Beberapa waktu lalu, pembahasan mengenai sandwich generation ramai dibicarakan oleh publik, dimana orang yang sedang dalam masa produktif dalam bekerja harus bekerja tidak hanya untuk dirinya sendiri melainkan untuk memenuhi kebutuhan orang banyak. Beberapa dari mereka harus memegang tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan generasi atas dan bawahnya (Kristi, 2022). Istilah ini sebenarnya diciptakan pada 1981 oleh Dorothy Miller, seorang professor dari Universitas Kentucky dan juga seorang pekerja sosial (Diller, 2012; Pratiwi, 2021). Awalnya, ungkapan ini digunakan untuk menggambarkan wanita yang berusia 30-40 tahun dan situasinya seperti ‘terjepit’ di antara pasangan, anak-anak, orang tua, dan majikan. Namun, saat ini demografi telah berubah dan istilah sandwich generation juga digunakan kepada pria dan wanita yang merasakan keadaan ‘terjepit’ tersebut (Diller, 2012). Jika dilihat dari definisinya, menurut Cambridge dictionary (2022), sandwich generation adalah sebuah sebutan yang digunakan untuk sekelompok orang yang memiliki orang tua yang sudah berumur dan juga anak-anak, sehingga mereka harus merawat anak-anak dan orang tua mereka.

Hal ini bermula dari hasil sensus penduduk tahun 2020 yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik (2021), menunjukkan bahwa dari 270,20 juta jiwa di Indonesia dibagi menjadi 6 generasi, yaitu Pre-Boomer (1,87%) istilah bagi orang yang berusia lebih dari 75 tahun, Baby Boomer (11,56%) bagi orang yang berusia 56-74 tahun, Gen X (21,88%) untuk orang yang berusia 40-55 tahun, Milenial (25,87%) untuk orang dengan usia 24-39 tahun, Gen Z (27,94%) bagi yang berusia 8-23 tahun, dan Post Gen Z (10,88%) untuk orang yang berusia kurang dari 7 tahun. Dari laporan tersebut juga menunjukkan bahwa, sebesar 70,72% penduduk Indonesia masih dianggap dalam usia produktif (15-64 tahun). Namun Harsiwi (2021) — seorang dosen manajemen di Universitas Atma Jaya Yogyakarta — berpendapat bahwa kelompok produktif yang masih bekerja didominasi oleh generasi X dan generasi milenial, berbanding terbalik dengan kelompok tidak produktif, seperti generasi pre-boomer dan baby boomer, dan kelompok yang belum produktif, seperti generasi Z dan post gen Z. Jika dilihat melalui persentasenya, kelompok produktif (47,75%) harus menopang 4 generasi lainnya yang sudah tidak produktif dan yang belum produktif (52,25%). Sehingga, hal ini mempertegas munculnya sandwich generation pada masyarakat Indonesia.

Dilansir melalui Pew Research (2013), sebanyak 2,511 orang dewasa di Amerika mengikuti survei mengenai peningkatan beban keuangan untuk orang Amerika setengah baya. Dari survei tersebut, didapatkan hasil bahwa, sebanyak 47% orang dewasa dengan usia 40-59 tahun memiliki orang tua dengan usia lebih dari 65 tahun dan sedang membiayai anak. Selain itu, dalan survei ini juga didapatkan hasil sebanyak 31% sandwich generation mengatakan bahwa mereka bahagia dengan hidupnya saat ini, namun sebanyak 31% sandwich generation pula mengatakan dirinya selalu merasa terburu-buru. Jika dilihat dari sisi keuangan, para sandwich generation yang membiayai hidup orang tuanya hanya 28% yang merasa hidup dengan nyaman, 30% merasa dapat memenuhi kebutuhan dasar dan terdapat sisa uang, 30% merasa dapat memenuhi kebutuhan dasar, dan 11% merasa tidak bisa memenuhi kebutuhan dasar. Sebaliknya, responden yang tidak membiayai kehidupan orang tua yang merasa hidup dengan nyaman sebesar 41%. Dari survei tersebut didapatkan juga hasil mengenai ikatan emosional antar generasi, sebanyak 35% orang tua yang berusia lebih dari 65 tahun merasa sering membutuhkan dukungan emosional, sedangkan anak-anak yang berusia lebih dari 18 tahun sebanyak 42% hanya membutuhkan dukungan emosional kadang-kadang saja.

