Siapapun pasti pernah mengalami perilaku agresif yang tidak menyenangkan, baik itu secara online hingga di dunia nyata (ex: bertengkar dengan seseorang di KRL). Perilaku agresif, terutama yang dialami secara konsisten dapat menyebabkan depresi, trauma, self-loathing, bahkan kenaikan tekanan darah saat menghadapi perilaku tersebut. Oleh karena itu, sekarang adalah saat yang tepat untuk membahas perilaku agresif ini dan apa yang menyebabkannya.

Sebagai pembuka, terdapat banyak kasus penembakan massal sekolah di Amerika Serikat yang dilakukan oleh siswa sekolah tersebut. Tentu publik akan mencari eksplanasi dan pihak yang perlu disalahkan; dapat berupa kegagalan orang tua dan sekolah dalam mendidik anak, pengaruh media TV yang sangat frontal dalam menayangkan adegan kekerasan, hingga menyalahkan pemerintah yang tidak menetapkan peraturan ketat mengenai peredaran penjualan senjata api di Amerika. Tentu saja faktor kesehatan mental juga berperan dalam fenomena tersebut. Tidaklah mingkin seseorang yang stabil secara mental akan menembaki seluruh teman sekelasnya. Akan tetapi gangguan jiwa tidak dapat menjadi satu-satunya penyebab dari berbagai tragedi agresivitas yang terjadi tersebut. Lagipula, tidak semua orang yang memiliki gangguan jiwa adalah pembunuh.

Ada baiknya pembaca memulai dari memahami terlebih dahulu apa yang tergolong sebagai agresivitas. Untuk suatu perilaku disebut sebagai tindakan agresif, maka perlu diketahui niat/motivasi dibalik tindakan perilaku (Aronson, 2021). Apabila terdapat niat untuk menyakiti psikis maupun fisik korban, maka perilaku tersebut tergolong agresivitas. Apabila tidak terdapat niat untuk menyakiti korban. maka tindakan tersebut adalah tindakan asertif belaka.

Agresivitas memiliki komponen biologis dan genetis. Psikolog evolusioner berpendapat bahwa secara genetik, agresivitas pria lebih dominan dibandingkan wanita. Akan tetapi bukan berarti perempuan adalah gender yang lebih damai maupun lebih baik. Hormon yang menyebabkan agresivitas merupakan hormon testosteron, dimana meskipun terdapat dalam pria dan wanita, jumlahnya lebih tinggi dalam pria. Binatang yang disuntikkan hormon testosteron terbukti menjadi lebih agresif, sementara apabila hormon tersebut dibuang maka ia menjadi tidak agresif. Testosteron dapat menyebabkan agresi dikarenakan hormon ini mempengaruhi kemampuan mengendalikan impuls. Testosteron menyebabkan berkurangnya aktivitas di korteks orbitofrontal, yang merupakan area utama untuk pengaturan diri dan mengendalikan impuls.

Selain faktor genetik, perubahan situasi sosial (ex: kedatangan penjajah, bahkan kedatangan imigran) dapat menyebabkan peningkatan agresivitas yang signifikan. Kita sekarang hidup di era yang tidak sekejam dulu dan lebih damai dibandingkan periode mana pun dalam sejarah manusia. Jadi apabila anda merasa keadaan sekarang sangat buruk, apalagi kehidupan 3000 tahun yang lalu. Lalu apa yang menyebabkan perubahan ini? Jawabannya terletak pada proses modernisasi dan peradaban melalui pendirian negara berdaulat dan peningkatan prioritas akan HAM. Meskipun manusia sekarang seringkali masih menyukai menonton kekerasan, setidaknya keekrasan tersebut merupakan adegan rekayasa dalam film. Tidak seperti dulu dimana manusia berkumpul di arena dan menonton pertarungan galdioator dan melihat kekerasa yang tidak direkayasa.

Kemudian, tidak semua masyarakat memiliki kecenderungan yang sama untuk berperang dan bersikap agresif. Terdapat suku-suku primitif yang menjunjung nilai-nilai kooperatif dan kolektivis, dimana mereka memilki tingkat perilaku agresif yang lebih rendah dibandingkan masyarakat Eropa. Suku-suku tertentu, seperti suku Lepcha di Sikkim, suku Pigmi di Afrika Tengah, dan suku Arapesh di Afrika Tengah, New Guinea, hidup dalam kedamaian dengan tindakan agresif yang sangat jarang terjadi.

Dalam suku yang bergantung pada kerja sama untuk kelangsungan hidup kelompok, kemarahan dan agresivitas dianggap berbagaya dan mengganggu, sehingga pelakukan akan dikucilkan dan dihukum. Ketika laki-laki hidup dalam budaya yang tidak memiliki ancaman internal dan eksternal terhadap kelangsungan hidupnya—meskipun secara realistis hal ini jarang terjadi—maka mereka tidak dibesarkan untuk menjadi agresif, dan perbedaan jenis kelamin juga tidak begitu ditekankan (sehingga lebih tinggi tingkat kesetaraan gender).

