Pasca UU Pendidikan dan Layanan Psikologi: Kurikulum Profesi Psikolog
Pasca terbitnya UU PLP (Pendidikan dan Layanan Psikologi) Nomor 23 Tahun 2022, terdapat sejumlah aspek kurikulum yang menurut Juneman Abraham – yang juga Pengurus Pusat Himpunan Psikologi Indoensia (HIMPSI) Kompartemen B – Pengembangan Pendidikan dan Standar Kompetensi Psikologi – perlu diperhatikan:
1) Peterson et al. (1992) dalam tulisan awalnya menggunakan istilah 6 ranah kurikulum inti dan 4 nilai kurikuler.
Model Peterson et al. dapat dilihat sebagai sebuah matriks 6 x 4, dimana Mata Kuliah/Kegiatan Program Profesi dapat terpetakan dalam matriks tsb.
Keterangan: K-S-A = Knowledge-Skill-Attitude (Pengetahuan-Keterampilan-Sikap)
2) Untuk Program Pendidikan Spesialis apakah akan distandarkan opsi/pilihannya oleh AP2TPI (Asosiasi Pendidikan Tinggi Psikologi Indonesia), sedangkan Program SubSpesialis dibebaskan sesuai kekuatan Perguruan Tinggi masing-masing? Misalnya kondisi saat ini, Atma Jaya untuk bidang Sosial (walau Sains, bukan Profesi, tetapi analogi saja) mengembangkan “SubSpesialisasi” 1) Sosial Kesehatan, dan 2) Sosial Temu Budaya.
3) Konsepsi SubSpesialis perlu ditegaskan.
Saat ini, Kompartemen B menyepakati, sebagai berikut:
“Program spesialis dan subspesialis disusun berdasarkan sifat layanan promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif, dan/atau paliatif dengan keahlian khusus dalam cakupan populasi, jenis layanan praktik psikologi (konsultasi psikologi, konseling psikologi, psikoterapi, psikoedukasi untuk kuratif, rehabilitatif, dan/atau paliatif, dan pelatihan psikologi), dan/atau menggunakan pendekatan khusus.”
Sebagai acuan banding, dalam bidang Kedokteran,
“Program pendidikan ini akan menghasilkan dokter Spesialis Konsultan (K) yang mempunyai kompetensi klinis kekhususan dan kemampuan akademik lanjut serta berkualitas sebagai seorang konsultan yang profesional seperti yang ditetapkan dalam standar Nasional Kompetensi sebagai Konsulen.”
4) Diperlukan penjernihan antara SerKom (Sertifikat Kompetensi) dan SerProf (Sertifikat Profesi).
Dalam Permendikbudristek 6 Tahun 2022, Program Profesi akan menerbitkan SerProf. Adapun yang dikeluarkan oleh Lembaga Sertifikasi Profesi (LS) Psikologi Indonesia adalah SerKom. Beberapa nama Skema LSP Psi saat ini apakah akan dikoreksi/diubah agar “tidak menyamai” Profesi? Misalnya, saat ini di https://lsppsi.co.id/skema-sertifikasi/ ada Skema Psikolog Industri & Organisasi dan Psikolog Forensik; apakah akan di-adjust (ini yang dimaksud tidak boleh tumpang tindih) minimal namanya, tidak lagi Psikolog I/O dan Psikolog Forensik (karena menjadi ranah Pendidikan Profesi).
5) Pengalaman Fakultas Teknik UI, ternyata Program Profesi Jalur RPL (Rekognisi Pembelajaran Lampau) dilakukan oleh Perguruan Tinggi (apakah dengan Permendikbudristek 6/2022, baik penyelenggaraan maupun sertifikasinya juga harus bekerjasama dengan Organisasi Profesi, seperti HIMPSI?).
Program Profesi Jalur RPL ini, apabila dilihat sepintas, mirip dengan yang dilakukan LSP Psikologi Indonesia. “Pada PPI program reguler, calon mahasiswa adalah lulusan program sarjana teknik dengan pengalaman minimal dua tahun. Namun, calon mahasiswa PPI program RPL harus memiliki pengalaman minimal lima tahun kerja, minimal telah terlibat dalam empat proyek, memiliki pengalaman mengikuti seminar, dan menjadi anggota organisasi profesi nasional ataupun internasional” (Bandingkan, misalnya, dengan Persyaratan Pemohon Sertifikasi LSP. Bedanya “mahasiswa jalur RPL hanya mengikuti kegiatan akademik selama satu semester saja yang memperhatikan penyetaraan pengalamannya dengan bobot 24 sks,”.
Sekali lagi, relasi antara Sertifikasi Kompetensi LSP dan Sertifikasi Profesi Psikologi perlu diperjelas.