Di Indonesia sendiri, Rari et al. (2022) melakukan penelitian mengenai perbandingan tingkat kebahagiaan antara generasi sandwich dan generasi non-sandwcih. Penelitian ini dilakukan kepada 158 responden dan didapatkan hasil bahwa tidak terdapat perbedaan tingkat kebahagiaan antara generasi sandwich dan generasi non-sandwich. Dari penelitian tersebut didapatkan bahwa variabel kesehatan dan pendapatan lebih memiliki pengaruh terhadap tingkat kebahagiaan generasi sandwich, dibandingkan variabel jumlah tanggungan anggota keluarga dan waktu luang yang tidak berpengaruh secara langsung. Terkait dengan kesehatan, dr. Zulvia Oktanida Syarif, Sp.KJ —seorang dokter spesialis kedokteran jiwa RS. Pondok Indah — mengatakan bahwa, generasi sandwich yang merawat orang tua dan anaknya lebih rentan mengalami masalah kesehatan mental, seperti burnout, gangguan tidur, perasaan bersalah, merasa khawatir secara terus-menerus, hilangnya minat terhadap aktivitas yang sebelumnya disenangi, anxiety, bahkan depresi (Media Indonesia, 2021). Pernyataan ini juga disampaikan oleh seorang Psikolog dari Universitas Indonesia, Vera Itabiliana, bahwa seseorang yang termasuk ke dalam generasi sandwich seharusnya juga memiliki sesuatu untuk dibanggakan dan bisa diwariskan ke generasi berikutnya, bukan hanya merawat orang tua dan anak-anaknya saja (dalam Tempo, n.d). Sedangkan dari sisi kesehatan, stres yang dialami oleh generasi sandwich berasal dari dorongan diri untuk melakukan banyak tugas sendirian; meski hal tersebut merupakan sebuah kebanggaan besar namun juga menambah tingkat stress. Vera menjelaskan, bahwa stres yang ditimbulkan karena berusaha berbaur dengan berbagai tanggung jawab yang diberikan justru menuntun mereka terjebak dalam situsasi dimana mereka harus melakukan banyak hal dalam waktu yang singkat.

Menurut Plante (2012), para sandwich generation saat ini menghadapi berbagai tantangan yang semakin sulit, yaitu:

  1. Masa hidup seseorang semakin panjang dan memiliki ekspetasi yang tinggi akan kehidupan di masa tua. Di Amerika, jarang sekali ditemui orang tua tinggal seatap dengan anak dan cucunya, sehingga mereka cenderung membutuhkan asisten rumah tangga, pengobatan, dan perawatan dengan biaya yang cukup tinggi.
  2. Anak-anak butuh asuhan orang tua untuk periode waktu yang lebih lama dibandingkan zaman dahulu. Banyak yang menuliskan bahwa, banyak dewasa awal (20-30 tahun) yang sulit menjadi mandiri dan masih bergantung pada orang tuanya dibandingkan beberapa generasi lalu. Sebagai contoh, beberapa orang yang telah lulus akan kembali tinggal bersama orang tuanya. Jika kemudian, anak ingin melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi, tentunay akan sulit bagi beberapa orang tua yang memiliki kondisi ekonomi yang tidak cukup kuat.
  3. Keluarga menjadi hal yang lebih kompleks dibandingkan zaman dahulu. Hal ini dikarenakan beberapa orang tua memilih untuk bercerai, sehingga akan ada lebih banyak orang yang butuh dibiayai, seperti orang tua kandung, orang tua tiri, bahkan anak kandung dan tiri pun juga.
  4. Biaya hidup yang semakin tinggi karena ekspetasi untuk kehidupan yang lebih baik. Anak-anak tidak selamanya akan terus bermain dengan boneka mereka dan orang tua tidak selamanya hanya diam di kursi berayun. Generasi dan teknologi yang semakin maju membuat kebutuhan sehari-hari dan hiburan juga semakin meningkat, seperti kebutuhan untuk bepergian, hiburan, biaya pengobatan, beberapa aktivitas tambahan, tentunya hal-hal tersebut membutuhkan banyak uang.

