Saya duduk di pojok kelas, kepala di atas meja, sementara tangan saya gelisah di setiap kebisingan yang mengelilingi kelas di jam istirahat. Saat jam berdentang pukul 12 siang, saya menegakkan punggung, mata saya melihat isi papan tulis kelas yang kosong. Di sekitar ada sekelompok anak yang meneriakkan nama teman mereka, saling menolong untuk berhenti tertawa saat guru memasuki kelas. Senyum terlukis di wajah guru ketika semua orang kembali ke tempat duduk mereka untuk melanjutkan sesi belajar mereka. Guru memulai kelas dengan menyapa semua orang dan ketika mata saya terpusat ke wajah guru, guru meminta saya menjawab permintaannya untuk membacakan satu paragraf dari sesi membaca harian kami, di sana saya membeku dan gemetar menatap tatapannya. Saya ingat keringat membasahi wajah saya, tangan saya mencengkeram meja dengan kuat saat pikiran saya beralih ke mode melarikan diri. Saat guru mengulangi dirinya sendiri, saya berlari menuju pintu kelas dan merasakan kekesalan pertama yang saya alami. Kekesalan terpendam pada diri saya, marah pun adalah temannya. Di saat semua orang memilih untuk menyapa satu sama lain, saya memilih untuk diam dan tidak gundah atas adanya berita yang tergolong populer di sekolah. Sepulang sekolah, dunia terasa sunyi dan digabungkan oleh acuan orang tua yang penuh dengan kecemasan tentang kesusahan yang saya alami. Tidak ada jawaban, melainkan tangisan atas keterbatasan saya dalam bersosialisasi di lingkungan sekolah baru dikarenakan bahasa yang berbeda. Sering Kali para guru mengeluh tentang sikap pendiam saya selama pelajaran mereka, bahkan ada yang mengira saya mempunyai disabilitas karena kurangnya partisipasi saya di kelas.

Partisipasi memang bukan hal yang esensial dalam metode pembelajaran di sekolah baru saya, namun ada juga saatnya dimana siswa-siswa diharuskan untuk menunjukkan keberanian mereka pada cara mengutarakan pendapat mereka sendiri. Ada suatu kejadian, di mana saya dipanggil guru untuk berpartisipasi di dalam sebuah sandiwara dari cerita Shakespeare, di situ semua orang mempunyai perannya masing-masing dan saya pun mencoba untuk menjadi peran yang penting di dalam sandiwara itu. Hari-hari pun terlewatkan dengan normal, dan kepercayaan pada diri sendiri pun meningkat oleh latihan yang diselenggarakan setiap harinya. Meskipun latihan tampaknya baik-baik saja, saya menemukan diri saya meragukan potensi saya sendiri. Hari-hari berlalu dan sandiwara yang seharusnya diadakan di aula dipenuhi dengan hal-hal negatif saat saya panik dan lupa  dialog yang harus dihafalkan. Saat itu saya merasa dunia runtuh, pandangan saya kabur, jantung berdebar layaknya orang yang mengalami serangan jantung, dan saya pun pingsan dalam sesaat. Keramaian dan kekecewaan melayang di atas saya ketika saya bangun dari pingsan, di saat itu pun saya menyesali keberadaan saya dalam dunia ini. Walaupun masalah fatal sudah terlewat, terkadang adanya kekesalan yang membuat saya lemah kesekian kalinya dan di situlah saya ingin membuktikan bahwa dugaan mereka akan penyakit yang saya alami adalah salah dengan menjadi salah satu siswa yang paling rajin di
kelas.

