Hilangnya Harapan.

“Aku tidak berharga.”
“Della,”
“Aku hanyalah sampah masyarakat, beban hidup semua orang.”
“Tidak, Della.”
“Akankah dunia lebih baik tanpa hadirku disini?”
“Dunia sayang padamu, Della.”
“Pergi, apa yang kamu ketahui tentang diriku? Hidupku saat ini?”
“Della, aku tahu. Aku di dalam dirimu. Aku sudah bersamamu sejak kamu lahir.”
“Aku ingin berhenti disini..”
“Della aku sayang padamu, jangan tinggalkan aku.”
“Sakit, seseorang tolong keluarkan aku dari lingkaran ini!”

Seperti itulah percakapan saya dengan diri saya di masa lampau. Menghitung kembali hari – hari yang saya jalani di saat – saat terpuruk, kurang lebih tiga tahun secara keseluruhan dihantui oleh makhluk tak kasat mata yang sebetulnya adalah diri saya sendiri. Sedikit aneh, dialog yang terdengar seperti percakapan antara dua makhluk tetapi sebenarnya terjadi pada suatu individu.

Kilas Balik.

Sekolah Menengah Atas (SMA) merupakan jenjang pendidikan yang harus ditempuh sebelum menjadi mahasiswa. Pada tahun kedua SMA, semesta menampar saya dengan hadirnya tekanan. Saya tidak bisa memperbaiki nilai – nilai saya yang menurun sebab banyaknya materi yang tidak bisa saya pahami. Saya juga tidak bisa membuat ibu dan bapak saya berhenti bertengkar setiap pagi, siang, dan sore. Pada saat itu, saya merasa gagal. Pada saat itu, saya mulai menanamkan pikiran bahwa saya tidak berharga.

Hal ini terus berlanjut hingga saya memasuki tahun ketiga SMA. Pada saat itu, situasi yang saya alami semakin intens. Orang tua saya ingin sekali saya dapat melanjutkan akademik saya di universitas negeri ternama. Berbagai macam hal saya lakukan demi mewujudkan keinginan tersebut, mulai dari mengikuti jam kelas tambahan setelah sekolah, mengikuti bimbingan belajar, hingga mengerjakan ujian seleksi masuk perguruan tinggi di luar negeri. Saya lelah, sangat lelah.

Waktu berlalu dan saya berhasil mendapatkan kesempatan untuk berkuliah di suatu universitas negeri ternama di Indonesia. Saya mengambil jurusan Teknik Kimia, sesuai dengan jurusan yang bapak saya tempuh dahulu kala. Melihat ibu saya yang bahagia, saya memutuskan untuk melanjutkan akademik saya di universitas tersebut. Saya menjalani aktivitas perkuliahan saya seperti orang yang hilang arah, hilang tujuan. Tidak ada lagi aktivitas yang ingin saya lakukan, Saya hanya ingin lari. 

Hingga tiba masanya saya memutuskan untuk pergi ke psikolog, ditemani oleh sahabat saya. Saya menjalani terapi selama beberapa minggu hingga psikolog merujuk saya untuk pergi ke psikiater. Pada hari itu, saya didiagnosa memiliki depresi akut. 

Depresi adalah suatu gangguan psikologis ditandai dengan kesedihan yang menetap, merasa tidak berharga atau merasa bersalah, serta kurangnya minat terhadap aktivitas yang dijalani. Salah satu sebab terjadinya depresi adalah memiliki self – esteem yang rendah yaitu merasa pesimis akan diri sendiri dan dunia yang dihadapinya. (Sulistyorini & Sabarisman, 2017). 

Dari faktor kognitif, terdapat interpretasi yang keliru terhadap suatu hal sehingga depresi menyebabkan perubahan pikiran menjadi negatif tentang pengalaman hidup, penilaian terhadap diri sendiri, dan putus asa (Haryanto et al., 2016). Dapat disimpulkan bahwa perasaan tidak berharga dan memiliki self-worth yang rendah merupakan faktor terbesar yang menyebabkan saya masuk ke dalam lingkaran depresi. 

Harapan Pertama.

“Della, bagaimana keadaanmu hari ini?”

Pada saat itu, saya terkejut dengan kondisi sekeliling saya. Ini merupakan kali pertama saya berada di Unit Gawat Darurat di sebuah rumah sakit yang ada di Bandung. Mata saya tertuju pada psikiater saya, senyumnya hangat seakan mengatakan bahwa semua akan baik – baik saja. 

