasuki Program Studi Magister Terapan Kesehatan jika menempuh Matrikulasi Terapan yang sesuai. Misalnya, jika akan mengikuti Magister Terapan Kebidanan, maka S1 Sains Kesehatan wajib menempuh Matrikulasi Terapan Kebidanan.

Simpulan Rekomendasi:

  • Sebutan Profesi Psikolog bukan hanya dikenakan kepada lulusan S1 Psikologi Kurikulum Lama (Dra./Drs. Psikologi) atau S1 Psikologi+Pendidikan Profesi Psikolog atau S2 Psikologi Profesi (“Psikolog Profesi“), melainkan juga lulusan S1 Psikologi yang selanjutnya lulus S2 Psikologi Sains (“Psikolog Akademik“) atau lulusan S1 Psikologi yang selanjutnya lulus S2 Psikologi Terapan (“Psikolog Terapan“). Mereka adalah Anggota Biasa Himpunan Psikologi Indonesia (Himpsi) sebagai satu-satunya organisasi profesi psikologi di Indonesia.
  • Usulan sebutan Psikolog yang tidak terbatas pada psikolog praktik klinis dapat dipertanggungjawabkan karena bila kita tilik sesungguhnya Psikolog Akademik dan Psikolog Terapan memiliki ketertutupan keahlian yang jelas, yakni yang menyangkut objek yang berupa dinamika intrapsikis yang tidak shared (terbagi) dengan keahlian akademisi atau praktisi dari bidang ilmu yang lain.
  • Sertifikasi oleh Dikti/LIPI sebagai Lektor/Penata Untuk Bidang Psikologi yang kemudian dilegalisasikan oleh Himpsi dapat dipertimbangkan sebagai salah satu jalur (path) hanya jika dibutuhkan untuk mempertegas keprofesian Psikolog Akademik.
  • Potensi kerancuan di masyarakat akibat perluasan cakupan istilah Profesi Psikolog merupakan risiko dari sebuah shifting. Menjadi tanggungjawab organisasi profesi untuk melakukan edukasi keberlanjutan kepada para pemangku kepentingan. Riset-riset dalam bidang Psikologi di dalam negeri pernah beberapa kali dikritik sebagai minim dan tertinggal, baik secara kuantitas maupun kualitas. Shifting yang bersifat disruptif, seperti rekognisi yang tegas atas keprofesian Psikolog Akademik, kiranya perlu juga untuk meningkatkan minat masyarakat mendalami Psikologi Sains dan menerapkannya, sehingga peristiwa-peristiwa seperti ditutupnya Program Studi S2 Psikometri dan/atau semakin merosotnya jumlah mahasiswa Magister Psikologi Sains tidak perlu terus berlangsung.
  • Kedudukan lulusan S1 Psikologi (S.Psi.) yang tidak melanjutkan pendidikan PascaSarjana Psikologi   (“Analis Psikologi“) dalam kategori keanggotaan Himpunan Psikologi Indonesia perlu didiskusikan lebih lanjut.

Demikianlah kelima butir pemikiran Juneman yang diusulkan kepada Himpunan Psikologi Indonesia.

 

Penulis: Dr. Juneman Abraham