Fenomena Workaholism Dalam Teori Horney
Fenomena Workaholism Dalam Teori Horney
2602188080 – Adelia Putri Heriyanti
2602186743 – Fay Myra Pradana
2602199456 – Ikhsan Dhaffa Nugraha
2602182732 – Shadyra Aura Fadilla
2602221954 – Taqi Jahfal Hadian
Latar Belakang
Dunia saat ini berada di era teknologi digital dan industri yang terus menerus berkembang secara pesat. Perkembangan industri dan teknologi digital ini ada kalanya menguntungkan kita, karena kedua hal ini membawa kita dalam kemudahan untuk melakukan kegiatan sehari-hari (Putri, et al., 2016). Namun, tidak bisa dipungkiri juga bahwa perkembangan zaman ini telah menuntut kita untuk bekerja lebih keras dan lebih cepat. Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikutip dari CNN (2018), yang mengatakan bahwa manusia dituntut untuk terus dapat meningkatkan talenta di era digital agar tidak tergerus oleh kehadiran robot atau mesin otonom, yang disebut mampu menggantikan peran manusia. Hal ini dapat memungkinkan manusia untuk bekerja terlalu keras melampaui batas normalnya dan mengabaikan aspek lain dalam kehidupannya. Fenomena ini disebut sebagai workaholism atau Hustle culture. Workaholism adalah keadaan bekerja terlalu keras dan mendorong diri sendiri untuk melampaui batas kemampuan hingga akhirnya menjadi gaya hidup (Retnowati, 2022). Dilansir dari DataIndonesia.id (2022), rata-rata pekerja di Indonesia bekerja selama 42 jam per minggu pada Agustus 2022, angka ini melebihi angka jam kerja yang sudah ditentukan dalam Undang-Undang. Seseorang yang melakukan hustle culture/workaholism ini disebut juga sebagai workaholic. Pada zaman ini, masyarakat menganggap individu workaholic sebagai individu yang mampu bekerja dengan baik dan seorang pekerja keras yang patut dijadikan contoh, padahal menjadi workaholic bukanlah hal yang baik dan tentunya memiliki banyak dampak buruk (Putri, Soerjoatdmojo, 2019).
Melihat latar belakang diatas, apakah penyebab seseorang menjadi workaholic hanya disebabkan oleh perkembangan industri? atau terdapat sisi psikologis yang membuat seseorang menjadi workaholic? dan bagaimana strategis coping dalam hal ini? Kelompok kami akan menganalisa lebih lanjut tentang workaholic dengan mengaitkan konsep teori Horney, lebih spesifiknya adalah konsep teori Intrapsychic Conflicts.
Teori
Intrapsychic Conflicts merupakan salah satu teori yang dikembangkan oleh Karen Horney dalam Psychoanalytic Social Theory. Intrapsychic conflicts merupakan benturan kekuatan yang berlawanan dalam diri seseorang, seperti dorongan, keinginan, atau agensi yang saling bertentangan. Horney mengemukakan dua Intrapsychic conflicts penting pada teori ini, yaitu idealized self-image dan self hatred. Idealized self image merupakan bagian dari diri seorang individu yang digunakan untuk menyelesaikan konflik dengan membayangkan dirinya yang paling ideal. Horney mengemukakan tiga aspek dalam idealized self image, diantaranya the neurotic search for glory, neurotic claims, dan neurotic pride.
Neurotic search for glory merupakan dorongan komprehensif untuk mencapai aktualisasi diri (self-actualization) yang ideal dan memiliki tiga elemen, yaitu the need for perfection, neurotic ambition, dan drive toward a vindictive triumph. Neurotic claims merupakan pandangan yang menganggap dirinya ‘istimewa’ dan merasa berhak untuk diperlakukan sesuai dengan pandangan ideal dirinya. Neurotic pride merupakan kebanggaan palsu yang tidak didasarkan pada realitas pandangan diri secara nyata (realistic view of the
true self) tetapi pada pandangan palsu dari diri yang diidealkan (spurious image of the idealized self).
