Pingkan C. B. Rumondor, M.Psi., Psikolog

 

Apakah kamu ingin memiliki pernikahan yang membahagiakan?

Tebakan saya, kamu (dan sebagian besar orang) ingin memiliki pernikahan yang membahagiakan. Apalagi, dari data survey tahun 2014 yang melibatkan 36.385 orang Indonesia, ditemukan bahwa status menikah ini berkorelasi dengan kebahagiaan dan kepuasan hidup (Sujarwoto et al., 2018). Orang dengan status menikah memiliki 9% kemungkinan lebih bahagia dan 5% kemungkinan lebih puas dengan hidup dibandingkan dengan orang dengan status tidak menikah. Bahkan, hubungan antara status menikah dengan kebahagiaan ini lebih besar daripada faktor individual seperti status pekerjaan (8%) dan status kesehatan (6%). Artinya, pernikahan merupakan hal yang penting bagi kebahagiaan orang Indonesia (Sujarwoto et al., 2018).

Tentu saja, hasil survei tersebut tidak lengkap. Tidak semua orang yang menikah lebih bahagia dibandingkan orang yang menikah. Coba bayangkan, bagaimana mau bahagia kalau setiap hari bertengkar dengan pasangan? Apalagi, ketika menikah, masalah pasangan menjadi masalah kita juga. Belum lagi masalah-masalah lain seperti cekcok dengan mertua atau stres sehari-hari dalam mengurus anak dan rumah tangga. Makanya, agar memiliki hidup yang bahagia dan puas, penting juga untuk mengetahui cara menjaga pernikahan agar tetap memuaskan dan membahagiakan.

Sebetulnya, sudah banyak hasil penelitian yang berusaha mengetahui apa saja faktor-faktor yang dapat memprediksikan kepuasan pernikahan (Joel, et al., 2020). Permasalahannya, dalam literatur barat (Amerika utara/ Eropa barat), konstruk “kepuasan pernikahan” bisa dipakai secara bergantian dengan “kepuasan hubungan”. Bahkan dalam Encyclopedia of Quality of Life and Well-Being Research, disebutkan bahwa sinonim untuk kepuasan hubungan ialah kepuasan pernikahan dan kepuasan terhadap pasangan hidup (Keizer, 2014).

Tunggu dulu, apa itu kepuasan pernikahan dan kepuasan hubungan?

Kepuasan hubungan adalah evaluasi subjektif mengenai relasi seseorang dengan pasangannya (Keizer, 2014). Jadi, peneliti-peneliti di dalam literatur barat tampaknya mengasosiasikan pernikahan (marriage) dengan pasangan hidup (partner). Sepertinya, kalau membicarakan evaluasi tentang pernikahan seseorang, maka titik beratnya adalah bagaimana orang itu melihat hubungannya dengan pasangan (suami/istri).

Bagaimana dengan orang Indonesia?

Apakah kepuasan pernikahan pada orang Indonesia juga dinilai dari evaluasi tentang relasi suami istri? Untuk mengetahui hal ini, coba tanyakan ke keluarga/kerabat yang sudah menikah: seperti apa pernikahan yang memuaskan? Saya sudah mencobanya. Dalam salah satu studi disertasi, saya meminta pasangan menilai pernikahan mereka dari 1 sangat tidak memuaskan hingga 10 sangat memuaskan. Lalu saya meminta mereka menjelaskan apa alasan dari evaluasi tersebut. Nah, dari hasil sementara wawancara yang saya lakukan ke delapan pasangan suami-istri, ternyata bukan hanya relasi suami-istri yang menjadi pertimbangan untuk mengevaluasi pernikahan. Ada pasangan yang menjawab bahwa kehadiran anak menjadi salah satu pertimbangan. Pasangan lainnya menilai kepuasan pernikahan ditentukan juga oleh berapa banyak dukungan dari mertua/orangtua untuk menjaga anak saat mereka bekerja. Berbeda sekali ya dengan anggapan di barat bahwa kepuasan pernikahan = kepuasan hubungan.

Cerita tentang penelitian kami

Oleh karena alasan itulah, saya dan rekan saya Farah Djalal (dosen dan peneliti di bidang psikologi kognitif) ingin tahu lebih lanjut mengenai: apa konsep pernikahan bagi orang Indonesia? Pada studi pertama, kami ingin tahui bagaimana orang Indonesia usia dewasa (18 tahun ke atas) mempersepsikan pernikahan sebagai konsep. Selain melihat gambaran konsep pernikahan, kami berasumsi bahwa orang-orang yang bahagia, puas dengan hidup dan relasinya akan mempersepsikan pernikahan secara berbeda. Oh ya, penelitian ini bukan hanya untuk yang sudah menikah lho…

Mengingat eratnya hubungan antara pernikahan, kepuasan pernikahan dan kebahagiaan, kami juga ingin tahu bagaimana para lajang usia dewasa (muda, madya, akhir) mempersepsikan pernikahan sebagai konsep. Pada studi selanjutnya, kami berencana melihat lagi fitur-fitur pernikahan yang muncul dari studi pertama. Lalu, kami ingin tahu, fitur-fitur mana saja yang dinilai penting. Tidak berhenti sampai di situ, kami penasaran apakah derajat kepentingan pada fitur-fitur tertentu akan berhubungan dengan kebahagiaan, kepuasan hidup dan hubungan pada seseorang. Terakhir, rencananya kami mau meneliti pasangan, melihat persepsi mereka tentang pernikahan, derajat kepentingan dan bagaimana persamaan/perbedaan persesi mereka berkorelasi dengan kepuasan hubungan.

