Pendahuluan

Divorce statistics Wilkinson & Finkbeiner menunjukan bahwa 50% pernikahan di Amerika berakhir pada perceraian atau perpisahan. Maraknya kasus perceraian membuat kami merasa harus meninjau lebih dalam akibat yang ditimbulkan dari fenomena ini. Telah banyak penelitian mengenai efek perceraian di Indonesia, tetapi masih sedikit penelitian mengenai korelasi antara perceraian dengan tingkat kepercayaan diri remaja. Pada penelitian Mone (2019) yang bertempat di kecamatan Oebobo, Kota Kupang, anak-anak yang menjadi korban perceraian merasa malu dan sedih ketika ditanyakan tentang keberadaan orang tuanya, sehingga mereka menjawab bahwa orang tuanya sudah meninggal atau berada di luar kota. Anak-anak jadi harus menutupi ‘aib’ keluarganya dan tidak bisa bercerita dengan jujur kepada teman-teman sebayanya. Anak-anak seharusnya bisa mengekspresikan dirinya secara jujur kepada teman-teman dan keluarganya. Hal ini pasti menimbulkan komplikasi saat anak beranjak dewasa, dan kami akan menganalisa komplikasi tersebut, baik ketika perceraian terjadi pada masa kanak-kanak, ataupun pada masa remaja itu sendiri. 

Telah banyak penelitian mengenai efek perceraian pada psikologis anak, tetapi masih sedikit yang membahas efeknya pada anak remaja. Pembahasan ini menjadi sangat penting ketika kita melihat bahwa perceraian cenderung mencapai puncak pada tiga tahap pembesaran anak: ketika anak-anak masih bayi, ketika mereka mencapai usia 7 hingga 10 tahun, dan akhirnya ketika mereka mencapai masa remaja (D. Sorosky, M.D. 1977). Banyak orang yang percaya bahwa masa remaja adalah masa yang penuh turbulensi dan stress. Namun, Daniel Offer (1988) membuktikan bahwa 73% remaja dari berbagai negara menunjukan self image yang sehat. Remaja lebih tangguh menghadapi perceraian dibandingkan anak-anak. Selain karena seorang remaja sudah memiliki persepsi diri yang kuat, remaja sudah mulai mengerti alasan orang tua mereka bercerai. Bila rumah tangga tidak harmonis dan penuh pertikaian, seorang remaja bahkan bisa merasa lega akan terjadinya perceraian, sebagai sebuah solusi dari segala kekacauan yang terjadi di rumah. 

Berbeda dengan anak-anak, seorang remaja hidup di dunia di luar kehidupan rumah. Mereka tidak lagi mempertanyakan cinta orang tua mereka kepada mereka, melainkan lebih berfokus menjalankan kehidupan pribadi mereka masing-masing.  Seorang remaja mungkin akan merasa khawatir akan perubahan kehidupan sosial yang harus dihadapi bila orangtua mereka bercerai.  Namun, seorang remaja sudah bisa benar-benar memahami bahwa perceraian orang tua mereka dapat menjadi titik awal potensi untuk menjalani kehidupan yang lebih baik. (Healthline, Timothy J. Legg, PhD, PsyD, 2020)

Walaupun masa remaja adalah masa terbaik untuk menghadapi perceraian. Efek negatif dari perceraian ini tidak bisa dipandang sebelah mata. Meski remaja memiliki pengertian mengenai alasan orang tua bercerai, emosi dan perasaan bisa mengonsumsi anak remaja tersebut apabila kemampuan parenting orang tua buruk. Perlu disadari, bahwa seorang remaja yang tangguh sekalipun melaporkan perasaan sakit karena perceraian kedua orang tuanya. Mereka sering khawatir akan event-event seperti kelulusan atau pernikahan, ketika kedua orang tua umumnya hadir (Brian D’Onofrio, Robert Emery, 2019). Sedangkan, bila seorang remaja belum dewasa, efek negatif perceraian yang berefek pada anak-anak, bisa berefek pada remaja tersebut. 

