Di era digital, informasi kesehatan mudah diakses. Jadi tak heran, banyak orang lebih memilih mencari tahu sendiri penyebab gejala yang mereka alami di internet, alih-alih memeriksakan diri ke dokter. Hal ini disebut dengan self-diagnosis. Walaupun terkesan praktis, self-diagnosis justru berbahaya bagi kesehatan dan mental.

Apa itu self-diagnosis?
Self-diagnosis adalah mendiagnosis diri sendiri atas kelainan atau penyakit berdasarkan pengetahuan atau informasi yang diperoleh secara mandiri. Ketika melakukan diagnosis mandiri, pada dasarnya kita berasumsi bahwa kita mengetahui masalah kesehatan yang sedang dialami. Hal ini dapat berbahaya karena bisa saja asumsi kita salah.

Contoh yang sering kita dengar adalah seseorang berpikir bahwa dirinya memiliki gangguan bipolar karena memiliki mood yang sering berubah-ubah. Padahal gejala yang dimiliki merupakan gejala dari banyak gangguan kesehatan mental yang berbeda. Hal ini dapat berbahaya karena individu cenderung untuk melakukan pengobatan berdasarkan informasi yang didapatkan secara mandiri, sehingga menyebabkan kondisi kesehatan semakin parah. Jika datang ke dua dokter, mereka bisa saja memberikan diagnosis yang berbeda terhadap pasien yang sama berdasarkan informasi kesehatan yang didapatkan secara mandiri oleh pasien. Padahal sebagai tenaga medis profesional saja, untuk mendiagnosis suatu penyakit atau gangguan mereka perlu mengulik tentang kondisi kesehatan pasien lebih dalam, bahkan sampai melakukan beberapa tes untuk memastikannya.

Bahaya Dari Self-Diagnosis
Self-diagnosis memiliki bahaya yang cukup besar dan riskan, seperti berikut ini:

  1. Salah diagnosis : Bahaya utama self-diagnosis adalah tingginya risiko kesalahan dalam menentukan diagnosis. Hanya karena seseorang memiliki satu atau dua gejala yang mirip dengan suatu gangguan mental, tidak berarti secara langsung ia mengalaminya. Banyak gangguan mental memiliki gejala yang tumpang tindih, seperti agresif dan mudah marah merupakan tanda siklotimik atau bipolar. Oleh karena itu, diagnosis oleh ahlinya sangatlah penting untuk memastikan penanganan yang tepat.
  2. Salah penanganan : Penanganan yang tidak tepat bukan hanya tidak efektif, tetapi juga menyebabkan efek samping yang negatif. Contohnya penggunaan obat yang tidak tepat dapat menyebabkan kondisi semakin memburuk.
  3. Labeling Terhadap Diri Sendiri : Ketika seseorang mendiagnosis diri sendiri, mereka mungkin terpaku pada informasi yang terbatas dan tidak lengkap. Hal ini menyebabkan kecenderungan melabeli diri terhadap diagnosis yang mungkin tidak akurat yang memperburuk kecemasan dan distres. Contohnya merasa sedih dan marah karena mendiagnosis dirinya depresi padahal hanya sedang banyak tekanan saat itu.
  4. Munculnya Kepanikan Tidak Berdasar : Ketika seseorang mendiagnosis diri memiliki gangguan kesehatan tanpa melakukan konsultasi dengan profesionial sehingga mengalami kecemasan dan ketakutan yang berlebihan.
  5. Munculnya Sikap Tidak Peduli : Karena dalam melakukan self-diagnosis menyebabkan seseorang menjadi acuh tak acuh seperti meremehkan gejala yang dialami karena menganggapnya tidak parah atau hanya stes biasa, sehingga menunda penangangan dan akhirnya kondisi semakin memburuk.

Upaya Mengatasi Self-Diagnosis
Berikut adalah upaya untuk mengatasi self-diagnosis jika telah mengalaminya:

  1. Hindari Mencari Tahu Penyakit Melalui Internet :  Meskipun internet dan sosial media dapat menjadi sumber informasi yang bermanfaat, penting untuk diingat bahwa tidak semua informasi akurat. Mencari informasi tentang kondisi kesehatan yang sedang dialami memang tidak dilarang, namun bukan merupakan cara yang efektif untuk mendapatkan diagnosis dan penanganan yang tepat. Jadi lebih baik hal ini dihindari.
  2. Hindari Tes Mental Melalui Daring : Tidak disarankan untuk sering melakukan tes mental secara online. Pada zaman ini internet telah dibanjiri dengan berbagai tes yang berkaitan dengan kondisi kesehatan mental. Namun, sebaiknya jangan mengikuti tes tersebut karena kredibilitasnya yang dipertanyakan dna tidak dapat menilai gejala spesifik secara akurat, melainkan mengandalkan deskripsi umum.
  3. Jangan Jadikan Penderita Gangguan Mental Lain Sebagai Rujukan : Penting untuk diingat bahwa pengalaman dan gejala gangguan setiap orang adalah unik dan dapat berbeda. Sangat umum untuk menjumpai individu yang menunjukkan gejala atau kondisi kesehatan yang serupa. Namun, penting juga untuk menyadari bahwa meskipun terdapat kesamaan, kondisi setiap orang berbeda-beda dan tidak dapat dijadikan acuan untuk kondisi yang sedang dialami diri sendiri.
  4. Jangan Ragu untuk Pergi ke Psikolog atau DOkter : Mencari pertolongan psikolog atau dokter bukan berarti seseorang mengalami ketidakstabilan mental atau masalah kesehatan serius. Jika mengalami gejala tak terduga yang berdampak signifikan pada kehidupan sehari-hari, penting untuk segera mencari bantuan dari profesional. Karena masalah kesehatan bukan hal yang mampu ditangani seorang diri.

Referensi :

  • Adinda, R. (2022). Self Diagnosis: Pengertian, Ciri, Bahaya, dan Cara Mengatasinya.
  • Azizah, T. H., & Nurwati, N. (2021). Dampak Perilaku “Self-Diagnosis” pada Kesehatan Mental Remaja (The Influence of Self-Diagnosis Behavior on Adolescent Mental Health). Jurnal Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat UNSIQ, pp 1-8.
  • Makarim, F. R. (2023). Bahaya Self-Diagnosis yang Berpengaruh pada Kesehatan Mental.

Penulis : Desyta Billyana Lestari
Editor : Melly Preston, Angelique Aurellia