PENDAHULUAN
Pada era digital ini, media sosial telah menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari individu, terutama bagi dewasa muda. Platform-platform media sosial seperti: Facebook, Instagram, Twitter, dan TikTok menawarkan kemungkinan untuk terhubung dengan orang lain, berbagi pengalaman, dan menciptakan identitas daring. Akan tetapi, di balik fitur-fitur positifnya, media sosial juga membawa dampak negatif, salah satunya adalah fenomena yang dikenal sebagai “toxic positivity”. Toxic positivity merujuk pada tekanan untuk selalu memperlihatkan kebahagiaan, kesuksesan, dan kehidupan yang sempurna di media sosial, meskipun realitasnya jauh berbanding terbalik dari gambaran tersebut. Fenomena ini dapat berdampak negatif pada kesehatan mental, terutama bagi dewasa muda yang masih dalam proses pembentukan identitas diri.

Dalam hal ini, dapat diamati jika media sosial tidak hanya berfungsi sebagai platform komunikasi, tetapi juga sebagai panggung di mana individu merasa terus-menerus diminta untuk tampil dalam citra yang positif, tanpa ruang untuk kelemahan atau kerentanan. Hal ini menciptakan sebuah pertentangan sosial di mana meskipun terhubung secara virtual, individu mungkin merasa semakin terisolasi dan tertekan oleh ekspektasi yang tidak realistis.
Dalam artikel ini, saya sebagai penulis ingin mengeksplorasi sejauh mana pengaruh toxic positivity di media sosial terhadap kesehatan mental dewasa muda dari perspektif psikologis, dengan fokus pada teori self-compassion. Kemudian juga, disini saya akan menganalisis bagaimana tekanan untuk menciptakan citra yang sempurna di media sosial dapat mengganggu kesehatan mental, dan bagaimana self-compassion dapat menjadi solusi yang efektif dalam menghadapi tantangan ini.

ANALISA
Teori self-compassion hadir sebagai solusi yang efektif dalam mengatasi dampak negatif dari toxic positivity di media sosial terhadap kesehatan mental dewasa muda karena memberikan alternatif yang sehat terhadap tekanan konformitas dengan mengajarkan individu untuk merangkul kelemahan dan kegagalan sebagai bagian alami dari pengalaman manusia. Dengan mempraktikkan self-compassion, individu dapat mengurangi perasaan terikat pada standar yang tidak realistis, mengakui dan mengatasi masalah kesehatan mental dengan lebih berani, serta memperkuat koneksi sosial dengan menyadari bahwa mereka tidak sendirian dalam perjuangan mereka. Oleh karena itu, self-compassion memberikan kerangka kerja yang kuat untuk mempromosikan sikap yang lebih penuh pengertian, kasih sayang, dan penerimaan terhadap diri sendiri dan orang lain dalam menghadapi tekanan toxic positivity di media sosial.

Menurut teori self-compassion yang dikembangkan oleh Kristin Neff, self-compassion terdiri dari 3 komponen utama, yakni:

  1. Self-Kindness (Kebaikan pada Diri Sendiri): Mengembangkan sikap yang penuh pengertian dan penyayang terhadap diri sendiri ketika mengalami kesulitan atau kegagalan.
  2. Common Humanity (Kemanusiaan Bersama): Memahami bahwa penderitaan dan kegagalan adalah bagian alami dari pengalaman manusia, dan bahwa tidak sendirian dalam perjuangan tersebut.
  3. Mindfulness (Kehadiran Penuh): Menerima pengalaman saat ini dengan kehadiran penuh tanpa menilai atau menghakimi.
    Salah satu contoh kasus mengenai toxic positivity yang dapat ditemukan di media sosial adalah fenomena “highlight reel“, di mana individu cenderung hanya membagikan momen-momen terbaik dalam kehidupan mereka. Misalnya, seseorang mungkin hanya memposting foto liburan mewah, kesuksesan profesional, atau momen-momen kebahagiaan dengan teman-teman. Meskipun ini adalah bagian alami dari penggunaan media sosial untuk membagikan momen-momen bahagia, namun, bagi beberapa orang, melihat unggahan seperti itu dapat menciptakan perasaan kurangnya pencapaian dalam hidup mereka sendiri. Mereka mungkin merasa tidak sebaik orang lain atau merasa tertinggal dalam hal kesuksesan dan kebahagiaan.

