Seiring berkembangnya zaman, semakin banyak teknologi dan dunia digital yang dikembangkan oleh para ahli. Seperti beberapa waktu terakhir, istilah ‘metaverse’ menjadi populer semenjak Mark Zuckerberg mengontekstualisasikan visi masa depan yang digital sekaligus memperkenalkan perubahan nama perusahaan yang sebelumnya Facebook menjadi Meta Platforms Inc. (Davis, 2022). Sebenarnya, istilah metaverse sudah ada sejak tahun 1992 yang digunakan oleh Neal Stephenson dalam novelnya yang berjudul Snow Crash (Phil, 2021). Menurut Mystakidis (2022), metaverse merupakan alam semesta pasca-realitas, lingkungan multipengguna yang merupakan gabungan dari realitas fisik dengan virtualitas digital, yang didasarkan pada konversi teknologi sehingga memungkinkan interaksi multisensory dengan lingkungan virtual, objek digital, dan orang-orang seperti Virtual Reality (VR) dan Augmented Reality (AR). Dengan kata lain, Metaverse merupakan jaringan sosial yang saling berhubungan, lingkungan imersif berjejaring dalam platform multipengguna yang persisten, yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi real-time dan dinamis dengan artefak digital.

Menurut Milgram, et al. (dalam Mystakidis, 2022) bentuk teknologi imersif dan lingkungan digital dimana data diwakili dan diproyeksikan, seperti Virtual Reality (VR), Augmented Reality (AR), dan Mixed Reality (MR) disebut sebagai Extended Reality atau Cross Reality (XR). Kye, et al. (2021) mengatakan bahwa avatar yang merupakan proyeksi diri kita dalam dunia digital berhubungan pada kegiatan sosial, ekonomi, dan budaya di dalam dunia metaverse. Tidak hanya pada aspek-aspek kehidupan sehari-hari, tetapi juga beberapa aplikasi metaverse telah digunakan dalam bidang pendidikan. Sebelumnya, kita sudah pernah merasakan pembelajaran jarak jauh karena adanya pandemi COVID-19 dan ada juga beberapa pembelajaran secara online yang dibuka oleh beberapa lembaga pendidikan melalui situs web. Pembelajaran semacam ini disebut sebagai pembelajaran 2 dimensi (2D) dan dibagi menjadi dua tipe, yaitu asynchronous dan synchronous e-learning (Stöhr, Demazière, & Adawi, dalam Mystakidis, 2022). Asynchronous e-learning adalah pembelajaran online yang secara fleksibel dapat dilakukan dimana saja dan kapan saja, sedangkan synchronous e-learning adalah pembelajaran online yang dilakukan oleh pengajar dan pelajar pada waktu yang sama dan diadakan secara virtual melalui platform web konferensi, seperti Zoom, WebEx, Microsoft Teams, Google Meet, dll.

Dalam sebuah studi yang dilakukan oleh Means & Neisler (dalam Phil, 2020) mengenai kepuasan terhadap kursus yang mereka jalani secara online, dari 1000 siswa diambil sampel acak di perguruan tinggi di Amerika Utara. Hasilnya, para peserta melaporkan bahwa kepuasan mereka secara keseluruhan terhadap kursus yang mereka jalani sebelum pandemi adalah dibawah 90% menjadi dibawah 60% setelah pandemi berlangsung dan pembelajaran dilakukan secara online. Dua per tiga peserta menyatakan bahwa mereka lebih memahami materi belajar lebih baik saat pembelajaran online dibandingkan pembelajaran tatap muka. Sebanyak 65% peserta mengatakan bahwa kesempatan mereka untuk berkolaborasi menjadi lebih buruk dan kekurangan kontak sosial dengan mahasiswa lainnya. Pernyataan tersebut sebanding dengan hasil survey dari para mahasiswa Universitas Eropa, dimana mereka menyatakan bahwa pembelajaran jarak jauh adalah sistem yang menarik, modern, memadai, dan nyaman, namun tidak dapat menggantikan pengalaman mereka dari interaksi sosial secara langsung dengan para pengajar dan mahasiswa lainnya (Kedraka & Kaltsidis, dalam Phil, 2020). Oleh karena itu, meski sebagian siswa merasa pembelajaran 2D adalah hal yang menarik, namun terdapat beberapa limitasi dalam pembelajaran 2D. Di bawah ini limitasi yang terjadi menurut Mystakidis (2022)

  1. Low self-perception: pengguna mengalami persepsi diri yang sangat terbatas dalam lingkungan 2D. Mereka diwakili entitas yang tidak berwujud melalui foto atau sebatas webcam tanpa opsi personalisasi.
  2. No presence: sesi konferensi web dianggap sebagai panggilan video daripada tempat pertemuan kolektif virtual. Selain itu, jika waktu panggilan video terlalu panjang, maka banyak peserta yang terdistraksi dan melakukan kegiatan lain sehingga menjadikan mereka tidak terlalu fokus.
  3. Off: platform 2D menawarkan cara interaksi terbatas di antara peserta.
  4. Crude emotional expression: pengguna memiliki opsi terbatas dalam mengekspresikan perasaan melalui emoji.