Dengan berbagai efek negatif tersebut, kami menduga bahwa terdapat korelasi yang kuat antara perceraian dengan tingkat kepercayaan diri remaja. Apalagi, seorang remaja cenderung tidak ingin menonjol (stand out) agar dapat diterima oleh komunitasnya. 

Analisa

Kami mengacu pada teori psikososial(Post-Freudian Theory) milik Erikson, karena teori milik Erikson ini berfokus pada pengaruh sosial dan sejarah pada perkembangan. Teori Erikson berfokus pada pembentukan kepribadian pada seseorang dari interaksi orang tersebut dengan lingkungan. Namun, kami juga akan meninjau social learning theory dari Albert Bandura yang berfokus pada kognitif dan information processing dalam membentuk perilaku seseorang.

Perceraian cenderung terjadi pada ketika anak-anak masih bayi, ketika mereka mencapai usia 7 hingga 10 tahun, dan akhirnya ketika mereka mencapai masa remaja (D. Sorosky, M.D. 1977). Perceraian memiliki efek yang berbeda-beda pada anak di setiap rentang usia yang berbeda. Efek perceraian pada seseorang pada tahap perkembangan infancy sangatlah berbeda dengan efek perceraian kepada seorang anak remaja. Ketika seseorang pada tahap remaja, orang tersebut mengalami konflik identity vs identity confusion. Menurut teori Erikson, seorang remaja mendapatkan identitas mereka dari 2 sumber, yaitu 1) Apa yang seseorang percaya sebagai dirinya sendiri pada masa kanak-kanak, 2) Konteks sejarah dan sosial, yang mendorong mereka untuk mengikuti standar-standar tertentu. 

Seorang remaja yang mengalami perceraian pada saat masih anak-anak, memiliki resiko untuk membentuk identitas sebagai ‘anak broken home’ bila melihat sumber pertama dari perolehan identitas. Bila perceraian terjadi pada masa remaja, memang tetap ada kemungkinan untuk orang tersebut membuat perceraian tersebut sebagai identitasnya. Namun, menurut teori Erikson, kemungkinan tersebut lebih sedikit dibandingkan ketika mengalami perceraian pada saat kanak-kanak. 

Memang seorang remaja kemungkinan besar tidak akan mengidentifikasi dirinya sebagai ‘anak dari keluarga yang bercerai’ secara sadar. Namun, di keilmuan psikologi, kita mengenal satu konsep yang disebut dengan unconscious, atau alam tak sadar. Persepsi diri yang mungkin muncul (sadar ataupun tidak sadar) pada anak atau remaja, adalah ‘Saya berasal dari keluarga bermasalah, maka saya sendiri juga bermasalah.’ Seorang remaja mungkin akan merasa kurang percaya diri ketika ia terjun kedalam dunia percintaan. Ia tidak berani untuk komitmen karena belajar dari pengalaman orang tuanya, sehingga menghasilkan berbagai hubungan romantis yang tidak sehat dengan orang lain. Persepsi diri remaja ini terkonfirmasi dengan data yang didapat dari Sanders, Halford, dan Behrens (1999) dimana pasangan yang berasal dari keluarga bercerai memiliki lebih banyak masalah komunikasi dibandingkan pasangan dari keluarga yang utuh. Terdapat pula data dari Amato (1996) yang menunjukan bahwa pasangan menikah yang memiliki orangtua yang bercerai, memiliki berbagai permasalahan interpersonal, seperti kritik pada pasangan atau mudah marah, yang pada akhirnya meningkatkan kemungkinan pernikahan tersebut berakhir pada perceraian. 

