Pada satu masa, internet pernah diramaikan dengan berita pengusaha sukses yang dulunya drop out dari perkuliahan. Misalnya, Mark Zuckerberg, pendiri dan CEO dari Facebook yang memiliki triliunan pengguna. Jan Koum, pendiri Whatsapp yang kerap tak terlepas dari kehidupan bersosialisasi dan tugas. Bill gates, berkatnya kita dapat merasakan kemudahan menulis ide secara digital melalui Microsoft. Saking suksesnya mereka, khalayak jadi menyambungkan kesamaan kesuksesan pengusaha ini dengan kalimat, “Tuh daripada kuliah cape-cape, mending drop out aja. Mereka aja bisa sukses”.

Justru besar kesamaan tersebut terlihat dari karakteristik dan usaha yang mereka keluarkan untuk mencapai tujuan mereka. Kalau kita tanya pada orang yang lebih senior, kita pasti mendapati metode yang paling sering dipakai untuk mempelajari kewirausahaan adalah mempelajari biografi pengusaha atau belajar langsung dari ceramah mereka. Namun, apa betul metode tersebut masih efektif diterapkan pada generasi terkini? Sebenarnya, apa sih yang membuat kita dianggap sebagai wirausaha sejati? Mari kita menavigasi makna dari kewirausahaan antar generasi dan arah pengembangannya.

Sebelum Itu: KENAPA Berwirausaha

Pembangunan negara dapat berkembang berkat para pengusaha yang menciptakan terobosan baru hingga memberikan lapangan kerja di berbagai bidang. Sayangnya, rasio wirausaha di dalam negeri baru mencapai 3,47 persen dari total populasi penduduk, lebih rendah dibandingkan negara Asia berkembang lainnya (Kementerian Perindustrian Republik Indonesia, 2018). Padahal, rasio wirausaha menjadi satu dari penyumbang besar pendapatan per kapita yang dapat memajukan negara. Tentunya, pertumbuhan rasio kewirausahaan membawa secercah harapan, seperti kemudahan perizinan dan insentif UMKM. Ini menjadi panggilan pemerintah dan kita bersama untuk menggencarkan gerakan inovatif dan kreatif dengan realisasi rasio wirausaha 3,95 persen pada 2024.

Jadi, APA Itu Wirausaha?

Dari cerita turun temurun, sampai bisnis yang diturunkan dari ayah ke anak. Saat itu, pengusaha dikenal sebagai orang berjas yang memiliki puluhan toko fisik di berbagai wilayah. Kekayaannya terlihat, apa yang dijual memiliki wujud yang bisa kita raba. Asal ada hasil jadinya. Ini akan menimbulkan pertanyaan, bagaimana tolak ukur seseorang dapat dikatakan memiliki cikal bakal berwirausaha. Ada yang tolak ukurnya adalah dengan memiliki toko. Itu sah saja. Tapi boleh juga menengok sekeliling bahwa nyatanya banyak orang lebih condong membuka bisnis dengan modal mengikuti trend sesaat. Oh, deras sekali penghasilannya, sedang dicari banyak orang, katanya. Sampai akhirnya pada satu titik terjadi kejenuhan. Mereka yang memilih mode bertahan pada trend sesaat, bisa lari ke inisiatif semu dengan mudahnya berpindah ke trend selanjutnya.

Bisnis mulu. Itu ucapan beberapa mahasiswa yang meremehkan kemampuan berwirausaha karena terkesan selalu fokus untuk menciptakan usaha bisnis sebagai hasil akhir. Padahal ada hakikat yang lebih esensial dan dekat dengan kehidupan sehari-hari kita. Ini yang menjadi perhatian bagi Bapak Julbintor Kembaren, dosen S2 pengampu mata kuliah Design Thinking and Entrepreneurship di School of Business BINUS. Menurut beliau, jika di dalam kelas atau suatu perusahaan individu bisa menawarkan solusi alternatif atau inovasi yang lebih efektif untuk permasalahan yang sebenarnya dihadapi, membuat pekerjaan lebih optimal, dan berguna bagi orang di sekelilingnya… itu juga dikatakan kemampuan berwirausaha, loh!

 

Soft skill sehari-hari yang mendukung kemampuan kewirausahaan. Soft skill mana yang sudah kamu miliki? (Sumber: Prüfer et al., 2020)

Para peneliti memperdebatkan suatu bisnis tidak bisa berjalan sukses tanpa pelaku usaha dibaliknya. Ini mencirikan bahwa kewirausahaan dapat dikenali melalui soft skill. Bahkan, tren saat ini menunjukkan kemampuan kewirausahaan setara dengan kemampuan untuk bertahan hidup (simak lebih lanjut Davis, 2023; Godwin et al., 2023). Clark et al. (2023) menyebut Orientasi Kewirausahaan Individual (Individual Entrepreneurial Orientation, selanjutnya disebut sebagai IEO) sebagai pintu terbentuknya mindset pembisnis hingga kemudian hari muncul intensi membuka usaha.