Saya berharap, penelitian tentang konsep pernikahan pada orang Indonesia ini pada akhirnya bisa digunakan untuk membantu individu mencapai pernikahan yang memuaskan ala mereka. Jika kita bisa mengetahui fitur apa yang berhubungan dengan kebahagiaan, kepuasan hidup dan kepuasan pernikahan, maka kita bisa mengedukasi individu yang berencana menikah. Kita bisa memberitahukan mereka, kira-kira seperti ini: “Hey.. ini lho cara orang yang bahagia dan puas mempersepsikan pernikahan. Bagaimana dengan cara kamu mempersepsikan pernikahan? Apakah sudah mendekati persesi seorang yang bahagia dan puas?”.

Hasil penelitian ini juga bisa berguna untuk pasangan yang sudah menikah. Mereka jadi bisa merefleksikan lagi: apakah mereka punya persepsi yang sama tentang pernikahan? Persepsi tentang suatu konsep menjadi penting, karena hal ini menggambarkan cara pikir seseorang tentang konsep tertentu, misal: pernikahan. Dari fitur yang digunakan untuk menggambarkan pernikahan, kita bukan hanya bisa melihat deskripsi pernikahan (descriptive) tapi juga apa yang diinginkan seseorang dari pernikahan (prescriptive). Kamu dapat mengecek tulisan Bear & Knobe (2017) kalau kamu ingin tahu lebih jauh tentang hal ini. Nah, cara berpikir seseorang tentang pernikahan, kemudian bisa menentukan bagaimana perilakunya dalam pernikahan. Jadi, informasi tentang konsep pernikahan orang Indonesia ini akan berguna sekali.

Konsep pernikahan pada mahasiswa

Oh ya, meskipun masih banyak pertanyaan yang ingin kami jawab, tapi kami juga sudah menemukan temuan menarik nih. Kami sudah melakukan studi tentang konsep pernikahan pada mahasiswa. Dari 135 mahasiswa usia 17 sampai 20 tahun yang mengisi survey, kami menemukan 10 fitur terbanyak yang dipakai mahasiswa untuk menjawab “Apa itu pernikahan?”. Ternyata, sebagian besar partisipan mempersepsikan bahwa pernikahan adalah suatu ikatan yang sah secara hukum dan agama, melibatkan cinta, hubungan dua pihak yang menyatu, ada hubungan timbal balik, melibatkan komitmen, bersifat sakral, melibatkan dua individu, suatu ibadah, untuk membentuk keluarga dan untuk memiliki keturunan. Jadi, bagi mahasiswa, pernikahan memang bukan sekedar cinta saja, tapi juga adalah suatu ikatan yang sah secara hukum dan agama. Bahkan, dari 10 jawaban terbanyak, hanya separuh (5 jawaban) yang menyiratkan soal relasi dengan pasangan (melibatkan cinta, hubungan dua pihak yang menyatu, ada hubungan timbal balik, melibatkan komitmen, dan melibatkan dua individu).

Jawaban lainnya memperlihatkan bahwa mahasiswa mempersepsikan pernikahan sebagai institusi sosial yang memiliki berbagai tujuan, seperti membentuk keluarga dan memiliki keturunan. Menariknya, mahasiswa di Indonesia juga melihat pernikahan sebagai sesuatu yang sakral dan sebagai suatu ibadah. Jadi, pernikahan bukan hanya dilakukan demi alasan ‘duniawi’, tetapi ada alasan ‘spiritual’ di balik pernikahan. Oh ya, jawaban ini adalah jawaban mahasiswa yang belum menikah. Jadi mereka melihat pernikahan dari luar, dan belum menjalankannya. Ada kemungkinan, jawaban dari orang yang sudah menikah bisa berbeda lagi nih..

Apakah kamu mau membantu kami?

Kalau kamu mau membantu kami mencari jawaban, agar tidak penasaran, kamu bisa bantu menyebarkan link berikut ini untuk orangtua, saudara, atau kakak yang berusia dewasa dan bukan mahasiswa: [http://tiny.cc/ConceptofMarriage].

Temuan menarik lainnya dari penelitian ini bisa kamu lihat di tulisan rekan saya berikut ini ya: Konsep Pernikahan Bagi Mahasiswa.

Hasil penelitian ini juga sudah kami presentasikan di ICOBAR 2020, kamu bisa lihat video presentasi kami dengan cara klik link ini: What is a Marriage anyway?

Kalau sudah selesai baca dan nonton video di atas, kamu bisa tulis pendapat kamu di kolom komentar. Jadi, kita bisa berdiskusi ?

Sampai ketemu di tulisan berikutnya!

-Pingkan

Referensi:

Bear, A., & Knobe, J. (2017). Normality: Part descriptive, part prescriptive. Cognition, 167, 25–37. https://doi.org/10.1016/j.cognition.2016.10.024

Joel, S., Eastwick, P. W., Allison, C. J., Arriaga, X. B., Baker, Z. G., Bar-Kalifa, E., Bergeron, S., Birnbaum, G. E., Brock, R. L., Brumbaugh, C. C., Carmichael, C. L., Chen, S., Clarke, J., Cobb, R. J., Coolsen, M. K., Davis, J., de Jong, D. C., Debrot, A., DeHaas, E. C., … Wolf, S. (2020). Machine learning uncovers the most robust self-report predictors of relationship quality across 43 longitudinal couples studies. Proceedings of the National Academy of Sciences, 201917036. https://doi.org/10.1073/pnas.1917036117

Keizer, R. (2014). Relationship Satisfaction. In Encyclopedia of Quality of Life and Well-Being (pp. 5436–5443). Springer Reference.

Sujarwoto, S., Tampubolon, G., & Pierewan, A. C. (2018). Individual and Contextual Factors of Happiness and Life Satisfaction in a Low Middle Income Country. Applied Research in Quality of Life, 13, 927–945. https://doi.org/10.1007/s11482-017-9567-y