Mengapa Kita Mudah Terpengaruh? Psikologi di Balik Fenomena Pengaruh Sosial
Apa itu pengaruh sosial?
Sebagaimana kita ketahui, manusia merupakan makhluk yang bersosial. Namun, apakah kita benar-benar memahami makna dari konsep sosial secara mendalam? Sejak kecil, kita sering mendengar istilah ‘makhluk sosial’, tetapi apakah itu berarti mustahil bagi manusia untuk menghabiskan seluruh hidupnya sendirian di dunia ini? Atau, apakah cukup bagi manusia jika tidak selalu menjadi bagian dari komunitas tertentu? Jika kita menelusuri teori-teori terdahulu, khususnya yang membahas kebutuhan dasar manusia dan hubungan antar individu, konsep ini menjadi lebih mudah dipahami.
Manusia memiliki kebutuhan mendasar untuk merasa terhubung dengan orang lain, sebagaimana dikutip dari Baumeister dan Leary (1995). Hubungan sosial yang positif memerankan peran penting dalam kesejahteraan psikologis individu (N. A. Addini & Eva, 2025). Hal ini menunjukkan bahwa keterikatan antar pribadi merupakan motivasi mendasar manusia untuk merasa memiliki atau ‘belonging’, terhubung, dan diterima secara sosial, sehingga untuk menjawab pertanyaan di atas, manusia secara alami membutuhkan interaksi sosial dan ketiadaannya dapat memberikan dampak negatif. Hal tersebut merupakan salah satu dari alasan mengapa terjadi fenomena pengaruh sosial.
Pengaruh sosial merupakan perubahan sikap, keyakinan, dan tindakan atau perilaku individu yang dipengaruhi oleh orang lain (Kelman, 1958). Menurut teori pengaruh sosial, perubahan ini dapat terjadi dalam bentuk konformitas, dan kepatuhan atau obedience. Dikutip dari Solomon asch (1950), konformitas dilakukan oleh seseorang dengan mengubah keyakinan atau perilaku mereka agar sesuai dengan kelompok, atau biasa dikenal dengan istilah ‘fit in’ dengan kelompoknya, sedangkan kepatuhan dicirikan oleh seseorang yang dapat mengikuti perintah atau instruksi dari figur otoritas, meskipun perintah tersebut mungkin bertentangan dengan nilai atau moral pribadi mereka.
Bagaimana gambaran fenomena pengaruh sosial di sosial media?
Salah satu contoh nyata dari pengaruh sosial yang dapat diamati dalam kehidupan modern saat ini adalah fenomena tren di media sosial, seperti di platform TikTok yang saat ini telah salah satu platform media sosial terpopuler dan disukai oleh kalangan Gen Z dan Milenial di dunia termasuk Indonesia (Databoks, 2024; Statista, 2024). Tren tantangan atau biasa disebut dengan challenges yang muncul di TikTok sering kali dengan cepat menjadi topik utama dan mempengaruhi pengguna dengan exposure lagu, orang, atau filter yang digunakan.
@icryatwork/Tiktok;@ruangguru/Tiktok
Tren ini bukan hanya menyebar akan di satu wilayah, jika berhasil, tren dapat mengambil perhatian dan menjangkau penonton di berbagai negara. Fenomena ini menunjukkan bagaimana peran pengaruh sosial konformitas di sosial media, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh teori konformitas, dimana individu terdorong untuk melakukan tren sebab dorongan dari kelompok sosial atau dalam kasus ini merujuk pada komunitas pengguna TikTok. Pengguna sering kali mencoba tren tertentu sebab melihat tren tersebut telah dilakukan oleh banyak pengguna dan influencer. Hal ini juga sejalan dengan teori informational social influence (Deutsch & Gerard, 1955) yang mengungkapkan bahwa seseorang cenderung mengadopsi suatu perilaku karena percaya bahwa orang lain memiliki informasi yang lebih valid mereka melihat banyak orang lain telah melakukannya.
Dampak dari tren di TikTok bisa bersifat positif maupun negatif. Di sisi positif, platform ini dapat menyebarkan dan menyorot topik menjadi berita utama dalam waktu cepat, jika catatan tagar tersebut dipublikasikan sesuai dengan ketentuan seperti #MentalHealthAwareness #LoveYourself #WorkLifeBalance #Productive atau tagar yang memuat pesan positif lainnya. Namun, selain dampak positif yang dapat menginspirasi orang lain, tren ini juga dapat memicu dampak negatif, seperti munculnya tren berbahaya bagi kesehatan mental diantaranya, standar kecantikan yang tidak realistis, dan tekanan sosial untuk memperlihatkan kesan eksklusif dan glamor.