“Orientasi Kewirausahaan Individual memberdayakan kecenderungan alamiah individu untuk memahami konteks sosial dan memenuhi tuntutan sosial. Kemudian, memadukannya dengan suatu usaha dan proses untuk mencapai target atau menciptakan kesempatan yang berarti”  – Clark et al. (2023).

Dengan membaca kebutuhan dan pola dari rutinitas masyarakat, kita jadi tahu inisiatif apa yang bisa kita lakukan untuk mengembangkan taraf hidup masyarakat, baik perkotaan maupun pedesaan. Mengajarkan mahasiswa untuk mengeluarkan usaha aktif untuk menemukan solusi kreatif, menambah suatu nilai baik dari hal yang sudah ada maupun baru, dan berani mengejar peluang dalam situasi tidak terduga. Serangkaian kebiasaan tersebut yang akhirnya menciptakan pengalaman dan skema-skema mengejar peluang bisnis yang menguntungkan (mindset pembisnis),serta niatan untuk membangun nama, brand, atau perusahaan miliknya. Bahkan trend sosial media seperti menjadi influencer dan content creator termasuk bentuk baru dari kewirausahaan karena dapat mendatangkan cuan dengan melakukan endorse terhadap produk-produk, monetisasi, dan banyak lagi.

 

Cuan datang dari 4K- Koneksi, kesempatan, ketertarikan, kegigihan. Menarik, kan. (Sumber: Databoks, 2018)

Mulai dengan Orientasi Kewirausahaan.

“Orang yang memiliki preferensi mengambil risiko akan bertindak terlepas dari risiko faktor eksternal. Tapi jika hanya bermodalkan nekat, apalagi tanpa referensi, itu buruk.”  – Dodi wahyudi, Dosen S1 Entrepreneurship BINUS dan HRBP Commercial leader.

Sekarang mari kita menjawab pertanyaan kedua, yaitu relevansi metode mengembangkan orientasi kewirausahaan. Generasi Y keatas percaya bahwa belajarlah dari orang yang lebih berpengalaman melewati semua krisis, ada yang bisa kita tanyai dan kita ambil intisarinya untuk dijadikan patokan kita bertindak. Ibaratnya, Siapapun pasti antusias mendengarkan kisi-kisi sebelum mereka melompat langsung ke laut entah berantah. Sampai suatu saat kita mengalami peristiwa yang bisa saja berbeda konteks, rasanya perlu ada adjustment. Kemampuan wirausaha bukan sekedar pengetahuan atau hard skill, namun juga kesiapan mental dan cara kita merespon lingkungan (adaptasi) seperti yang dijalani dalam kehidupan sehari-hari. Ini sesuai pendapat Clark et al. (2023), fondasi IEO erat kaitannya dengan motivasi dan faktor internal-psikologis.

Penelitian lintas generasi yang dilakukan oleh Hamdi et al. (2021) membuktikan bahwa generasi Z lebih tertarik dengan pembelajaran berbasis pengalaman. Merekonstruksi apa yang dimiliki, menemukan apa yang menjadi batu sandung, baru bertanya. Generasi Z berpikir bagaimana mereka bisa berkontribusi dengan kemampuan yang mereka miliki, menggiati nilai hidup (e.g ikigai, passion), dan  menemukan keunikan dari karya mereka dari usaha aktif (“be yourself!”). Belajar langsung dengan pembelajaran berbasis gim semakin berkembang dengan simulasi digital dan gamifikasi. Selama lima tahun, Rua et al. (2022) menerapkan permainan Negotiopoly untuk mengasah kemampuan bernegosiasi pada mahasiswa. Hanya dalam 60 menit waktu bermain, mahasiswa terdorong untuk proaktif membangun hubungan kerja sama dengan sesama pemain, membuat kesepakatan yang kreatif, dan menguatkan fondasi bisnis yang membawanya pada kesuksesan. Pembelajaran di kelas bukan persoalan bagaimana membuat model bisnis yang sempurna, tapi tentang ketertarikan untuk mengeksplorasi dan kegigihan untuk bangkit kembali dari hambatan.

Sejatinya, tidak ada perbedaan antar generasi Y dan Z dalam perihal pengalaman berbisnis, intensi membuka usaha, maupun literasi digital (Hamdi et al., 2021). Kunci untuk mengembangkan kemampuan kewirausahaan adalah kemampuan menyadari diri untuk mengenali dan merefleksikan kekuatan, peran dalam hidup, dan tujuan. Mengenali diri memotivasi kita untuk bergerak mencapainya, salah satunya dengan mengkomunikasikan ide dengan lantang, membayangkan skenario yang jauh, membangun kerja sama dengan orang-orang yang sejalan, dan mengelola konflik yang mungkin terjadi.