Selain tantangan-tantangan di atas, akhir-akhir ini para sandwich generation juga mendapatkan tantangan baru lagi dengan adanya pandemi Covid-19. Salah satu dampak dari menyebarnya pandemi Covid-19 adalah meningkatnya pengangguran karena terjadi PHK dan dari sini para keluarga yang merupakan bagian dari sandwich generation tentunya membuat situasi menjadi krusial bagi para tulang punggung keluarga, terlebih jika ada keluarga yang terkena Coid-19 dan memerlukan perawatan intensif, tentunya biaya pengeluaran juga akan semakin membengkak (Ro, 2021). Menurut Ro (2021) terdapat beberapa cara untuk mengurangi sandwich generation ini, yaitu:

  • Menggunakan jasa perawat untuk merawat orang tua yang sudah berumur dan menggunakan jasa penitipan anak. Peran penting kakek dan nenek dalam merawat cucu menjadi salah satu alasan bagi kakek dan nenek mengorbankan pekerjaan mereka sendiri.
  • Mengaktifkan pola kerja yang dapat disesuaikan, beruntungnya dari pandemi Covid-19 pekerjaan dengan sistem fleksibel dan sistem kerja jarak jauh sudah dinormalisasikan.

Agar para sandwich generation dapat bertahan dengan kondisinya, adapun beberapa solusi yang dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan sandwich generation (dr. Zulfia dalam Media Indonesia, 2021), yaitu:

  1. Meminta bantuan pada anggota keluarga lainnya untuk mengerjakan beberapa tugas rumah tanggga, mengatur pengurusan anak dan orang tua. Dengan meminta bantuan, kita akan meringankan tanggung jawab yang perlu dijalani dan tidak harus menjalaninya sendirian.
  2. Melakukan pertemuan keluarga dapat menjadi sebuah momen untuk saling mencurahkan isi hati dan pikiran, serta memberikan dukungan satu sama lain. Melalui pertemuan kelaurga ini, mungkin saja Anda dapat menemukan solusi dari beberapa masalah yang Anda miliki. Seperti yang dipaparkan dari hasil penelitian Kusumaningrum (2018), bahwa semakin tinggi dukungan sosial yang didapatkan oleh seseorang yang berada di sandwich generation maka semakkin rendah beban pengasuhan yang dirasakan olehnya.
  3. Mempertahankan pola komunikasi yang asertif dan baik dalam lingkungan untuk menjaga suasana agar tetap tenang dan nyaman, sehingga konflik-konflik yang mungkin timbul akibat miskomunikasi dapat terhindari.
  4. Anda perlu sesekali melepaskan kendali dan tidak selalu menuntut perfeksionisme. Menuntut perfeksionisme dalam segala hal bisa membaut Anda tertekan dan stress apabila hasilnya tidak sesuai dengan yang Anda harapkan dan inginkan. Sehingga, perlu untuk belajar melepas kendali dan mempercayakannya pada orang lain.
  5. Menikmati momen yang Anda jalani dengan baik sebagai momen yang berharga dalam hidup Anda, seperti peran Anda dalam mengasuh anak dan melihat bagaimana anak Anda tumbuh dna berkembang dengan baik, dan peran Anda dalam merawat orang tua sebagai bentuk kasih sayang dan bakti kepada orang tua.
  6. Apabila Anda sudah mencoba berbagai cara untuk meredakan stress namun masih belum berhasil, bahkan kegiatan sehari-hari Anda mulai merasa terganggu, ada baiknya Anda berkonsultasi ke porfesional, seperti konselor, Psikolog, atau Psikiater.

