Kata Nalar :  Komunikasi Pendidikan di Era Digital dan Tantangan Interaksi Virtual

 

Pendahuluan

Perkembangan teknologi digital membawa perubahan besar dalam cara manusia berinteraksi. Di tengah derasnya arus inovasi seperti metaverse, Augmented Reality (AR), dan Virtual Reality (VR), dunia pendidikan menjadi salah satu sektor yang paling terdampak. Pandemi COVID-19 mempercepat transformasi ini, memaksa guru, siswa, dan orang tua untuk menavigasi pembelajaran daring yang sarat tantangan dan peluang baru.

Komunikasi – sebagai inti dari proses Pendidikan – kini tidak hanya terjadi secara tatap muka, melainkan juga melalui medium digital yang membutuhkan kepekaan, empati, serta keterampilan teknologi. Komunikasi digital dalam pendidikan memerlukan rekontekstualisasi nilai-nilai humanistik agar tidak kehilangan dimensi emosional dan moral dalam hubungan guru-siswa.

Metaverse dan Realitas Baru dalam Pembelajaran

Metaverse diartikan sebagai dunia digital tiga dimensi tempat manusia dapat berinteraksi, bekerja, dan belajar dalam bentuk virtual yang menyerupai dunia nyata. Kehadiran metaverse membuka peluang bagi pendidikan untuk menciptakan pengalaman belajar yang lebih imersif. Misalnya, siswa dapat melakukan simulasi eksperimen kimia atau menjelajahi sejarah dunia melalui avatar digital Zunic, Dlab, Hoic-Bozic & Pribičević, 2025). Namun demikian, penerapan metaverse di pendidikan tidak boleh berhenti pada aspek teknologi semata. Tantangan utama terletak pada pembangunan etika komunikasi dan literasi digital agar peserta didik tidak terjebak dalam realitas semu. Pembelajaran yang baik harus tetap memelihara presence – rasa kehadiran manusiawi antara guru dan murid.

Selain itu, penerapan metaverse juga perlu mempertimbangkan konteks sosial budaya peserta didik. Dalam masyarakat dengan keterbatasan infrastruktur digital, kesenjangan akses menjadi isu serius yang dapat memperlebar jurang ketimpangan pendidikan. Oleh karena itu, inovasi teknologi harus disertai kebijakan inklusif agar setiap anak memiliki kesempatan yang setara untuk belajar di dunia digital.

 

Augmented Reality dan Virtual Reality: Dua Dunia Komunikasi

Augmented Reality (AR) memperluas realitas fisik dengan elemen digital, sedangkan Virtual Reality (VR) menciptakan lingkungan sepenuhnya baru yang terpisah dari dunia nyata. Dalam konteks komunikasi pendidikan, AR membantu memperkaya interaksi antara siswa dan materi pelajaran tanpa menghapus konteks nyata, sementara VR memungkinkan pengalaman belajar yang mendalam dan eksploratif.

Penggunaan AR dan VR meningkatkan engagement siswa terutama ketika guru mampu mengintegrasikan komunikasi empatik dan naratif dalam setiap aktivitas pembelajaran. Guru bukan hanya fasilitator teknologi, tetapi juga mediator makna yang menghubungkan dimensi digital dengan pengalaman manusiawi.
Selain itu, VR dapat menjadi sarana untuk mengembangkan soft skills seperti kerja sama dan empati melalui simulasi sosial.

Pembelajaran Online: Antara Keterbatasan dan Peluang

Pandemi memaksa jutaan pendidik beradaptasi ke sistem online learning. Berdasarkan temuan lapangan, siswa menghadapi kesulitan memahami materi, kebosanan, dan keterbatasan interaksi sosial. Namun, mereka juga menemukan keunggulan seperti fleksibilitas waktu dan kesempatan mengenal teknologi baru.
Di sisi lain, orang tua dan guru mengalami dilema serupa. Mereka memperoleh keamanan dan waktu lebih bersama keluarga, tetapi menghadapi stres karena beban teknologi, konflik peran, dan kecemasan anak yang kecanduan gawai. Fenomena ini memperlihatkan bahwa komunikasi yang efektif menjadi kunci keberhasilan pendidikan daring. Menurut Hodges et al. (2020), keberhasilan online learning bergantung pada tiga hal: kejelasan pesan (clarity), keterlibatan emosional (emotional presence), dan respons cepat terhadap kebutuhan peserta didik (responsiveness).

