Fenomena quiet quitting semakin sering muncul di kalangan karyawan, yaitu kondisi ketika mereka tetap bekerja tetapi hanya menjalankan tugas minimum tanpa usaha ekstra. Dalam perspektif Psikologi Industri dan Organisasi, perilaku ini bukan sekadar kurangnya motivasi, tetapi bentuk respons terhadap situasi kerja yang tidak memenuhi kebutuhan psikologis dasar. Seseorang memasuki dunia kerja dengan ekspektasi mendapatkan bimbingan, penghargaan, serta kejelasan peran. Ketika harapan tersebut tidak terpenuhi misalnya tugas tidak jelas, budaya kerja tidak suportif, atau minim feedback intern cenderung menarik diri secara emosional dan menurunkan tingkat keterlibatan (employee engagement).

Faktor lain yang memicu quiet quitting adalah ketidakseimbangan antara tuntutan kerja dan sumber daya yang diberikan, sebagaimana dijelaskan dalam Job Demands-Resources  Model. karyawan sering diberikan tugas berlebihan tanpa pendampingan yang memadai, memicu stres dan kelelahan emosional. Ketika energi psikologis menurun, perilaku withdrawal seperti bekerja sekadar “cukup” menjadi mekanisme bertahan untuk mencegah burnout. Selain itu, fenomena imposter syndrome dan rasa takut membuat kesalahan juga dapat membuat intern memilih “aman” dengan tidak berusaha lebih dari batas minimum.

Dari sisi dinamika organisasi, quiet quitting muncul akibat rendahnya psychological safety atau rasa aman psikologis. Karyawan sering merasa sungkan mengungkapkan kebingungan, meminta kejelasan tugas, atau menyampaikan beban kerja kepada atasan. Ketika suara mereka tidak didengar, muncul persepsi bahwa usaha lebih tidak akan dihargai. Hal ini membuat mereka bersikap pasif dan menjaga jarak dari pekerjaan sebagai bentuk perlindungan diri. Kurangnya gaya kepemimpinan yang suportif seperti coaching, mentoring, dan umpan balik yang konstruktif semakin memperkuat perilaku disengagement tersebut.

Untuk mengurangi quiet quitting, organisasi perlu memastikan lingkungan kerja yang suportif dan transparan bagi intern. Atasan perlu memberikan arahan yang jelas, komunikasi yang empatik, serta penghargaan terhadap usaha kecil maupun besar. Sementara itu, intern dapat melatih komunikasi asertif, meminta klarifikasi, serta menetapkan batasan kerja yang sehat. Ketika perusahaan dan intern sama-sama memahami kebutuhan psikologis satu sama lain, pengalaman magang dapat menjadi lebih bermakna, meningkatkan motivasi, dan meminimalisir munculnya perilaku quiet quitting di awal karier mereka.

Penulis: Widya tri oktavi Handayani – 2602136215

Editor: Andrea Prita Purnama Ratri

Referensi:

Bakker, A. B., & Demerouti, E. (2017). Job Demands–Resources theory: Taking stock and looking forward. Journal of Occupational Health Psychology.

Edmondson, A. C. (2019). The fearless organization: Creating psychological safety in the workplace for learning, innovation, and growth. Wiley.

Huang, J., & Zhao, X. (2023). Gen Z in the workplace: Anxiety, expectations, and communication challenges. International Journal of Workplace Psychology.

Keller, A. C., & Meier, L. L. (2021). Employee disengagement and the quiet quitting trend: A psychological perspective. Journal of Organizational Behavior.

Li, A., & Wang, S. (2022). Imposter syndrome and work-related anxiety among young employees: The mediating role of self-efficacy. Personality and Individual Differences.

https://unsplash.com/photos/woman-in-black-blazer-sitting-on-chair-yjHh4JpZQT8