Semua bukti diatas menunjukan kalau seseorang dari keluarga bercerai memiliki lebih banyak permasalahan dalam hubungan romantis. Hal ini bisa membuktikan bahwa memang benar seseorang dari keluarga bercerai akan mengidentifikasi diri mereka sebagai ‘masalah’, sesuai dengan teori Erikson. Namun, kita tidak bisa terjun ke dalam otak seseorang dan mengetahui pemikirannya secara pasti. Apalagi bila pemikiran/konsep tersebut tertanam pada alam bawah sadar. Terdapat teori lain yang dapat menjadi pendukung fenomena (anak dari keluarga bercerai memiliki banyak masalah) ini, yaitu social learning theory milik Albert Bandura. Bisa jadi remaja/anak dari keluarga bercerai memiliki persepsi yang positif terhadap diri sendiri, tetapi mereka mencontoh cara orang tua mereka berkomunikasi dan berelasi satu dengan yang lain. Bagaimanapun juga, seseorang akan mengikuti perilaku orang-orang yang paling sering ada disekitar mereka. Anak-anak akan belajar cara mencintai dan berhubungan dari orang tua mereka, dan cara mencintai tersebut berakhir pada perceraian. 

Meski pada awalnya, anak dari keluarga bercerai tidak memiliki persepsi negatif pada diri sendiri, ketika hubungan romantis dirinya tidak baik, atau akhirnya berakhir pada perceraian, mereka akan teringat dengan hubungan orang tua mereka. Apalagi, desas-desus umum yang ada di masyarakat adalah ‘the apple doesn’t fall far from the tree’. Yang berarti, bila orangtua bercerai, anak akan mengikuti jejak orang tuanya. Dan kepercayaan yang ada di masyarakat ini bukannya tanpa dasar. Berbagai penelitian menunjukan bahwa, seseorang dari keluarga yang bercerai memiliki potensi untuk mengalami hal yang sama dengan orang tuanya. Perempuan lebih rawan untuk mengulang kesalahan orang tuanya dibandingkan laki-laki. Perempuan dari keluarga bercerai memiliki komitmen yang lebih rendah dalam suatu hubungan. Ia juga memiliki kepercayaan diri yang rendah akan kemampuannya untuk berelasi dengan orang lain. Perempuan yang dari keluarga bercerai memiliki potensi yang besar untuk berada dalam pernikahan dengan komitmen yang rendah yang memiliki potensi besar untuk bercerai (Whitton, S. W., Rhoades, G. K., Stanley, S. M., & Markman, H. J. ,2008).

Adanya kepercayaan bahwa anak dari keluarga yang bercerai akan bercerai pula, dan adanya bukti yang mengkonfirmasi kepercayaan tersebut, dapat membuat seseorang mengalami learned helplessness. Learned helplessness adalah sebuah fenomena dimana seseorang merasa bahwa apapun yang ia lakukan tidak akan mengubah situasi dirinya. Orang tersebut akan merasa helpless dalam menghadapi situasinya.  Ia akan merasa lack of control pada situasi, terutama pada hubungan percintaan.  Orang ini akan mengalami penurunan motivasi dan usaha untuk bertindak, yang akan menghasilakan depression, anxiety, dan kehilangan kemampuan untuk belajar menjadi untuk menjadi lebih baik lagi (Naier dan Seligman, 1976). Dari fakta ini, kami bertanya-tanya: Apakah learned helplessness di satu area kehidupan(dalam kasus ini, percintaan) dapat berefek pada area kehidupan lainnya? Apakah self-esteem seseorang pada area kehidupan lain akan menurun dengan adanya learned helplessness pada area kehidupan percintaan? Penelitian dari Naier dan Seligman (1976) memang menyatakan bahwa orang-orang yang mengalami memiliki penurunan motivasi dan usaha untuk bertindak apabila dihadapkan dengan situasi yang sama. Namun, apakah penurunan usaha dan motivasi terjadi hanya bila dihadapkan pada situasi serupa? Atau seseorang akan merasa kehilangan kontrol pada aspek kehidupan lainnya? 