Self hatred merupakan keadaan dimana seseorang membenci dirinya sendiri karena tidak mampu mencapai keadaan / pandangan ideal yang dibuat oleh diri sendiri. Horney mengemukakan terdapat 6 cara dalam mengekspresikan self-hatred, yaitu diantaranya relentless demands on the self atau tuntutan berkelanjutan terhadap diri sendiri walaupun telah mencapai kesuksesan. Merciless self-accusation atau menyalahkan diri sendiri atas kegagalan yang dialami secara terus menerus tanpa ampun. Self-contempt atau menjelek-jelekan diri sendiri. Self-frustration atau membuat diri tersiksa karena menetapkan standar ideal yang terlalu tinggi. Self-torment/torture atau mengurangi kesenangan / sengaja menyiksa diri agar merasa menyedihkan. Self-destructive actions and impulses atau perilaku menghancurkan/melukai fisik atau psikis diri sendiri secara sadar maupun tidak sadar yang dilakukan dalam bentuk tindakan ataupun imajinasi.
Intrapsychic conflicts bersumber dari pengalaman interpersonal seorang individu yang subjektif dan berkembang menjadi sesuatu milik individu tersebut. Dalam kata lain, hal itu terbentuk dan berkembang akibat perilaku kompulsif seseorang dalam menanggapi basic anxiety yang disebabkan oleh basic hostility. Menurut Horney, basic hostility merupakan hasil dari perasaan penolakan atau kurangnya rasa kasih sayang orang tua selama masa kanak- kanak yang kemudian memunculkan basic anxiety pada anak, yaitu perasaan tidak aman (insecure), terisolasi, dan tak berdaya di dunia yang dianggap kejam dan hostile.
Selain itu, Horney juga menitikberatkan peran lingkungan dan budaya sebagai faktor utama dalam pembentukan kepribadian seseorang. Dalam budaya modern, Horney mengatakan bahwa setiap orang berpotensi menjadi lawan orang lain. Hal itu mengacu kepada sifat kompetitif yang dimiliki seseorang yang juga berpotensi menjadi perasaan terisolasi. Rasa terisolasi tersebut mengakibatkan seseorang merasa butuh kasih sayang (need for affection) dan berujung terlalu berlebihan dalam menilai cinta (overvalue love), sehingga menganggap bahwa cinta adalah solusi dari semua masalah.
Analisis Kasus
Setelah mengetahui tentang adanya workaholism pada fenomena hustle culture dan teori Intrapsychic Conflicts milik Karen Horney, kami melihat adanya keterkaitan antara dua hal itu. Menurut teori Horney, individu yang selama masa kecil mendapati dirinya dalam perasaan terisolasi dan rendah diri akan menumbuhkan rasa keterasingan terhadap dirinya sendiri, hal ini membuat individu mencari identitas diri yang stabil. Dilema atau konflik intrapsikis yang individu rasakan saat mencari identitas diri mereka ini mengarahkan individu kepada pembangunan self image yang berlebihan, atau disebut sebagai idealized self image, yaitu membangun citra diri yang terlalu berlebihan bahkan hanya terdapat dalam sistem keyakinan diri mereka sendiri. Keadaan ini serupa dengan seseorang yang menjadi workaholic. Workaholic memiliki pandangan ideal terhadap dirinya, yaitu mereka harus menjadi seseorang yang paling giat bekerja dan mampu mencapai kesuksesan tertinggi dibanding orang lain.
Dilansir dari bin burnout (2022), individu dengan pengalaman masa kecil yang buruk dengan orang tuanya juga mengarahkan mereka untuk menjadi seseorang yang workaholic,
hal ini karena individu tersebut merasa telah terjadi seperti pertukaran peran dengan orang tuanya, sehingga individu ini terpaksa untuk tetap menjalani kehidupannya dan memainkan peran sebagai orang tua untuk dirinya sendiri. Hal ini juga mengarahkan individu tersebut untuk membangun idealized self image nya sebagai orang yang sangat pekerja keras. Menurut Kilinger (1997, dalam Syarifuddin, dkk, 2013) workaholic memiliki dorongan internal berupa keyakinan diri yang tinggi cenderung mempunyai ekspektasi yang tinggi terhadap pencapaian dirinya sehingga akan muncul ketakutan akan kegagalan atau kekecewaan. Hal ini berpotensi menyebabkan seseorang menjadi self-hatred, khususnya relentless demand on the self jika pandangan ideal dan ekspektasinya tersebut tidak mampu dipenuhi.
Sejalan dengan teori Horney, faktor lingkungan dan budaya juga menjadi salah satu penyebab munculnya fenomena hustle culture. Salah satu faktor lingkungan ini adalah budaya perusahaan yang mendorong kerja keras dan memuji orang-orang yang bekerja berlebihan dapat menjadi faktor penting dalam menciptakan workaholic. Jika perusahaan memberikan penghargaan atau promosi hanya kepada orang-orang yang selalu bekerja lebih banyak, karyawan cenderung merasa perlu untuk bekerja terus-menerus untuk mendapatkan pengakuan dan imbalan tersebut. Hal ini juga karena secara umum tuntunan masyarakat terhadap kesuksesan hampir tak ada habisnya, bahkan ketika tujuan mereka sebenarnya sudah dicapai, akan terus hadir tujuan tambahan lagi untuk mereka.