“Della, Dokter Vine hubungi orang tua kamu ya.”

“Jangan dokter, saya tidak mau. Biarkan saya keluar dari sini saja, saya mohon.”

Jawab saya dengan seluruh sisa energi saya, menolak dengan amat. Psikiater saya pun memahami kondisi tersebut, menenangkan saya agar kondisi tidak bertambah ricuh.

“Baik, Della. Dokter pergi dulu ya ke universitas kamu. Untuk masalah administrasi tidak perlu khawatir ya, Della.”

Saat itu, segelintir pandangan hidup amat buruk yang sedang saya alami sedikit menghilang.

Aku sampah, mengapa masih ada manusia yang peduli?

Harapan Kedua. 

Pada malam itu, mata saya tertuju pada beberapa anak yang sedang berlarian di lapangan Alun – Alun Kota Bandung, bermain kejar – kejaran dengan balon yang menyala. Mereka terlihat sangat bahagia, hingga salah satu dari mereka jatuh karena terdorong oleh temannya. Anak tersebut menangis, hingga orang tua dari anak tersebut datang menghampiri.

“Ya Allah, nak. Kok bisa jatuh sih hati – hati bermainnya.”

Dengan nada khawatir, bapak tersebut memeluk anaknya dan mengajak anak – anak lainnya untuk saling minta maaf. Tak lama kemudian, anak tersebut kembali bermain bersama teman – temannya dengan semangat. Beliau tersenyum hangat sambil terkekeh – kekeh atas kelakuan anaknya tersebut.

Saya pun ikut tersenyum menyaksikan kejadian tersebut. Dahulu, saya juga merupakan anak yang periang, seringkali tertawa bersama ibu saat bermain bersama dan ketika saya tidak sengaja terluka, ibu saya pasti akan khawatir.

Tunggu, perasaan hangat apa ini?

Apakah sebetulnya orang – orang menganggap diriku berharga?

Harapan Ketiga.

Pada tahun kedua perkuliahan, suatu kejadian besar menimpa saya lagi. Ibu saya sakit hingga beliau menghembuskan napas terakhirnya di bulan Desember. Beberapa bulan setelah kepergian ibu saya, bapak saya memutuskan untuk nikah. Bapak saya tinggal di luar kota bersama istri barunya. 

Beberapa waktu berlalu, saya mencoba melakukan refleksi terhadap diri saya dan memutuskan untuk menempuh perjalanan hidup baru dengan satu tujuan: membantu orang lain agar mereka dapat menjalani kehidupan yang lebih baik. 

“Pa, aku sudah tidak kuat. Aku ingin melanjutkan perkuliahanku di Jurusan Psikologi atau tidak apa – apa, aku tidak usah kuliah.”

“Iya Del, tidak apa – apa. Kalau memang Jurusan Psikologi yang kamu inginkan, papa dan tante akan mendukung kamu asalkan kamu bahagia.”

Sejak kapan bapak peduli dengan keadaanku saat ini?

Bukankah aku tidak berharga?

Kembalinya Harapan.

Setelah perjalanan panjang tersebut, saya berada disini: Binus University Jurusan Psikologi. Saya didiagnosa sehat tahun lalu. Dengan bantuan dari dokter, keluarga, sahabat, dan orang tidak dikenal, saya berhasil keluar dari lingkaran depresi. Sekarang, saya sudah menerima semua kejadian yang menimpa saya di masa lalu. Dari seluruh kejadian tersebut, saya belajar bahwa self-awareness dan kesehatan mental seseorang sangatlah penting. Self – worth seseorang dapat dilatih dengan bagaimana caranya agar kita bisa merasa cukup dengan kelebihan dan kekurangan yang dimiliki. Sayangilah diri sendiri, apresiasi diri sebagaimana diri mengapresiasi orang lain. Kita semua berharga.

REFERENSI:

Haryanto, H., Wahyuni, H. D., & Nandiroh, S. (2016). Sistem Deteksi Gangguan Depresi Pada Anak-anak dan Remaja. Jurnal Ilmiah Teknik Industri, 14(2), 142–152.

Sulistyorini, W., & Sabarisman, M. (2017). Depresi: Suatu tinjauan psikologis. Sosio Informa: Kajian Permasalahan Sosial Dan Usaha Kesejahteraan Sosial, 3(2).

Della Zakia Ardiani (2602213681)
Universitas Bina Nusantara
Jurusan Psikologi