Kelas Counseling Psychology yang diampu oleh Dr. Suryati di kelas BMCA0505 dilaksanakan pada pukul 11:20 hingga 13:00, dengan metode pengajaran berupa campuran antara tatap muka langsung (onsite) dan zoom. Diskusi dimulai dengan Dr. Suryati yang bertanya kepada mahasiswa mengenai pemahaman mereka tentang konsep unconditional positive regard atau UPR. Pertanyaan ini memancing respon aktif dari mahasiswa, yang kemudian memberikan berbagai jawaban serta pandangan mereka tentang materi tersebut. 

Dr. Suryati kemudian menjelaskan lebih dalam tentang konsep UPR, yaitu suatu pendekatan yang dikembangkan oleh Carl Rogers, salah satu tokoh besar dalam bidang psikologi humanistik. UPR menekankan konsep berupa penerimaan seseorang tanpa penilaian atau prasangka, dimana dalam konteks konseling, ini berarti konselor menerima klien apa adanya tanpa menghakimi. Dalam penerapan UPR, konselor harus menciptakan lingkungan di mana klien bebas mengekspresikan diri tanpa takut akan penilaian negatif, memberikan klien kesempatan untuk menjelajahi emosi dan pemikiran terdalam mereka.

 

Sebagai contoh untuk membantu mahasiswa memahami konsep ini, Dr. Suryati mengangkat sebuah contoh ril yang membahas bahwa pengalaman anak kecil yang kehilangan mainan bisa dibandingkan dengan perasaan orang dewasa yang ditinggalkan oleh orang terkasih. Dengan kata lain, empati terhadap perasaan orang lain tidak selalu harus sebanding dalam hal kejadian, tetapi lebih pada resonansi emosional. Di sini, empati dalam konseling melibatkan kemampuan konselor untuk memahami pengalaman klien dari sudut pandang klien, bukan dari persepsi pribadi. Hal ini berarti bahwa walaupun konselor mungkin memiliki pengalaman yang serupa, penting untuk tidak menganggap bahwa pengalaman tersebut akan sama persis dengan apa yang dirasakan klien.

 

Untuk memberikan pemahaman yang lebih menyeluruh, Dr. Suryati menunjukkan video “Counseling Tutor Podcast” (https://www.youtube.com/watch?v=gigup7_i2xM) menggunakan proyektor, dimana pembicara di video memberikan pandangan mendalam mengenai UPR sebagai satu dari enam kondisi dasar yang diperlukan dalam konseling. Video ini menjelaskan pentingnya UPR, terutama untuk anak-anak, karena dengan adanya UPR sejak dini, anak-anak akan lebih merasa didukung tanpa harus dihakimi. UPR juga membantu mereka membangun kepercayaan diri dan rasa aman yang kuat. Konsep UPR dalam konseling berarti konselor harus bersikap hangat, tidak membedakan antara apa yang benar atau salah, dan tidak membuat klien merasa bersalah atau tidak berharga atas apa yang mereka katakan dan rasakan. Di sini, Rogers berargumen bahwa peran konselor adalah menciptakan lingkungan yang bebas dari penghakiman, di mana klien dapat mengatasi masalah mereka sendiri melalui eksplorasi diri.

 

Dosen kemudian menggunakan analogi yang menggambarkan UPR seperti mengamati matahari terbenam, di mana kita tidak bertanya mengapa posisinya mungkin sedikit bergeser hari ini atau mengapa warnanya tampak berbeda. Demikian pula, seorang konselor harus melihat klien dengan keterbukaan yang sama, menerima klien tanpa prasangka atau kritik, melainkan dengan keterbukaan untuk mendengarkan dan memahami, tanpa ada niat untuk mengubah mereka. 

 

Sesi kelas dilanjutkan dengan pemutaran video animasi berjudul “Partly Cloudy” (link: https://www.youtube.com/watch?v=PfyJQEIsMt0 )yang menggambarkan seorang awan yang hanya menciptakan bayi hewan yang berbahaya, seperti buaya dan landak, sementara awan-awan lainnya menciptakan bayi hewan lucu dan manis. Seekor bangau yang bertugas mengantarkan bayi-bayi ini ke bumi mengalami kesulitan saat mengantarkan bayi dari awan tersebut, sementara bangau lain tampak senang dengan tugas mereka. Bangau ini sempat tampak ingin menyerah dan berpindah ke awan lain, yang membuat awan “klien”-nya kecewa. Namun, kemudian terungkap bahwa bangau tersebut bukan meninggalkan awan, melainkan mencari alat pelindung tambahan agar ia bisa menjalankan tugasnya dengan lebih aman. Dalam ilustrasi ini, awan menggambarkan klien yang mungkin tampak “berbeda,” sedangkan bangau adalah simbol dari konselor yang menerima klien apa adanya. Bangau tidak memberikan saran atau kritik kepada awan, tetapi tetap melayani awan tersebut dengan dedikasi dan penerimaan.

 

Menjelang akhir kelas, diskusi interaktif terjadi ketika seorang mahasiswa bertanya apakah konselor harus menerima seluruh bentuk negativitas yang mungkin dibawa oleh klien. Dr. Suryati menjelaskan bahwa meskipun konselor harus berusaha memahami perspektif klien, mereka tidak harus menyetujui setiap pandangan atau opini negatif klien. Sebagai contoh, jika seorang klien menyatakan bahwa “dunia ini kejam,” tugas konselor bukan untuk menyetujui atau menyangkal pernyataan itu, melainkan untuk menerima bahwa itu adalah pengalaman subjektif klien. Penerimaan ini bertujuan untuk menciptakan ruang yang aman bagi klien untuk mengeksplorasi perasaan mereka tanpa merasa dihakimi. Dr. Suryati menambahkan bahwa UPR, sama seperti empati dan refleksi, tidak melibatkan pemberian saran, tetapi hanya menerima dan mengembalikan refleksi kepada klien agar mereka dapat melihat perspektif tersebut secara lebih men

dalam.

 

Dr. Suryati juga mengingatkan bahwa mendengarkan perspektif klien, terutama jika mengandung negativitas, dapat menjadi tugas yang cukup melelahkan bagi konselor. Oleh karena itu, seorang konselor perlu menjaga kesehatan mental mereka sendiri dan menghindari bertemu klien ketika sedang lelah atau dalam kondisi burnout. Penting bagi konselor untuk mengenali batas kapasitas mereka dalam menerima klien sehingga dapat memberikan pelayanan yang maksimal. 

 

Kelas ini memberi pemahaman yang mendalam bagi mahasiswa tentang konsep UPR sebagai salah satu prinsip penting dalam konseling. Dr. Suryati berhasil memberikan konteks yang relevan, baik secara teori maupun praktis, sehingga mahasiswa dapat memahami bagaimana UPR dapat diterapkan dalam interaksi konseling.

 

Writer: Farawayne Dila Dinevali Sinurat