Coping Solution
Solusi atau coping menurut teori Karen Horney kepada individu yang menjadi workaholic yang pertama yaitu dari sisi internal, dengan membangun Self-Understanding dan Self Analysis untuk mencapai Self Realization. Self-understanding merupakan proses yang panjang tetapi dapat memberi perubahan positif, dalam self-understanding seseorang yangworkaholic harus memahami diri mereka, masalah mereka, keterasingan mereka dari diri sendiri, dan kebencian mereka atas diri mereka sendiri. Selain itu, mereka harus tahu bagaimana faktor-faktor tersebut dapat terkait dan mempertahankan neurosis dasar. Ketika seseorang sudah membangun interpretasi yang benar terhadap dirinya sendiri, maka individu tersebut dapat memiliki pemahaman yang lebih baik tentang diri mereka.
Solusi kedua yaitu free association, dimana individu diminta untuk mengatakan suatu hal yang terlintas dipikiran mereka tanpa mempedulikan isi dari pikiran mereka. Teknik ini mendorong untuk mengungkapkan perasaan apapun yang timbul dari asosiasi. Seperti halnya interpretasi mimpi, teknik free association ini akhirnya akan mengungkapkan self imagepasien yang diidealkan. Jika terapi ini berhasil, individu secara perlahan mendapatkan kepercayaan pada kemampuannya untuk bertanggung jawab atas perkembangan psikologisnya dan akhirnya beralih ke self-realization.
Adapun solusi eksternal, contohnya kegiatan-kegiatan rutin yang dilakukan perusahaan untuk karyawan seperti gathering, briefing, ataupun kegiatan lain yang berfungsi sebagai media utama untuk mempertahankan kondisi psikologis yang positif . Mekanisme Coping Adaptive juga bisa menjadi solusi, contoh dari mekanisme ini adalah menggunakan humor dan tertawa sebanyak mungkin, berlatih yoga, atau memasak untuk orang tersayang. Inti dari prinsip mekanisme coping ini adalah untuk membawa kebahagiaan dan kenyamanan untuk kehidupan seseorang sambil menurunkan emosi stres.
References
Retnowati, I. (n.d.). Mengenal Hustle Culture: Budaya Gila Kerja yang Berbahaya. Direktorat Jenderal Kekayaan Negara. https://www.djkn.kemenkeu.go.id/kpknl-samarinda/baca-artikel/14718/Mengenal-Hus tle-Culture-Budaya-Gila-Kerja-yang-Berbahaya.html
Manusia Harus Ambil ‘Ancang-ancang’ Agar Tak Digantikan Robot. (2018, September 28). CNN Indonesia.
https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20180926145401-185-333374/manusia-haru
s-ambil-ancang-ancang-agar-tak-digantikan-robot
Putri, C. A., & Soerjoatmodjo, G. W. L. (2019, September 28). Ketika Bekerja Jadi Candu: Perilaku Workaholic, 5
APA Dictionary of Psychology. (n.d.). APA Dictionary of Psychology. Retrieved June 22,2023, from https://dictionary.apa.org/intrapsychic-conflict
Putri, W. S., Nurwati, N., & Santoso, M. B. (2016). PENGARUH MEDIA SOSIAL TERHADAP PERILAKU REMAJA. 3.
Pekerja Indonesia Bekerja 42 Jam per Minggu pada Agustus 2022. (2022, December 7). DataIndonesia. Retrieved June 22, 2023, from
https://dataindonesia.id/tenaga-kerja/detail/pekerja-indonesia-bekerja-42-jam-per-min
ggu-pada-agustus-2022
Workaholism as a trauma response and a coping strategy. (2022, April 28). Bin Burnout & Thrive. Retrieved June 22, 2023, fromhttps://www.binburnout.com/post/workaholism-is-an-addiction-it-is-a-trauma-res ponse-and-a-coping-strategy
Syarifuddin. Harlina Nurtjahjanti, Costrie Ganes Widayanti. (2013, Juni 6.). HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP LINGKUNGAN KERJA PSIKOLOGIS DENGAN INTENSI MENJADI WORKAHOLIC PADA KARYAWAN BANK X SEMARANG.https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/empati/article/download/5247/5051
Comments :