Belajar, belajar, dan belajar itulah kegiatan sehari-hari saya. Memang betul belajar adalah salah satu kegiatan yang harus dilakukan semua siswa, tetapi saya menjadikan belajar tujuan hidup, karena mengetahui bahwa bersosialisasi dengan kendala bahasa akan merepotkan diri saya sendiri. Di saat itu, saya menggunakan keterampilan saya yang lain dan belajar untuk bersenang-senang. Ada saatnya dimana saya dilanda begitu banyak kebencian terhadap diri saya sendiri dan salah satu hal yang saya lakukan adalah mengasingkan diri dan merahasiakannya dari semua orang. Saya dapat mengatakan bahwa saya putus asa, namun satu-satunya pelarian saya adalah menyembunyikan semuanya. Kecemasan menyerang saya, serangan panik yang saya rasakan dalam kehidupan saya sehari-hari semakin sering terjadi. Tidak hanya saya merasakan keringat yang menetes di wajah, pandangan saya kabur ke segala arah. Saat itu saya tidak tahu bahwa itu adalah gangguan kecemasan yang fatal maka saya terpaksa memberi tahu orang tua saya untuk memeriksa mata saya, itu pun karena saya malu akan mengakui mentalitas saya yang terpuruk. Hari-hari berlalu, jantung pun berdebar-debar pada setiap kebisingan yang mengelilingi saya, meskipun ada sekelompok teman yang cocok karena mereka menerima saya apa adanya, namun kecemasan tetap ada. Saya ingat merasakan kesulitan bernapas dan berjalan ke sekolah, di setiap massa siswa yang berkerumun melewati saya. Mengasingkan diri adalah jalan keluar saya, dan akibatnya saya benci ketika seseorang menyerang ruang pribadi yang saya buat.

Musim dingin datang. Walaupun itu adalah musim yang ditunggu-tunggu kerumunan orang karena banyaknya festival, saya hanya berada di rumah, terpuruk oleh nasib malang yang ada. Salah satu hal yang saya lakukan untuk menghabiskan waktu adalah menenggelamkan diri di tempat tidur sementara saya menatap benda-benda dengan tatapan kosong sambil menunggu matahari terbenam. Di luar kamar saya, orang tua saya saling bertengkar tentang kesalahan mereka dan melabelinya sebagai cara untuk menyelesaikan masalah mereka. Setelah merenungkan pertengkaran mereka dan kesulitan saya sendiri, saya menemukan pepatah yang mengatakan “dimana bumi dipijak di situ langit dijunjung” salah satu dasar kelangsungan hidup orang Minangkabau. Di saat itu saya tiba-tibamenyadari bahwa hidup tidak stagnan seperti  yang saya kira dan beradaptasi di lingkungan baru termasuk hal yang susah. Apalagi bertahan hidup di negeri orang dengan latar belakang budaya yang asing bagi kita. Sering Kali, keraguan dan refleksi diri merendahkan integritas saya sendiri, namun keterbatasan yang saya miliki telah membawa saya untuk mengambil tindakan atas perjuangan saya sendiri, meskipun nantinya akan dicap sebagai orang yang tidak normal.

Perjuangan saya dalam menerima diri sendiri tidak berakhir dengan refleksi diri. Saya mulai membaca lebih banyak buku dan mencari bantuan profesional dari psikiater dan psikolog saya. Saat itu, saya di diagnosa dengan gangguan kecemasan sosial dan depresi klinis dan kemudian diperkenalkan dengan terapi CBT bersama dengan antidepresan. Setelah 6 bulan menjalani terapi, saya belajar bagaimana merawat diri dengan cara yang lebih baik, mulai dari diperkenalkan bagaimana cara mengelola stres dan kecemasan dengan memecah masalah besar menjadi bagian-bagian kecil, dilanjutkan dengan membangun kebiasaan baik untuk mempertahankan hidup yang teratur serta menemukan hobi yang menarik untuk menyembuhkan depresi. Mungkin suatu hari, saya akan membuat sejarah dengan nama saya sendiri, berbagi pengalaman yang tidak hanya milik saya untuk disimpan, namun untuk saat ini yang saya coba lakukan adalah mencoba dan konsisten
dengan semua yang saya lakukan.

Referensi
Christian Otte (2011) Cognitive behavioral therapy in anxiety disorders: current state of the evidence, Dialogues in Clinical Neuroscience, 13:4,413-421, DOI: 10.31887/DCNS.2011.13.4/cotte
Diri, P., Perantauan Medan, D. I., Risvan, O. :, & Fadoli, S. (n.d.). DIMA BUMI DIPIJAK DISITU LANGIK DIJUNJUANG : PROSES (Vol. 2).
http://jurnaltarbiyah.uinsu.ac.id/index.php/almursyid/

 

Penulis
Unaisah-2602133415