Modal Komunikasi yang Efektif

Tiga unsur utama komunikasi yang baik dalam konteks pendidikan digital adalah: Listening, Congruence, dan Empathy. Listening berarti mendengarkan bukan hanya kata-kata, tetapi juga emosi di baliknya. Congruence menunjukkan kesesuaian antara pikiran, kata, dan tindakan. Empathy memungkinkan guru menempatkan diri dalam perspektif siswa. Empati dalam komunikasi pendidikan terbukti meningkatkan motivasi belajar dan rasa percaya diri siswa.

Guru juga perlu membangun komunikasi reflektif – yakni komunikasi yang didasarkan pada kesadaran akan dampak ucapan dan tindakan terhadap perkembangan emosional siswa. Komunikasi yang reflektif memerlukan latihan introspeksi, kejujuran, dan kehadiran penuh (presence).

Hambatan Komunikasi di Era Digital

Hambatan utama dalam komunikasi digital meliputi judgement, labelling, negative thinking, anxiety, expectation, dan lack of understanding. Di ruang virtual, pesan mudah disalahartikan karena hilangnya elemen non-verbal seperti ekspresi wajah dan intonasi suara. Untuk mengatasinya, diperlukan kesadaran komunikasi yang inklusif dan reflektif. Guru dan siswa harus berlatih digital mindfulness – kemampuan hadir secara penuh dalam percakapan daring tanpa distraksi teknologi (Kabat-Zinn, 2021).

Komunikasi Positif dan Asertif

Komunikasi positif menuntut perubahan paradigma dari fokus pada masalah menuju fokus pada potensi. Bahasa positif menumbuhkan rasa aman dan menghargai dalam hubungan guru-siswa. Sementara itu, komunikasi asertif memungkinkan seseorang mengekspresikan perasaan dan kebutuhan tanpa menyerang atau menghindar. Formula “Saya merasa… saat… karena… bolehkah…” efektif untuk membangun dialog terbuka. Menurut Alberti & Emmons (2022), komunikasi asertif meningkatkan harga diri, menurunkan stres interpersonal, dan memperkuat hubungan kolaboratif di lingkungan pendidikan.

Mindfulness dalam Komunikasi Pendidikan

Mindfulness communication menuntun guru dan siswa untuk menyadari perasaan, pikiran, dan tindakan mereka pada saat ini tanpa penilaian. Pendekatan ini penting dalam pendidikan era digital karena membantu mengembalikan sentuhan manusiawi yang sering hilang di balik layar. Penerapan mindfulness pada proses komunikasi meningkatkan fokus, menurunkan konflik kelas, dan memperbaiki kesejahteraan psikologis pendidik. 

Penutup

Komunikasi di era digital bukan sekadar keterampilan teknis, tetapi juga ekspresi nilai-nilai kemanusiaan. Dalam konteks pendidikan, teknologi hanyalah alat; yang menentukan kualitas interaksi tetaplah hati dan empati manusia. Dunia digital mungkin menciptakan jarak fisik, tetapi komunikasi yang sadar dapat menjembatani kembali kedekatan batin antarmanusia.

Daftar Pustaka

Alberti, R. E., & Emmons, M. L. (2017). Your Perfect Right: Assertiveness and Equality in Your Life and Relationships. Oakland: New Harbinger Publications, Inc.

Hodges, C., Moore, S., Lockee, B., Trust, T., & Bond, A. (2020). The difference between emergency remote teaching and online learning. Educause review27(1), 1-9.

Kabat-Zinn, J. (2021). Mindfulness for Beginners: Reclaiming the Present Moment. Hachette.

Zunic, M., Dlab, M. H., Hoic-Bozic, N., & Pribičević, Z. (2025). Educational Potential of the Metaverse. International Journal of Distance Education Technologies23(1).

 

 

Penulis : Yosef Dedy Pradipto  D4671