Gelombang pertama keterlibatan humaniora dengan jejaringan (internet) dan komputasi mencakup karya para perintis yakni dari akhir tahun 1940-an dan model yang mengilhami proyek arsip di Oxford pada awal tahun 1970-an. Selama beberapa dekade berikutnya, humaniora terus membayangkan digital sebagai cara untuk memperluas perangkat keilmuan tradisional dan membuka arsip dan database untuk audiens pengguna yang lebih luas. Kegiatan ini biasanya berfokus pada pembangunan korpus, menciptakan standar untuk pengkodean teks, dan membangun basis data yang dapat memfasilitasi pekerjaan pada korpus humanistik, karena pustakawan dan spesialis informasi mengembangkan catatan, format file, dan sistem yang dapat dibaca mesin yang dapat mendukung usaha ini.

Mengumpulkan momentum dari akhir tahun 1980-an hingga awal abad ke-21, gelombang pertama Humaniora Digital mengembangkan, mengkritik, dan menyebar-luaskan cara menyusun data humaniora untuk berdialog secara efektif dengan komputasi. Alat basis data menyediakan fondasi proyek Humaniora Digital pertama yang diunggulkan di seluruh dunia. Meskipun karya ini bervariasi sifatnya, ada fitur umum yang menonjol: perhatian dengan analisis tekstual dan katalogisasi, studi fitur linguistik, penekanan pada dukungan pedagogis dan lingkungan belajar, dan pertanyaan penelitian yang didorong oleh analisis data terstruktur. Migrasi materi ke dalam bentuk digital dan perluasan metode pengeditan dan analisis tradisional, yang ditingkatkan dengan otomatisasi, diutamakan. Inisiatif penting termasuk proyek Perseus, yang mengubah kumpulan sastra klasik menjadi bentuk digital; Women Writers Project, yang menciptakan arsip di mana para penulis terkenal dan tidak dikenal dapat hidup berdampingan di samping alat referensi silang ke publikasi dan pinjaman tekstual mereka; dan The Valley of the Shadow, yang mengajukan pertanyaan tentang peran dokumen primer dalam karya sejarawan budaya. Para sarjana kemudian memperluas dan mulai merancang kerja lintas platform yang kolaboratif, multi-penulis, pada topik-topik dalam bidang spesialisasi mereka serta untuk terlibat dengan bentuk-bentuk budaya digital yang muncul. Dalam hal ini mereka seperti seniman, penyair, dan musisi kontemporer yang menggunakan algoritme imajinatif untuk menghasilkan karya baru dan memanfaatkan jaringan komunikasi untuk membuat proyek telematika atau karya dalam format lintas media.

 

Lunenfeld, P., Burdick, A., Drucker, J., & Presner, T. Digital Humanities 2013. (Hal. 8)

Oleh:

Yosef Dedy Pradipto & Sekar Rizky Pradhani (2023)