Berikut ini adalah pemaparan mengenai analisis kasus berdasarkan Teori Self-Compassion:

  1. Self-Kindness (Kebaikan pada Diri Sendiri): Ketika seseorang terpengaruh oleh unggahan-unggahan seperti ini dan merasa tidak mencukupi, prinsip self-compassion mengajarkan mereka untuk memperlakukan diri mereka sendiri dengan kebaikan. Mereka perlu mengingat bahwa setiap orang memiliki tantangan dan perjuangan mereka sendiri, dan tidak adil bagi mereka untuk membandingkan bagian terburuk dari kehidupan mereka dengan bagian terbaik dari kehidupan orang lain.
  2. Common Humanity (Kemanusiaan Bersama): Self-compassion juga mengajarkan individu untuk mengenali bahwa pengalaman perasaan kurangnya atau kegagalan adalah pengalaman yang umum dan manusiawi. Ini berarti mereka tidak sendirian dalam perasaan mereka, dan banyak orang lain juga mengalami hal yang sama, meskipun mungkin tidak membagikannya di media sosial.
  3. Mindfulness (Kehadiran Penuh): Menggunakan prinsip kehadiran penuh, individu dapat mengakui perasaan mereka tanpa menghakimi atau menilainya. Mereka bisa mengidentifikasi perasaan kurangnya sebagai bagian dari pengalaman mereka tanpa harus membiarkannya mendefinisikan nilai diri mereka.
    Jadi, dengan menerapkan prinsip-prinsip self-compassion ini, individu dapat melawan dampak negatif toxic positivity di media sosial. Mereka dapat belajar untuk memahami dan menerima diri mereka sendiri dengan lebih baik, mengurangi perasaan tidak mencukupi, dan mengembangkan kesehatan mental yang lebih baik secara keseluruhan.

SOLUSI PRAKTIS
Untuk mengatasi pengaruh toxic positivity di media sosial terhadap kesehatan mental dewasa muda, ada beberapa solusi praktis yang dapat dilakukan:

  1. Mengembangkan Kesadaran Diri (Self-Awareness):
    • Mengajak individu untuk lebih sadar akan dampak yang dirasakan ketika terpapar konten toxic positivity di media sosial.
    • Memahami bahwa apa yang dilihat di media sosial seringkali merupakan gambaran yang tidak sepenuhnya mencerminkan realitas.
  2. Mengedepankan Pendidikan tentang Kesehatan Mental :
    • Memberikan pendidikan yang lebih baik tentang kesehatan mental kepada dewasa muda, termasuk pemahaman tentang pentingnya self-compassion dan cara mengelola tekanan dari media sosial.
    • Menyediakan sumber daya dan informasi mengenai layanan dukungan kesehatan mental yang tersedia.
  3. Membangun Komunitas yang Supportif:
    • Mendorong pembentukan komunitas yang mendukung di media sosial, tempat individu dapat merasa nyaman untuk berbagi pengalaman, tantangan, dan dukungan satu sama lain.
    • Mengurangi stigma terhadap masalah kesehatan mental dengan menciptakan lingkungan yang terbuka dan ramah.
  4. Penggunaan Media Sosial yang Sadar:
    • Mengajarkan teknik penggunaan media sosial yang sadar, seperti menetapkan batas waktu penggunaan, memfilter konten yang dapat memicu perasaan negatif, dan berlatih kesadaran diri saat berinteraksi dengan media sosial.
    • Mendorong untuk memperluas penggunaan media sosial yang lebih positif, seperti mengikuti akun yang mempromosikan kebaikan, kesehatan mental, dan kesadaran diri.
  5. Peningkatan Literasi Digital:
    • Melakukan pendidikan tentang literasi digital yang meliputi pemahaman tentang pengaruh media sosial terhadap kesehatan mental, cara mengenali dan mengelola konten yang merugikan, serta hak dan tanggung jawab sebagai pengguna media sosial.
  6. Penguatan Dukungan Sosial Offline:
    • Mendorong individu untuk membangun hubungan sosial offline yang kuat, seperti dengan keluarga, teman-teman, dan komunitas lokal, yang dapat menjadi sumber dukungan yang penting dalam menghadapi tekanan dari media sosial.
  7. Promosi Self-Compassion:
    • Mengajarkan dan mendorong praktik self-compassion sebagai alat untuk mengatasi tekanan dari media sosial, seperti dengan mempraktikkan kebaikan pada diri sendiri, memahami bahwa penderitaan adalah bagian manusiawi, dan meningkatkan kesadaran diri.