Penutup
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pengaruh sosial adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia, baik dalam interaksi langsung maupun di dunia digital. Keinginan untuk diterima dalam kelompok seringkali mendorong seseorang untuk menyesuaikan diri atau mengikuti aturan tertentu, sebagaimana dijelaskan dalam teori psikologi sosial. Di era digital, media sosial seperti TikTok menjadi salah satu faktor yang kuat dalam membentuk perilaku dan pola pikir, baik secara positif maupun negatif. Tren yang berkembang di platform ini tidak hanya menunjukkan besarnya pengaruh sosial, tetapi juga mengingatkan kita akan pentingnya berpikir kritis sebelum mengikuti arus. Dengan memahami bagaimana pengaruh sosial bekerja, kita bisa lebih bijak dalam menyaring informasi dan memilih tren yang sesuai dengan nilai serta prinsip pribadi. Oleh karena itu, keseimbangan antara mengikuti perkembangan zaman dan tetap memegang teguh nilai-nilai pribadi menjadi kunci agar pengaruh sosial dapat berdampak positif bagi kehidupan kita.
Fun fact about Social Influences
Tahukah Anda bahwa fenomena “viral” di media sosial sebenarnya berkaitan erat dengan teori psikologi sosial? Penelitian menunjukkan bahwa konten yang menjadi viral seringkali memanfaatkan prinsip emotional contagion (penularan emosi), di mana emosi seperti kebahagiaan, kejutan, atau bahkan kemarahan dapat dengan cepat menyebar dari satu individu ke individu lainnya. Berdasarkan berbagai penelitian sosial yang telah dilakukan oleh para ahli, penularan emosi secara umum didefinisikan sebagai pengalaman emosional di mana individu dapat menyerap dan merasakan emosi yang disampaikan oleh orang lain (Lu & Hong, 2022). Sebagai contoh, tantangan #10YearChallenge yang viral pada tahun 2019 tidak hanya menarik karena keseruannya, tetapi juga memicu reaksi nostalgia, kebanggaan, dan refleksi diri. Selain itu, otak manusia lebih cenderung mengingat dan membagikan informasi yang memicu emosi yang kuat, sehingga konten yang menimbulkan respons emosional memiliki peluang lebih besar untuk menjadi viral. Oleh karena itu, ketika Anda melihat tren baru di TikTok, ingatlah bahwa ada mekanisme psikologis yang membuat Anda merasa tertarik untuk ikut serta.
Penulis : Meida Lanie
Editor : Melly Preston
Referensi :
Aronson, E., Wilson, T. D., & Akert, R. M. (2013). Social psychology (8th ed.). Pearson Education
Baumeister, R. F., & Leary, M. R. (1995). The need to belong: Desire for interpersonal attachments as a fundamental human motivation. Psychological Bulletin, 117(3), 497–529. https://doi.org/10.1037/0033-2909.117.3.497
Addini, N. A., & Eva, N. N. (2025). Pengaruh Gratitude dan Dukungan Sosial Terhadap Psychological Well Being: Sebuah Analisis Sistematis. Jurnal Psikologi, 2(2). https://doi.org/10.47134/pjp.v2i2.3548
Milgram, S. (1963). Behavioral Study of obedience. Journal of Abnormal & Social Psychology, 67(4), 371–378. https://doi.org/10.1037/h0040525
Khasanah, U. (2024). Sejarah Tiktok dan Perjalanannya hingga Masuk ke Indonesia. IDN Times. https://www.idntimes.com/tech/trend/uswatun-khasanah-52/sejarah-tiktok-dan-perjalanannya-hingga-masuk-ke-indonesia?page=all
Annur, C. M. (2024). Ini Media Sosial Paling Banyak Digunakan di Indonesia Awal 2024. Katadata. https://databoks.katadata.co.id/teknologi-telekomunikasi/statistik/66ea436ab12f2/ini-media-sosial-paling-banyak-digunakan-di-indonesia-awal-2024
Lu, D., & Hong, D. (2022). Emotional contagion: Research on the influencing factors of social media users’ negative emotional communication during the COVID-19 pandemic. Frontiers in Psychology, 13. https://doi.org/10.3389/fpsyg.2022.931835
Connell, A. (2025). 22 leading social media platforms for 2025 (Ranked by monthly active users). Adam Connell. https://adamconnell.me/social-media-platforms/
Ahdiat, A. (2024). Media Sosial Favorit Gen Z dan Milenial Indonesia | Databoks. Katadata. https://databoks.katadata.co.id/infografik/2024/09/24/media-sosial-favorit-gen-z-dan-milenial-indonesia
Comments :