Pentingnya Waspada Terhadap Gaslighting
Dilansir melalui Indozone (2020), beberapa waktu lalu publik sempat dihebohkan dengan kasus seorang penyanyi terkenal yang membuat konten di YouTubenya bersama seseorang yang mengaku sebagai pakar mikrobiologi mengenai obat COVID-19 yang dianggap sudah ditemukan. Ya, kedua pelaku yang dimaksud adalah Anji dan Hadi Pranoto. Melalui channel YouTubenya, Anji mewawancari Hadi Pranoto dengan topik berjudul “Bisa Kembali Normal? Obat Covid-19 Sudah Ditemukan!”, sayangnya video tersebut justru mendapatkan banyak laporan dari para penonton hingga YouTube mem-banned video tersebut dan dilaporkan ke Polda Metro Jaya karena publik menganggap konten yang dibagikan oleh Anji adalah sebuah berita hoaks. Beberapa waktu kemudian, Anji membuat sebuah pernyataan dari tindakan publik tersebut, ia menganggap bahwa publik memberikan panggung atas hal yang tidak mereka sukai dan membandingkannya dengan konten terbaru yang dibuatnya bersama seorang CEO perusahaan di bidang pertunjukan yang dianggapnya konten yang sangat bagus namun hanya mendapatkan sedikit penonton dalam waktu 24 jam dibandingkan dengan video yang dilaporkan tersebut. Dari kasus Anji tersebut, seorang Psikiater bernama Jiemi Ardian membahas kejadian ini dan menganggap bahwa pernyataan Anji dapat disebut sebagai gaslighting, dimana ia menyalahkan publik yang menyebarluaskan dan melaporkan video tersebut, padahal video tersebut memuat informasi yang salah. Alih-alih melakukan refleksi terhadap perbuatannya yang salah, ia justru menyalahkan orang lain.
Definisi dan Asal-Usul Gaslighting
Lalu, apa itu gaslighting dan dari mana asalnya? Berdasarkan Cambridge Dictionary (2022), gaslighting adalah bentuk dari psychological abuse yang merupakan tindakan menipu atau mengendalikan seseorang dengan membuat mereka percaya hal-hal yang tidak benar, terutama menunjukkan bahwa mereka mungkin sakit jiwa. Sedangkan Berdasarkan Oxford Dictioniaries (2016) dan Dorpat (1994, dalam Petric, 2022), gaslighting merupakan bentuk manipulasi psikologis dengan membuat individu atau kelompok yang ditargetkan ragu, mempertanyakan ingatan, persepsi, dan akal sehat mereka sendiri. Dengan menggunakan penyangkalan, penyesatan, kontradiksi, dan kebohongan yang dilakukan secara terus-menerus, pelaku akan mencoba untuk mengacaukan korban dan mendelegitimasi keyakinan korban. Bahkan Paige Sweet, Ph.D., seorang asisten profesor sosiologi di University of Michigan mengatakan bahwa, gaslighting membuat korbannya merasakan apa yang mereka lihat atau alami tidaklah nyata, mereka dianggap mengada-ada, sehingga tidak akan ada yang percaya pada mereka (Conrad, 2022). Kata gaslighting ini sendiri berasal dari adaptasi sebuah permainan berjudul Gas Light di tahun 1938, yang kemudian diadaptasi menjadi sebuah film di tahun 1944 dengan judul Gaslight yang dibintangi oleh Charles Boyer dan Ingrid Bergman (Sweet, 2019). Di dalam film tersebut, diceritakan bahwa karakter dari Charles Boyer yaitu Gregory selaku suami baru dari karakter Ingrid Bergman yaitu Paula. Gregory mengisolasi Paula dan membuatnya percaya bahwa ia gila. Taktik eponim yang digunakan oleh Gregory adalah meredupkan dan menyalakan lampu gas dan membuat Paula membayangkan hal tersebut, dengan demikian Gregory dapat melemahkan kesadaran diri dan kehidupan sehari-hari Paula, membingungkan dan mendistorsi realitas hingga harus menerima realitas yang dipaksakan oleh Gregory.