KESIMPULAN
Dalam era digital yang dipenuhi dengan media sosial, fenomena toxic positivity telah menjadi salah satu tantangan utama bagi kesehatan mental dewasa muda. Dalam artikel ini, telah dibahas pengaruh negatif toxic positivity di media sosial terhadap kesehatan mental dewasa muda dan solusi praktis untuk mengatasi dampaknya.

Analisis teori self-compassion menunjukkan bahwa prinsip-prinsip seperti self-kindness, common humanity, dan mindfulness dapat menjadi landasan yang kuat dalam menghadapi tekanan toxic positivity di media sosial. Dengan mempraktikkan self-compassion, individu dapat mengembangkan ketahanan terhadap standar yang tidak realistis, memahami bahwa penderitaan adalah bagian alami dari pengalaman manusia, dan menghadapi pengalaman mereka dengan kehadiran penuh tanpa penilaian yang merugikan.

Solusi praktis yang diusulkan meliputi peningkatan kesadaran diri, pendidikan tentang kesehatan mental, pembentukan komunitas yang mendukung, penggunaan media sosial yang sadar, peningkatan literasi digital, penguatan dukungan sosial offline, dan promosi self-compassion sebagai alat untuk mengelola tekanan dari media sosial. Maka, dengan mengimplementasikan solusi-solusi praktis ini, diharapkan dapat membantu dewasa muda untuk mengurangi dampak negatif toxic positivity di media sosial dan memperkuat kesehatan mental mereka, sehingga menciptakan lingkungan online yang lebih sehat dan mendukung untuk generasi masa depan.

DAFTAR PUSTAKA

  1. Neff, K. D. (2011). Self-compassion: The proven power of being kind to yourself. HarperCollins.
  2. Nuralifiah, H. (2022, January 3). Toxic Positivity: Dampaknya bagi Kesehatan Mental. Satu Persen. https://satupersen.net/blog/toxic-positivity-dampaknya-bagi-kesehatan-mental
  3. Psikologi, C. (2022, March 13). Apa itu toxic positivity? bagaimana dampaknya bagi kesehatan mental? Catatan Psikologi. https://www.catatanpsikologi.com/apa-itu-toxic-positivity-bagaimana-dampaknya-bagi-kesehatan-mental/
  4. Self-Compassion. (2020, July 9). Self-Compassion. https://self-compassion.org/the-three-elements-of-self-compassion-2/
  5. Self-Compassion: Pengertian, Komponen dan Faktor yang Memengaruhi. (n.d.). IndoPositive. https://www.indopositive.org/2019/11/self-compassion-pengertian-komponen-dan.html?m=1
  6. Van Deurzen, E., & De Haan, J. (2016). The dark side of positive thinking: The negative consequences of toxic positivity. Frontiers in Psychology, 7, 1412. https://doi.org/10.3389/fpsyg.2016.01412
  7. Whiteboard Journal. (2020, July 17). Tentang Toxic Positivity dan Dampaknya Pada Kesehatan Mental Kita – Whiteboard Journal. https://www.whiteboardjournal.com/ideas/human-interest/tentang-toxic-positivity-dan-dampaknya-pada-kesehatan-mental-kita/

Penulis : Melvin Nathaniel Kurniawan (2502033771)

Site Supervisor : Bay Dhowi, S.Psi., M.Si. – D4978