Manusia pada dasarnya memang memiliki kecenderungan untuk bersikap agresif, tetapi manusia juga melakukan segala cara yang ada untuk mengurangi perwujudan kecenderungan tersebut dalam kelompok mereka (meskipun tidak semua kelompok berusaha sekeras itu untuk menekan agresivitas mereka). Namun mereka akan berperilaku agresif untuk melindungi diri dari agresi musuh. Hal ini menunjukkan bahwa jika agresi manusia merupakan respons yang pasti terhadap rangsangan yang provokatif, maka manusia di semua budaya akan sama agresifnya.

Secara umum, semakin seseorang atau lembaga dihormati dan populer maka semakin besar pula kekuatan mereka untuk mempengaruhi. Konsep ini dapat dikaitkan dengan anak-anak yang melihat orang tua atau orang dewasa lainnya yang mereka kagumi berteriak, menendang, dan bertindak agresif; maka itulah perilaku yang akan mereka tiru. Sebaliknya, anak-anak yang menyaksikan anak-anak berperilaku damai bahkan ketika diprovokasi, maka kecil kemungkinannya mereka akan bereaksi secara agresif saat menghadapi situasi sulit dibandingkan anak-anak yang tidak mendapat panutan baik tersebut. Maka dari itu, ditekankan pentingnya mengekspos anak pada proses dan model observational learning yang baik.

Dengan melihat begitu banyak kasus agresivitas di dunia (peperangan, penjajahan, pemerkosaan, penganiayaan), tentu pembaca pernah berpikir bagaimana cara mencegah munculnya perilaku agresivitas sejak dini bukan? Namun pada faktanya, ancaman hukuman yang relatif berat bagi mereka yang melakukan pelanggaran tidak membuat anak-anak tidak ingin berbuat buruk. Sebaiknya memberikan hukuman yang cukup ringan, dikarenakan hukuman yang cukup ringan memberikan rasa takut akan hukuman sehingga efektif membuat anak menghentikan perilaku buruk untuk sementara waktu, dan akan mengarahkan anak tersebut untuk mencoba merenungi kebaikan dari tindakan menahan diri. Hal ini kemudian dapat membuat perilaku agresif menjadi kurang menarik. Tidak disarankan menggunakan hukuman yang terlalu keras dikarenakan kekerasan hanya menghentikan oerilaku agresif anak dalam jangka pendek, dan anak-anak yang sering dihukum secara fisik cenderung menjadi lebih agresif dan antisosial seiring berjalannya waktu. Hukuman yang keras juga dapat menjadi bumerang karena beberapa alasan lain. Orang-orang yang cenderung meneriakkan hal-hal yang tidak mereka maksud ataupun karena frustasi menggunakan cara-cara yang kejam untuk mencoba mengendalikan perilaku anak-anak, yang berpeluang besar hanya menyebabkan anak merasa cemas atau marah. Memang benar bahwa hukuman memang dapat memberikan efek jera, tetapi hanya jika hukuman tersebut diberikan segera dan pasti. Hukuman harus segera diberikan setelah perilaku terjadi dan bersifat tidak dapat dihindari. Negara-negara yang menerapkan hukuman mati untuk pembunuhan tidak memiliki jumlah pembunuhan per kapita yang lebih sedikit dibandingkan negara-negara yang tidak menetapkan hukuman mati.

Penelitian juga menunjukkan bahwa siswa yang telah dilatih untuk berempati melalui cara mempertimbangkan dan menebak sudut pandang orang lain, akan berperilaku lebih halus terhadap orang lain dibandingkan siswa yang tidak menerima pelatihan tersebut.

Setelah mempelajari sedikit mengenai agresivitas dan penyebabnya, diharapkan pembaca mendapat pencerahan mengenai agresivitas dan tidak lagi menganggap agresivitas sebagai akibat dari gangguan jiwa belaka. Kecenderungan hanya menyalahkan gangguan jiwa akan membuat masyarakat kehilangan sesuatu yang sangat penting; yaitu solusi yang dapat membantu kita mencegah tragedi serupa terjadi lagi, Sokusi tersebut berupa bersama-sama lingkungan sosial yang lebih baik dan inklusif. Elliot Aronson berpendapat bahwa seringkali perilaku school-shooting (yang juga memiliki gangguan jiwa) dan harus menghadapi lingkungan sekolah yang tidak mendukung, dimana suasana sekolah seringkali penuh pengucilan dan ejeka. Kedua faktor tersebut (gangguan jiwa + faktor lingkungan) yang kemudian menyebabkan peristiwa tidak diinginkan.

Referensi:
Aronson, E., Wilson, T. D., & Sommers, S. R. (2021). Social psychology global edition
(10th ed.) [E-book]. Pearson.

Penulis: Audrey Phoebe Kurniawan