Penelitian Terkait Gaslighting
Beberapa akhir ini istilah gaslighting digunakan sebagai strategi memanipulasi pikiran dari orang-orang yang kasar (abusive), baik dalam berpolitik maupun hubungan interpersonal (Sweet, 2019). Namun ternyata, gaslighting juga dapat terjadi di dunia industri, seperti sebuah laporan dari United States Equal Employment Opportunity Comission (EEOC) ditahun 2021 dimana 55,8% dari keseluruhan laporan adalah mengenai pembasalan dendam, termasuk perilaku gaslighting (Singleton, 2022). Dari laporan EEOC tersebut, contoh-contoh kasus yang termasuk dalam pembalasan dendam, seperti pemecatan, penurunan pangkat (demotion), atau pemindahan setelah melaporkan kekerasan di tempat kerja. Lebih lanjut dijelaskan bahwa bentuk dari pembalasan ini dapat berjalan lebih halus dan secara rahasia, seperti tidak memberikan informasi yang penting kepada karyawan agar mereka dapat menyelesaikan tugas dengan baik, tidak diikutsertakan ketika ada rapat, dan membuat tuduhan palsu juga termasuk gaslighting yang dilakukan di tempat kerja. Sheikh (dalam Petric, 2022) menemukan di dalam studinya, bahwa psychological abuse dan substance abuse distress pada masa kanak-kanak dikaitkan dengan peningkatan risiko ketidakpuasan dengna persahabatan di masa dewasa. Ketidakpuasan ini dikaitkan dengan increased risk of incident psychiatric problems (IPPs) saat dewasa. Hasilnya, sebanyak 9,31% adalah hasil ketidakpuasan dengan pertemanan di masa dewasa dari hubungan antara psychological abuse pada masa kanak-kanak dan IPPs di masa dewasa, dan sebanyak 9,17% dari hubungan antara substance abuse distress di masa kanak-kanak dan IPPs di masa dewasa.
Menurut Petric (2022), gaslighting tidak hanya dapat terjadi pada hubungan interpersonal dan tempat kerja, namun juga dapat terjadi di sekolah dalam bentuk bullying, dan juga bisa terjadi secara institusional dan sistematik. Kemudian, Klein et al. (2022) melakukan penelitian kualitatif mengenai gaslighting dalam hubungan interpersonal dengan jumlah responden sebanyak 65 orang. Dari penelitian tersebut, didapatkan hasil bahwa pola perilaku gaslighting yang umumnya muncul dalam hubungan adalah love-bombing, isolating the victim, dan blowing hot and cold. Love-bombing mendapatkan respon mayoritas sebanyak 58% dengan 40% (26 responden) melaporkan sedang dalam tahap ini. Love-bombing sendiri biasanya dapat dinilai sebagai hal yang positif seperti menunjukan afeksi dan memberikan hadiah kepada pasangan, namun dalam gaslighting, love-bombing seringnya adalah pasangan yang mengekspresikan afeksi yang tidak penting dalam fase hubungan yang dapat membingungkan korban, dan menyebabkan mereka untuk tidak mempedulikan penilaian mereka yang lebih baik, sebagai contoh salah satu responden mengatakan bahwa “Ia mengatakan bahwa dia mencintai saya dalam waktu tiga hari, sebenarnya itu adalah red flag bagi saya, tapi saya juga tergoda olehnya karena ia cukup tampan.” Menurut Klein et al. (2022) love-bombing ini memiliki beberapa fungsi, seperti dapat menyebabkan korban mengabaikan perilaku kasar yang dilakukan oleh gaslighter baik saat ini ataupun masa depan, korban juga dapat merasa berhutang budi kepada pelaku, serta bingung dengan sifat pasangan dan hubungan yang mereka jalani.
Kemudian, victim isolation merupakan upaya pelaku untuk memberikan pendapat negatif terhadap anggota lingkaran sosial dari korban. Dengan melakukan victim isolation, pelaku dapat menghindari pertanggungjawaban karena korban tidak dapat menerima nasihat tentang perilaku pasangan, pelaku dapat lebih mudah mengendalikan korban, karena setelah terisolasi korban akan memiliki lebih sedikit jalan dalam memenuhi kebutuhan sosial, dan isolasi sosial akan menimbulkan perasaan “kehilangan pegangan” pada kenyataan (menjadi “shell of themselves”). Sebagai contoh, salah satu responden mengatakan ia telah diisolasi dari teman-temannya selama satu minggu dan pada minggu yang sama pasangannya mengatakan ia mencintainya. Pasangannya mengatakan hal-hal buruk yang dilakukan teman-temannya dan membicarakan responden dibelakangnya. Sekitar satu minggu kemudian, responden menemukan teman satu-satunya yang diizinkan untuk bertemu dengannya sedang menginap di rumah pasangannya, namun justru pasangannya mengatakan bahwa respondennya gila dan tidak masuk akal. Terakhir, blowing hot and cold adalah bagaimana pelaku merubah perilakunya dari emosi yang ekstrim ke yang lainnya tanpa bisa diprediksi. Sebagai contoh dari pengalaman seorang responden, “Secara tiba-tiba memulai argumen tanpa alasan yang jelas dan dengan cepat berubah menjadi sangat berafeksi dan seksual.” Perilaku ini dapat mengganggu kemampuan korban dalam memprediksi perilaku korban, hingga mengarah ke ketidakyakinan dan kebingungan.