Melalui platform 3 dimensi (3D) atau penggunaan metaverse dalam dunia pendidikan dapat mengatasi limitas-limitasi yang ada di platform 2D. Berikut adalah beberapa implikasi pendidikan pada penggunaan AR dan VR menurut Kim (dalam Kye, et al., 2021):

Augmented Reality (AR):

  • Pelajar dapat mempelajari bagian yang tidak terlihat secara visual dan 3D melalui informasi digital virtual, dan menyelesaikan masalah secara efektif.
  • Pelajar dapat memahami secara mendalam mengenai konten yang sulit untuk diamati atau dijelaskan dalam teks, dan pelajar dapat membangun pengetahuan melalui pengalaman.
  • Pelajar dapat memiliki pengalaman yang interaktif, seperti membaca, menulis, dan berbicara yang dapat terjadi saat fokus dalam konteks pembelajaran.

Virtual Reality (VR):

  • Pelajar dapat melakukan latihan melalui simulasi virtual untuk menggantikan latihan secara langsung yang memiliki biaya dan risiko yang tinggi (misalnya, lokasi kebakaran, kontrol penerbangan, operasi berbahaya, dll).
  • Pelajar dapat memiliki pengalaman yang mendalam mengenai waktu dan ruang yang tidak dapat dialami secara nyata, seperti masa lalu dan masa depan.
  • Pelajar dapat meningkatkan keterampilan berpikir strategi dan komprehensif, memecahkan masalah, dan keterampilan lainnya yang diperlukan di dunia nyata melalui game berbasis dunia maya 3D.

Selain itu, Davis (2022) mengatakan bahwa metaverse mendukung konsep edukasi entertainment dan gamifikasi yang dapat membuat pembelajaran menjadi menyenangkan. Dengan metaverse, pengajar juga dipermudah dalam memberikan pengetahuan kepada pelajar dengan jumlah yang lebih besar.

Meski penggunaan metaverse dalam dunia pendidikan maupun sehari-hari dapat dikatakan menjadi suatu pengalaman yang berbeda dan menyenangkan, namun tentunya kita juga harus waspada terhadap beberapa dampak dan tantangan yang mungkin terjadi pada penggunaan metaverse. Menurut Mystakidis (2022) terdapat beberapa tantangan dalam penggunaan metaverse, yaitu:

  1. VR dan AR dianggap sebagai teknologi yang bersifat persuasif dan dapat mempengaruhi kognisi, emosi dan perilaku pengguna.
  2. Tingginya biaya untuk membeli peralatan.
  3. Pada penggunaan AR terdapat empat kategori risiko yang mungkin terjadi kepada penggunanya, seperti (i) kesejahteraan fisik, kesehatan, dan keselamatan; (ii) psikologi; (iii) moralitas dan etika; dan (iv) privasi data.
  4. Pada penggunaan VR, beberapa laporan seperti mabuk perjalanan, mual, pusing, dan kelelahan pada kepala dan leher merupakan masalah kesehatan yang sering dihadapi.
  5. Penggunaan VR yang terlalu lama juga dapat menimbulkan kecanduan, isolasi sosial, dan tidak merawat diri pada kehidupan nyata. Selain itu, lingkungan VR dapat memicu pengalaman traumatis bagi penggunanya.
  6. Algoritme artificial intelligence (AI) dan teknik deep learning dapat digunakan untuk membuat avatar VR palsu dan pencurian identitas.

Oleh karena itu, dibutuhkan penjelasan dan panduan dari para pengajar mengenai konsep metaverse secara jelas kepada pelajar, sehingga para pelajar dapat siap dan memahami penggunaan metaverse saat menjadi tren, pola hidup keseharian dan sarana untuk pembelajaran (Witono, 2022).

Referensi:

Davis, L. (2022, Januari 11). How the metaverse is shaping the future of education. Metapress. Diakses pada 11 April, 2022, melalui https://metapress.com/how-the-metaverse-is-shaping-the-future-of-education/

Kye, B., Han, N., Kim, E., Park, Y., & Jo, S. (2021). Educational applications of metaverse: possibilities and limitations. Journal of educational evaluation for health professions, 18, 32. https://doi.org/10.3352/jeehp.2021.18.32

Mystakidis, S. (2022). Metaverse. In Encyclopedia, 2(1), 486-497. https://doi.org/10.3390/encyclopedia2010031

Phil, P. R. D. (2020, September 28). Pros and cons of digital learning. Psychology Today. Diakses pada 6 April, 2022, melalui https://www.psychologytoday.com/us/blog/digital-world-real-world/202009/pros-and-cons-digital-learning

Phil, P. R. D. (2021, Oktober 27). Will the metaverse impact mental health. Psychology Today. Diakses pada 6 April, 2022, melalui https://www.psychologytoday.com/us/blog/digital-world-real-world/202110/will-the-metaverse-impact-mental-health

Witono, O. (2022, Maret 27). Memahami dilemma metaverse dalam ruang edukasi pembelajaran. Geotimes. Diakses pada 8 April, 2022, melalui https://geotimes.id/opini/memahami-dilema-metaverse-dalam-ruang-edukasi-pembelajaran/

Penulis: Theresia

Di bawah supervisi Rani Agias Fitri