Setelah membaca lebih banyak penelitian dan jurnal, kami sampai pada kesimpulan bahwa, seseorang yang mengalami learned helplessness pada kehidupan percintaannya masih memiliki motivasi untuk berusaha di area lain di kehidupannya. Namun, depression dan anxiety yang dihasilkan dari lelarned helplessness pada area percintaan dapat berefek sangat buruk pada kehidupan seseorang secara general. Apalagi bila orang tersebut merasa ia tidak akan bisa membangun relasi intim dengan orang lain. Seperti yang kita tahu, relasi dekat dan intim sangat diperlukan seorang manusia untuk dapat berfungsi secara efektif dalam masyarakat. John Bowlby mengatakan bahwa kita masing-masing memerlukan seorang spesial sebagai figur attachment kita. Bahkan, otak kita memiliki mekanisme biologis khusus untuk meregulasi koneksi kita dengan figur attachment (orang tua, anak, pasangan romantis, sahabat). (Amir Levine, M.D., and Rachel Heller, M.A. ) Figur attachment tersebut tidak harus berupa pasangan romantis, tetapi teori evolusi mendorong manusia untuk memiliki seseorang ‘spesial’ tersebut, siapapun itu. Bila seseorang percaya bahwa ia tidak mampu atau memang tidak mampu untuk memiliki seorang figur attachment,  orang tersebut akan merasa tertekan dan depresi. 

Solusi

Terdapat dua tindakan yang dapat dilakukan oleh orang tua untuk meminimalisir efek negatif dari perceraian terhadap remaja. Tindakan pertama mengacu pada teori Erikson, yaitu menunggu anak mencapai usia remaja akhir(kemungkinan identitas sudah terbentuk) bila ingin melakukan perceraian. Hal ini dilakukan supaya seorang remaja yang belum memiliki identitas yang kuat, tidak mengidentifikasi dirinya sendiri kepada perceraian tersebut. Tidakan kedua mengacu pada teori Bandura, yaitu memastikan anak memiliki role model dalam membangun hubungan romantis agar anak tidak mencontoh perilaku orang tuanya yang berakhir dengan perceraian. 

Bila seorang remaja sudah terlanjur memiliki persepsi negatif terhadap dirinya sendiri, penting untuk mencegah anak tersebut ada di posisi learned helplessness.  Bila kita sendiri ada di posisi anak tersebut, lebih baik kalau kita secara aktif mencari tahu dan mempelajari cara berelasi dan berhubungan dengan baik. Hal ini bukan sesuatu yang di pelajari di sekolah. Namun, bila anak sadar akan posisinya sendiri dan memiliki keaktifan untuk belajar untuk menjadi lebih baik lagi, maka efek negatif perceraian bisa ditanggulangi.

Bantuan profesional menjadi jawaban yang mudah dan simple bagi anak-anak dengan orang tua yang bercerai. Kejadian perceraian merupakan peristiwa yang traumatis bagi seorang anak ataupun remaja. Sayangnya, banyak yang menganggap enteng efek perceraian, bahkan korban perceraian itu sendiri kadang tidak menyadari seberapa besar efek kejadian tersebut pada diri mereka. Maka, mencari bantuan professional tidaklah berlebihan untuk kasus ini.

Daftar Pustaka

Amir Levine, M.D., and Rachel Heller, M.A.  (2010). Attached: The New Science of Adult Attachment and How It Can Help You Find— and Keep—Love. Penguin Group. New York.

Arthur. D Sorosky .(1977). The Psychological Effects of Divorce on Adolescence. (Vol. XII)No. 45,Spring.https://www.proquest.com/openview/0555c691f2bb7b66bf84d8fe853df705/1?pq-origsite=gscholar&cbl=1819054

Paul R. Amato, Danelle D. DeBoer.  (2001). The Transmission of Marital Instability Across Generations: Relationship Skills or Commitment to Marriage? Journal of Marriage and Family, 1038-1051.

Ozge Tayfur. (2012). The Antecedents and Consequences of Learned Helplessness in Work Life. Information Management and Business Review, Vol. 4, pp. 417-427.