Kenali potensi mu

“Wirausaha itu seperti membuat landasan terbang. Sebagai tujuan utama, tentu kita berharap sebuah bisnis akan launching (pesawatnya akan terbang dan sustain dengan tujuan baru yang berkembang lainnya). Makanya, jangan sampai pesawatnya cuma muter-muter di bandara, atau jangan sampai dia terbang menukik lalu crash. Hal-hal yang perlu dijaga adalah konsistensi dan self-awareness. Generasi Z perlu meng-improve hal ini” – Julbintor Kembaren, Dosen S2 mata kuliah Design Thinking and Entrepreneurship BINUS.

Di Indonesia, pergerakan pengembangan pendidikan kewirausahaan bagi sekolah menjadi sorotan. Hal ini mulai dari membenahi kurikulum dan pembelajaran (Davis, 2023; Efrata et al., 2021) dan kegiatan di inkubator bisnis di pendidikan tinggi (Semivolos et al., 2022). Untuk itu, baiknya kita merefleksikan perkembangan dan penggunaan instrumen. Pengukuran potensi dan minat tidak hanya berhenti pada sistem ‘seleksi’ atau hubungan transaksional, namun juga melihat mahasiswa sebagai batu permata yang dapat diasah di bawah bimbingan professional. Membuat individu bisa menyadari kepribadian, potensi diri, dan cara mereka bereaksi dalam berbagai situasi. Koneksi, kesempatan, ketertarikan, kegigihan— meski terdengar biasa namun baru-baru ini menjadi poin utama dalam instrumen IEO (Bilal et al., 2022; Santos et al., 2020). Untuk itu, kita perlu memiliki instrumen terupdate yang relevan dengan kebutuhan calon wirausaha.

2 dari 3 lulusan BINUS UNIVERSITY telah bekerja di perusahaan nasional/internasional, dan 1 dari 3 menjadi entrepreneur.

Referensi :

  • Bilal, A.R., Fatima, T., Iqbal, S. and Imran, M.K. (2022), “I can see the opportunity that you cannot! A nexus between individual entrepreneurial orientation, alertness, and access to finance”, European Business Review, Vol. 34 No. 4, pp. 556-577. https://doi.org/10.1108/EBR-08-2021-0186
  • Clark, D. R., Pidduck, R. J., Lumpkin, G. T., & Covin, J. G. (2023). Is It Okay to Study Entrepreneurial Orientation (EO) at the Individual Level? Yes! Entrepreneurship Theory and Practice, 0(0). https://doi.org/10.1177/10422587231178885
  • Davis, J. P. (2023). How To Become An Entrepreneurial Teacher Being Innovative, Leading Change. Routledge
  • Databoks. (2018, January 09). Berapa pendapatan Influencer media sosial. https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2018/01/09/berapa-pendapatan-influencer-media-sosial
  • Efrata, T., Radianto, W. E. D., & Effendy, J. A. (2021). The Dynamics of Individual Entrepreneurial Orientation in the Relationship Between Entrepreneurship Education and Entrepreneurial Intention. Journal of Applied Management, 19(3), 688-702. http://dx.doi.org/10.21776/ub.jam.2021.019.03.20
  • Hamdi, M., Indarti, N., Manik, H.F.G.G.,&  Lukito-Budi, A.S. (2023). Monkey see, monkey do: Examining the effect of entrepreneurial orientation and knowledge sharing on new venture creation for Gen Y and Gen. Journal of Entrepreneurship in Emerging Economies, 15(4), pp. 786-807. https://doi.org/10.1108/JEEE-08-2021-0302
  • Prüfer, J.,& Prüfer, P. (2020). Data science for entrepreneurship research: studying demand dynamics for entrepreneurial skills in the Netherlands. Small Bus Econ, 55, 651–672. https://doi.org/10.1007/s11187-019-00208-y
  • Rua, T., Aytug, Z. & Lawter, L. (2022). NegotioPoly: A Holistic gaming approach to negotiation teaching. Organization Management Journal ,19,(4), pp. 143-154. https://doi.org/10.1108/OMJ-02-2021-1160
  • Santos, G., Marques, C. S., & Ferreira, J. J. (2020). Passion and perseverance as two new dimensions of an Individual Entrepreneurial Orientation scale. Journal of Business Research, 112, 190-199. https://doi.org/10.1016/j.jbusres.2020.03.016
  • Semivolos, A., & Raimi, L. (2022). Does university business incubator influence the individual entrepreneurial orientation of students? Evidence from entrepreneurship village, Brunei Darussalam. Entrepreneurship Education, 5(3), 319-342. https://doi.org/10.1007/s41959-022-00076-w

Penulis : Rahmadina Syarafina Wibowo