KATA NALAR : MENJADI NYAMAN BERSAMA DIRI DAN ORANG LAIN DI ERA DIGITAL

1. Hidup di Tengah Era Digital

Kita hidup di masa ketika teknologi digital bukan sekadar alat, tetapi menjadi arah hidup itu sendiri. Segala aktivitas manusia kini ditautkan pada jaringan yang serba cepat, serba instan, dan tanpa batas. Dunia digital membawa kemajuan yang luar biasa – tetapi sekaligus menghadirkan tantangan baru dalam menjaga keseimbangan diri dan hubungan dengan orang lain. Dalam pusaran yang disebut era Volatility, Uncertainty, Complexity, and Ambiguity (VUCA), manusia sering kali kehilangan jangkar maknanya. Ketika segala sesuatu berubah begitu cepat, kita dituntut untuk mampu menyesuaikan diri tanpa kehilangan jati diri.

2. Masyarakat Lintas Generasi: Antara Potensi dan Gesekan

Di tempat kerja maupun ruang sosial, kita kini hidup berdampingan dengan berbagai generasi – dari Baby Boomers, Generasi X, Millennials, hingga Generasi Z. Masing-masing membawa nilai, gaya komunikasi, dan ekspektasi yang berbeda. Keragaman ini sebenarnya adalah kekayaan sosial. Namun, tanpa pemahaman yang memadai, perbedaan ini justru bisa menjadi sumber konflik. Misalnya, generasi muda yang mengutamakan fleksibilitas bisa bertabrakan dengan generasi senior yang menjunjung hierarki dan kedisiplinan formal. Maka dibutuhkan empati dan komunikasi lintas generasi yang terbuka agar hubungan kerja dan sosial menjadi harmonis.

3. Dilema Produktivitas dan Kesejahteraan

Dalam dunia kerja yang serba cepat, banyak orang terjebak dalam siklus burnout: tekanan tinggi, ekspektasi berlebih, dan kurangnya dukungan emosional. Akibatnya, muncul masalah seperti frustrasi, kecemasan, kesepian, hingga intensi untuk menyerah. Di sinilah pentingnya psikologi industri dan organisasi – sebuah bidang yang mengkaji bagaimana kepemimpinan, teamwork, budaya kerja, dan nilai organisasi dapat membentuk lingkungan yang sehat. Ketika struktur dan budaya organisasi mendukung kesejahteraan mental, produktivitas pun meningkat secara alami.

4. “Work–Love Integration”: Menyatukan Cinta dan Kinerja

Kita diajak untuk memaknai pekerjaan bukan hanya sebagai tugas, melainkan sebagai bagian dari kehidupan yang penuh kasih. Work–Love Integration berarti membawa nilai kemanusiaan, empati, dan cinta dalam rutinitas profesional. Ketika cinta hadir di tempat kerja – dalam bentuk perhatian, dukungan, dan penghargaan – kinerja pun menjadi lebih bermakna. Tempat kerja yang ideal bukan sekadar ruang mencari nafkah, tetapi juga ruang pertumbuhan pribadi dan relasi sosial yang hangat.

 

5. Menemukan Diri dalam Keheningan

Kita sering terjebak dalam kepraktisan hidup – mengejar hasil, target, dan pengakuan – hingga lupa berhenti sejenak untuk memahami diri sendiri. Padahal, kebahagiaan tidak selalu muncul dari pencapaian, tetapi dari kehadiran penuh (mindfulness) dalam setiap momen. Menemukan diri berarti berani refleksi, menerima kekurangan, dan membangun keseimbangan antara kebutuhan fisik, emosional, sosial, dan spiritual.

 

6. Spiritualitas dan Kesejahteraan

Di balik kesibukan era digital, manusia tetap memiliki kebutuhan spiritual: keinginan untuk merasa diterima, dicintai, dan dipahami. Spiritualitas bukan semata ritual, melainkan kesadaran bahwa hidup bukan hanya tentang hal-hal praktis dan pragmatis. Refleksi dan waktu untuk merenung menjadi bagian penting dari kesejahteraan batin. Dalam konteks ini, keseimbangan antara kerja, cinta, dan spiritualitas menciptakan fondasi yang kokoh bagi kebahagiaan jangka panjang.

 

7. Jangan Lupa Bahagia

Pesan sederhana namun bermakna adalah: “Jangan lupa bahagia.” Di tengah ambisi dan perubahan, jangan sampai kita kehilangan rasa syukur. Bahagia bukan tujuan akhir, melainkan cara kita berjalan melewati hidup. Menjaga keseimbangan antara diri dan orang lain bukan berarti menghindari masalah, tetapi belajar menyesuaikan diri dengan bijak. Seperti disebutkan dalam psikologi kognitif, adjustment adalah kemampuan untuk menata ulang cara berpikir agar bisa menghadapi situasi hidup dengan lebih sehat dan optimistis.

Penutup

Era digital menuntut kita untuk beradaptasi dengan cepat, tetapi juga mengingatkan kita untuk tidak kehilangan sentuhan manusiawi. Menjadi nyaman bersama diri dan orang lain bukan sekadar kemampuan sosial, melainkan perjalanan spiritual untuk memahami makna kebersamaan. Di akhir hari, manusia bukan hanya makhluk pekerja, tetapi juga makhluk yang mencari makna, cinta, dan kebahagiaan. Maka, mari bekerja dengan cinta, mencinta dengan kesadaran, dan hidup dengan keseimbangan.

 

 

REFERENSI

 Pradipto, Y. D. (2021). Psikologi Lintas Budaya Jilid 1 & 2: Sebuah Pengantar Pemahaman Manusia Berbudaya. Yogyakarta: Edulitera.

Sedikides, C., & Gregg, A. P. (2008). Self-enhancement: Food for thought. Perspectives on psychological science3(2), 102-116.

Vanden Abeele, M. M. (2021). Digital wellbeing as a dynamic construct. Communication Theory31(4), 932-955.

 

 

Penulis : Yosef Dedy Pradipto D4671