Motivasi Seseorang Melakukan Gaslighting
Guha (2021) mengatakan bahwa terdapat dua alasan seseorang berperilaku seperti gaslighting, yaitu untuk mencapai sesuatu (status, uang, seks, makanan, afiliasi) atau untuk menghindari kehilangan sesuatu (kehilangan dalam hubungan, status, atau pekerjaan). Biasanya para pelaku membutuhkan korbannya, oleh karena itu salah satu tujuan seseorang dalam hubungan adalah untuk mencegah orang lain melihat perilaku buruk mereka dan dapat menjaganya dalam hubungan. Serta, penting bagi para pelaku untuk menyingkirkan persepsi persaingan apapun yang tidak akan mendukung kepatuhan (Lambert, 2021). Selain itu, seseorang yang melakukan gaslighting dapat dikarenakan ingin menghindari rasa tanggung jawab, mengontrol perilaku korban, dan bisa jadi campuran dari keduanya (Klein et al., 2022).
Contoh Perilaku dan Tanda-Tanda Gaslighting
Selain perilaku seperti love-bombing, victim isolation, dan blowing hot and cold terdapat beberapa contoh perilaku gaslighting yang lain seperti yang dijelaskan oleh Sarkis (2017), yaitu:
- Berbohong secara terang-terangan
- Memisahkan korban dari teman atau anggota keluarganya
- Bekerja sama dengan orang lain untuk melawan korban
- Mengatakan korban gila, tidak stabil atau manipulatif ke orang lain
- Berbohong tentang apa yang dikatakan dan dilakukannya, meskipun pelaku bersumpah hal tersebut benar-benar terjadi
- Mengatakan pada korban, kalau pelaku tidak menyukai keluarga dan teman-temannya, tapi untuk alasan yang kurang jelas
Lalu, bagaimana seseorang bisa tahu jika dirinya menjadi korban gaslighting? Menurut Stern (2009), terdapat beberapa tanda-tanda gaslighting yang harus kita waspadai, yaitu:
- Selalu menebak-nebak diri sendiri
- Korban bertanya pada diri sendiri, apakah dirinya menjadi terlalu sensitif secara terus menerus
- Merasa bingung dan gila saat bekerja
- Selalu meminta maaf kepada orang-orang
- Tidak merasa bahagia dan tidak mengerti kenapa, meskipun hal-hal baik terjadi pada hidup korban
- Sering kali membuat alasan terhadap perilaku pasangan kepada teman dan keluarga
- Korban menemukan dirinya menahan informasi-informasi dari teman-teman dan keluarga sehingga korban tidak perlu menjelaskan atau memberikan alasan
- Mengetahui sesuatu sedang terjadi dan hal tersebut terasa salah, namun korban tidak bisa mengatakan apa itu, bahkan ke dirinya sendiri
- Mulai berbohong untuk menghindari kekecewaan dan lika-liku kenyataan
- Memiliki masalah dalam membuat keputusan yang mudah
- Korban merasakan bahwa dirinya dahulu adalah orang yang sangat berbeda
- Merasa tidak ada harapan dan kurang bahagia
- Korban bertanya-tanya apakah dirinya adalah seseorang yang “cukup baik” dalam menjalani perannya.
Dampak Gaslighting
Gaslighting tidak hanya dapat berdampak secara mental, namun juga secara fisik. Berikut adalah beberapa dampak yang dapat terjadi jika seseorang mengalami gaslighting (Conrad, 2022):
- Anxiety
- Depresi
- Disorientasi
- Merasa rendah diri
- Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD)
- Perasaan takut akan bahaya yang berlebihan (hypervigilance)
- Timbulnya pemikiran untuk bunuh diri
Selain hal-hal di atas, seseorang yang mengalami gaslighting yang terlalu lama juga dapat mengalami psychosis (Petric, 2022). Selain itu, dampat dari psychological abuse juga dapat merusak formasi dari ikatan-ikatan pikiran dengan kognisi dan emosi.
