Penggunaan Media Canva dalam Pembelajaran Informatika
Pada hari Kamis, 31 Oktober 2024, mahasiswa Psikologi Binus University melakukan kunjungan observasi ke SMAN 78 Jakarta untuk mengamati proses pembelajaran inovatif di kelas 11 J pada mata pelajaran Informatika. Observasi ini bertujuan untuk melihat implementasi media digital inovatif dalam kelas dan disini kami mengamati penggunaan media digital inovatif khususnya Canva, sebagai alat bantu presentasi kelompok dalam proses pembelajaran. Pembelajaran diampu oleh Pak Dody, seorang guru Informatika yang berupaya menerapkan pendekatan pembelajaran berbasis teknologi dan kolaborasi. Selain melakukan observasi langsung, tim juga melakukan wawancara dengan salah satu siswa bernama Denis untuk mendapatkan perspektif siswa terhadap metode pembelajaran yang diterapkan.
Observasi dimulai ketika Pak Dody membuka sesi pembelajaran dengan topik “Dampak Positif dan Negatif Media Sosial” dan mempersilakan kelompok yang sudah siap untuk mempresentasikan hasil diskusi mereka. Harapannya, siswa akan menunjukkan inisiatif sukarela untuk memulai presentasi. Namun, situasi yang terjadi cukup mengejutkan. Selama hampir 30 menit, tidak ada satu pun kelompok yang mengajukan diri untuk maju ke depan kelas. Kevakuman ini menunjukkan kemungkinan adanya kekurangan kesiapan atau kurangnya rasa percaya diri di antara siswa. Akhirnya, untuk memulai kegiatan pembelajaran, Pak Dody menunjuk Kelompok 1 yang terdiri dari 5 orang siswa (3 siswa laki-laki dan 2 siswa perempuan) untuk melakukan presentasi.
Ketika Kelompok 1 memulai presentasi dengan pembukaan standar, terlihat bahwa para presenter kurang menguasai materi yang mereka susun. Proses presentasi lebih terkesan sebagai aktivitas “membaca slide” daripada “mempresentasikan” dengan pemahaman yang mendalam terhadap konsep dan isi materi. Meskipun Canva menawarkan berbagai fitur visualisasi yang menarik, penggunaannya belum optimal karena siswa tidak mengembangkan ide secara mandiri dan hanya terpaku pada teks yang tertera di layar.
Kondisi kelas selama presentasi berlangsung sangat tidak kondusif. Sebagian besar siswa yang bertindak sebagai audiens tidak memperhatikan jalannya presentasi. Banyak siswa di setiap meja terlihat sibuk dengan urusan masing-masing. Yang lebih memprihatinkan, tingkat ketidakseriusan juga terlihat dari kelompok yang sedang presentasi itu sendiri. Salah satu anggota Kelompok 1 bahkan terpantau sedang mengobrol dengan temannya yang tidak sedang presentasi pada saat presentasi kelompoknya sendiri sedang berlangsung. Menariknya, kondisi fisik ruangan yang nyaman dan ber-AC ternyata tidak berkorelasi positif dengan tingkat fokus dan kondusivitas belajar siswa pada saat itu.
Untuk melengkapi data observasi, tim melakukan wawancara mendalam dengan Denis, salah satu siswa kelas 11 J yang mengikuti pembelajaran tersebut. Wawancara ini memberikan perspektif berharga tentang pengalaman belajar siswa dan tantangan yang mereka hadapi.
Menurut Denis, pembelajaran Informatika di kelasnya biasanya lebih menarik ketika melibatkan praktik teknologi langsung. Ia mencontohkan pengalaman sebelumnya ketika mereka belajar membuat poster menggunakan aplikasi berbasis kecerdasan buatan (AI), yang menurutnya jauh lebih engaging dibandingkan dengan metode presentasi kelompok. Denis mengakui bahwa aktivitas yang paling menarik adalah saat mereka belajar hal-hal interaktif seperti konversi bilangan desimal, okta, dan heksadesimal, serta penggunaan papan tulis digital yang memungkinkan siswa maju ke depan dan berinteraksi langsung dengan materi.
