Media sosial diramaikan dengan fenomena remaja yang memamerkan perilaku self-harm karena perilaku tersebut menjadi sebuah “tren”. Dibalik tindakan tersebut terdapat rasa hilangnya tujuan hidup, stres, dan frustasi. Hal ini dilakukan karena dianggap sebagai coping mechanism dari kesulitan atau masalah yang sedang dihadapi. Bagi sebagian orang, dengan melakukan self-harm dapat mengisi kekosongan dalam diri. Perilaku yang seringkali dilakukan adalah menyayat tangan menggunakan silet.

self-harm sendiri adalah tindakan menyakiti diri sendiri dengan sengaja dan secara umum tersembunyi. Nama lain self-harm adalah Non-Suicidal Self Injury (NSSI) yaitu tindakan sengaja menyakiti diri, fokusnya adalah merusak tubuh tetapi tidak bertujuan untuk bunuh diri. Ada juga disebut dengan Deliberate Self-Harm (DSH) yang memiliki arti sama.

Masa remaja adalah masa peralihan dari anak-anak menuju dewasa yang penuh dengan tantangan. Di masa mereka akan dihadapkan dengan berbagai pilihan, keputusan, tanggung jawab, serta konsekuensi yang dapat meningkatkan stres. Hal ini dapat mendorong mereka untuk melakukan self-harm. Berdasarkan penelitian Veague dan Collins (2009) remaja lebih berisiko tinggi melakukan self-harm dibandingkan dengan orang dewasa. Berdasarkan penelitian Fardiba et al. (2021) menunjukkan bahwa 20,2% remaja pernah melakukan self-harm dan 93% di antaranya adalah remaja perempuan.

Era modern membawa dampak signifikan pada perkembangan mental remaja, terutama di Indonesia. Paparan media sosial yang intens menjadi salah satu faktor meningkatnya stres pada kalangan remaja. Mereka menerima banyak informasi tanpa filter, seperti standar kecantikan, gaya hidup, dan ekspektasi sosial yang harus mereka penuhi agar diterima oleh orang lain. Tekanan dari keluarga, pendidikan, dan lingkungan sosial juga menambah beban stres mereka. Akibatnya, self-harm atau tindakan melukai diri sendiri menjadi pilihan bagi sebagian remaja untuk mengatasi konfliks internal yang mereka hadapi.

Bentuk perilaku self-harm dikategorikan ke dalam tiga bentuk berdasarkan tingkat keparahannya, yaitu:

  1. Superficial Self-Mutilation : Jenis ini adalah bentuk perilaku merugikan diri sendiri yang ditandai dengan menyakiti diri sendiri secara sengaja tanpa ada tujuan untuk bunuh diri. Hal ini dilakukan sebagai bentuk coping, masih termasuk bentuk tindakan yang ringan dan intensitasnya jarang. Tindakan yang dilakukan seperti menggaruk, menarik, atau mencabut rambut, memukul diri sendiri, membakar kulit, atau melukai diri dengan benda tajam.
  2. Stereotypic Self-Injury : Jenis ini ditandai dengan menyakiti diri dengan tidak serius karena untuk melepaskan rasa sakit emosional. Termasuk dalam bentuk tindakan dengan tingkat keparahan sedang dan intensitasnya dilakukan berulang. Sering terjadi pada orang yang memiliki autism spectrum disorder, tindakan yang dilakukan seperti membenturkan kepala, menggigit diri sendiri (menggigit jari, bibir, atau anggota tubuh lainnya), menarik atau mencabut rambut, menggaruk.
  3. Major Self-MutilationJenis ini ditandai dengan menyakiti diri sendiri dengan serius, parah, dan berbahaya, serta mengakibatkan kerusakan permanen pada tubuh bahkan dapat mengancam nyawa, termasuk bentuk tindakan dengan tingkat keparahan yang parah. Dilakukan dengan perencanaan dan persiapan tidak seperti stereotypic self-injury. Tindakan yang dilakukan seperti memotong bagian tubuh atau melukai mata.

Coping strategies yang dapat dilakukan untuk mengurangi dan menghilangkan tindakan self-harm, di antaranya :

  1. Lakukan aktivitas fisik, seperti berolahraga, yoga.
  2. Lakukan mindfulness activities, seperti meditasi, relaksasi otot, latihan pernapasan.
  3. Lakukan aktivitas yang disukai atau hobi, seperti menulis, mendengarkan, atau bermain musik, serta menggambar.
  4. Ganti tindakan self-harm, seperti memukul bantal
  5. Cari bantuan orang lain agar dapat mengalihkan pikiran dari self-harm.

Kesimpulan yang dapat diambil adalah meningkatnya kasus self-harm pada remaja harus menjadi perhatian serius bagi semua pihak. Pencegahan dan penyembuhan harus dilakukan secara komprehensif, dengan melibatkan semua aspek dalam lingkungan sosial. Self-harm dapat berkembang menjadi isu yang serius, bahkan berujung pada bunuh diri. Mari ciptakan lingkungan yang aman dan suportif bagi semua orang, terutama bagi mereka yang sedang berjuang melawan self-harm.

Referensi :

  • Ivana, R. H. (2023). Dinamika Self Harm menjadi Trend Kalangan Remaja, Ada Apa?
  • Syahrani, M. (2022). Self Harm di Kalangan Remaja Indonesia.

Penulis : Desyta Billyana Lestari
Editor : Melly Preston, Angelique Aurellia