Cara Keluar Dari Situasi Gaslighting
Bagi para korban yang mungkin sudah menyadari bahwa dirinya menjadi korban gaslighting dalam hubungan/tempat kerja/sekolah, korban dapat mencari dukungan mental dari konselor kesehatan mental atau terapis lainnya (Conrad, 2022). Bersama dengan para profesional, korban dapat dibantu dalam membantu korban keluar dari keraguan dan ketakutan yang dialami, dan korban dapat diajarkan mengelola keraguan dan kecemasan hingga mengembangkan keterampilan yang dimiliki korban (Lukyani, 2021). Selain itu, beberapa kegiatan seperti menghabiskan waktu bersama dengan orang lain, melakukan kembali kegiatan-kegiatan yang disenangi (hobi, berolahraga, meditasi), dan pertumbuhan pasca-trauma (membuat batasan yang lebih kuat dan jelas untuk diri sendiri) (Klein et al., 2022).
Daftar Pustaka
Cambridge Dictionary. (2022). Gaslighting. Dalam Cambridge Dictionary. Diakses pada 5 Juli, 2022, melalui hhtps://dictionary.cambridge.org/dictionary/english/gaslighting
Conrad, M. (2022, Maret 17). What is gaslighting: Meaning, examples and support. Forbes. Diakses pada 5 Juli, 2022, melalui https://www.forbes.com/health/mind/what-is-gaslighting/
Guha, A. (2021, Juli 7). When it might not be gaslighting. Psychology Today. Diakses pada 1 Juli, 2022, melalui https://www.psychologytoday.com/intl/blog/prisons-and-pathos/202107/when-it-might-not-be-gaslighting
Indozone. (2020, Agustus 4). Berkaca dari kasus Anji, mari mengenal fenomena gaslighting yang membahayakan. Diakses pada 1 Juli, 2022, melalui https://www.indozone.id/life/YvsnNap/berkaca-dari-kasus-anji-mari-mengenal-fenomena-gaslighting-yang-membahayakan/read-all
Klein, W., Wood, S., & Li, S. (2022). A qualitative analysis of gaslighting in romantic relationship. Psyarxiv preprints. https://doi.org/10.31234/osf.io/cjrpq
Lambert, C. A. (2021, Oktober 25). Self-gaslighting: The harm of being gaslighted. Psychology Today. Diakses pada 1 Juli, 2022, melalui https://www.psychologytoday.com/intl/blog/mind-games/202110/self-gaslighting-the-harm-being-gaslighted
Lexico. (2022). Gaslight. Dalam OXFORD. Diakses pada 5 Juli, 2022. URL: https://www.lexico.com/definition/gaslight
Lukyani, L. (2021, Oktober 21). Mengenal gaslighting dan contoh perilakunya. Kompas. Diakses pada 5 Juli, 2022, melalui https://www.kompas.com/sains/read/2021/10/21/090200423/mengenal-gaslighting-dan-contoh-perilakunya
Petric, D. (2022). Psychology of abusive human behavior. Open Journal of Medical Psychology, 11, 29-38. DOI: https://doi.org/10.4236/ojmp.2022.112003
Sarkis, S. (2017, Februari 13). Why gaslighters accuse you of gaslighting. Psychology Today. Diakses pada 1 Juli, 2022, https://www.psychologytoday.com/intl/blog/here-there-and-everywhere/201702/why-gaslighters-accuse-you-gaslighting
Singleton, J. (2022). Corporate gaslighting: can isolated training help. Doctor of Education (EdD), 191. https://digitalcommons.georgefox.edu/edd/191
Stern, R. (2009, Mei 19). Are you being gaslighted. Psyhology Today. Diakses pada 1 Juli, 2022, melalui https://www.psychologytoday.com/intl/blog/power-in-relationships/200905/are-you-being-gaslighted
Sweet, P. L. (2019). The sociology of gaslighting. American Sociological Review, 000312241987484. DOI: 10.117/000312241987484
Penulis: Theresia
Di bawah supervisi Rani Agias Fitri