Terkait efektivitas metode pembelajaran hari itu, Denis menyampaikan pandangan yang cukup kritis. Ia merasa bahwa metode presentasi kelompok mungkin efektif untuk siswa yang sudah rajin dan mandiri, tetapi bagi dirinya pribadi, metode ini kurang membantu pemahaman mendalam. Denis mengeluhkan minimnya sumber informasi atau bahan bacaan pendukung yang tersedia sebagai referensi, sehingga pemahamannya terhadap materi menjadi terbatas. Ia juga mengungkapkan pengalaman kurang menyenangkan di kelas 10 saat belajar MS Word, di mana guru kurang maksimal dalam memberikan perhatian personal kepada setiap siswa yang mengalami kesulitan.
Dalam hal keterlibatan aktif, Denis dengan jujur mengakui bahwa ia cenderung menjadi “pengikut” yang menunggu arahan atau mengikuti apa yang teman-teman lain lakukan, sehingga metode pembelajaran hari itu tidak meningkatkan partisipasinya secara signifikan. Menariknya, Denis memberikan saran konstruktif untuk perbaikan: ia menekankan pentingnya otoritas guru dalam menjaga kondusivitas kelas. Menurutnya, ketika siswa melakukan presentasi, guru harus tetap memegang kendali penuh agar suasana kelas tetap kondusif dan materi yang disampaikan dapat diterima dengan baik oleh seluruh siswa.
Pembelajaran inovatif adalah pendekatan pembelajaran yang mengintegrasikan metode, strategi, dan teknologi baru untuk meningkatkan keterlibatan siswa dan efektivitas pembelajaran (Zhu & Engels, 2014). Pembelajaran inovatif tidak hanya berfokus pada penggunaan teknologi, tetapi juga pada bagaimana teknologi tersebut dapat mendorong siswa untuk berpikir kritis, berkolaborasi, dan mengembangkan keterampilan abad ke-21 (Fullan & Langworthy, 2014). Dalam konteks ini, media digital seperti Canva memiliki potensi besar sebagai alat untuk mendukung kreativitas dan visualisasi ide siswa.
Namun, keberhasilan pembelajaran inovatif sangat bergantung pada kesiapan dan keterlibatan aktif siswa (Kirkwood & Price, 2014). Teknologi hanya akan efektif jika siswa memiliki motivasi intrinsik, keterampilan literasi digital yang memadai, dan kemampuan untuk berkolaborasi secara produktif. Observasi dan wawancara di SMAN 78 menunjukkan bahwa meskipun infrastruktur teknologi tersedia dan media inovatif telah diperkenalkan, rendahnya inisiatif dan partisipasi siswa menjadi hambatan utama dalam implementasi pembelajaran inovatif.
Lebih lanjut, pembelajaran inovatif yang efektif memerlukan keseimbangan antara otonomi siswa dan bimbingan guru (Tsai et al., 2020). Hasil wawancara dengan Denis menggarisbawahi pentingnya peran guru dalam memfasilitasi pembelajaran aktif, bukan hanya sebagai fasilitator pasif. Guru perlu mempertahankan classroom management yang kuat sambil memberikan ruang bagi siswa untuk bereksplorasi. Selain itu, penyediaan sumber belajar yang memadai merupakan prasyarat penting agar siswa dapat mempersiapkan diri dengan baik dan terlibat secara bermakna dalam pembelajaran berbasis presentasi.
Artikel ini ditulis oleh: Aditya Rahadian Indratno, Aliza Salma Afina, Hawa Fazila, Jovanka Shallomitha Kneefel, Michelle Elizabeth Dualim, Olivia Fortino De Cokro dengan dosen pembimbing Muhamad Nanang Suprayogi, S.Psi., M.Si, Ph.D.
Referensi
Fullan, M., & Langworthy, M. (2014). A rich seam: How new pedagogies find deep learning. London: Pearson.
Kirkwood, A., & Price, L. (2014). Technology-enhanced learning and teaching in higher education: What is ‘enhanced’ and how do we know? A critical literature review. Learning, Media and Technology, 39(1), 6-36.
Tsai, C. W., Shen, P. D., & Lu, Y. J. (2020). The effects of problem-based learning with flipped classroom on elementary students’ computing skills: A case study of the production of Ebooks. International Journal of Information and Communication Technology Education, 11(2), 32-40.
Zhu, C., & Engels, N. (2014). Organizational culture and instructional innovations in higher education: Perceptions and reactions of teachers and students. Educational Management Administration & Leadership, 42(1), 136-158.





Comments :