Referensi:

Badan Pusat Statistik. Hasil sensus penduduk 2020. Diakses pada 15 Juli, 2022, melalui https://www.bps.go.id/pressrelease/2021/01/21/1854/hasil-sensus-penduduk-2020.html

Cambridge Dictionary. Sandwich generation. Dalam Cambridge Dictionary. Diakses pada 15 Juli, 2022, melalui https://dictionary.cambridge.org/dictionary/english/sandwich-generation

Diller, V. (2012, Oktober 3). The ‘over-stuffed’ sandwich generation. Psychology Today. Diakses pada 13 Juli, 2022, melalui https://www.psychologytoday.com/intl/blog/face-it/201210/the-over-stuffed-sandwich-generation

Harsiwi, T. A. M. (2021, Februari 11). Opini: sandwich generation di balik angka sensus penduduk. Harian Jogja. Diakses pada 15 Juli, 2022, melalui https://opini.harianjogja.com/read/2021/02/11/543/1063339/opini-sandwich-generation-di-balik-angka-sensus-penduduk

Kristi, A. M. (2022, Januari 3). 5 hal menarik tentang sandwich generation, kamu termasuk. IDN Times. Diakses pada 13 Juli, 2022, melalui https://www.idntimes.com/life/inspiration/agata-melinda-kristi/5-hal-menarik-tentang-sandwich-generation-kamu-termasuk-c1c2?page=all

Kusumaningrum, F. A. (2018). Generasi sandwich: beban pengasuhan dan dukungan sosial pada wanita bekerja. PSIKOLOGIKA: Jurnal Pemikiran dan Penelitian Psikologi, 23(2), 109-120. DOI:10.20885/psikologika.vol23.iss2.art3

Media Indonesia. (2021, Agustus 16). Generasi sandwich rentan alami masalah kesehatan mental, ini solusinya. Diakses pada 15 Juli, 2022, melalui https://mediaindonesia.com/weekend/425844/generasi-sandwich

Parker, K. & Patten, E. (2013, Januari 30). The sandwich generation: rising financial burdens for middle-aged americans. Pew Research Center. Diakses pada 15 Juli, 2022, melalui https://www.pewresearch.org/social-trends/2013/01/30/the-sandwich-generation/

Plante, T. G. (2012, Oktober 9). The sandwich generation on steroids. Psychology Today. Diakses pada 13 Juli, 2022, melalui https://www.psychologytoday.com/intl/blog/do-the-right-thing/201210/the-sandwich-generation-steroids

Pratiwi, S. (2021, Januari 19). Mengatasi permasalahan sandwich generation. Kompasiana. Diakses pada 13 Juli, 2022, melalui https://www.kompasiana.com/santikapratiwii/6006b516d541df1a316e4ec2/mengatasi-permasalahan-sandwich-generation#:~:text=Sandwich%20generation%20adalah%20istilah%20pada%20dunia%20keuangan%2C%20dimana,dan%20juga%20menanggung%20kehidupan%20finansial%20orang%20tua%20lo.

Rari, F. P., Jamalludin, J., & Nurokhmah, P. (2022). Perbandingan tingkat kebahagiaan antara generasi sandwich dan non-generasi sandwich. In Press Jurnal Litbang Sukowati,6(1), 1-13. DOI: https://doi.org/10.32630/sukowati.v6i1.254

Ro, C. (2021, Januari 29). Why the ‘sandwich generation’ is so stressed out. BBC. Diakses pada 13 Juli, 2022, melalui https://www.bbc.com/worklife/article/20210128-why-the-sandwich-generation-is-so-stressed-out

Tempo. (n.d). Psychologist reveals reasons behing sandwich generation stress. Tempo. Diakses pada 13 Juli 2022. URL: https://en.tempo.co/read/923563/psychologist-reveals-reasons-behind-sandwich-generation-stress

Penulis: Theresia

Di bawah supervisi Rani Agias Fitri