Beberapa dari Anda mungkin ada yang mengetahui mengenai isu perselingkuhan yang dialami oleh pasangan Amanda Zahra dan Guiddo Ilyasa Purba yang baru saja viral akhir-khir ini. Seperti yang dilansir oleh Fauziah (2022), beredar isu bahwa Guiddo selingkuh dari istrinya, Amanda dan diduga menjalin hubungan gelap dengan artis pendatang baru bernama Arawinda Kirana. Kabarnya, hubungan antara Guiddo dan Arawinda bermula ketika keduanya dipertemukan karena pekerjaan (Fauziah, 2022). Dari isu perselingkuhan tersebut, banyak sekali masyarakat yang menyalahkan perempuan selingkuhan atau biasa dilabeli dengan kata ‘pelakor’ (perebut lelaki orang) oleh masyarakat, hingga ada netizen berkomentar di twitter untuk tidak hanya judge pelakor tersebut, namun juga laki-lakinya, seperti cuitan yang dilontarkan oleh @dimsumaja

Guys bukan ngebela pelakor, tapi kalu mau judge & serang, coba serang dua2nya!!! Gue gedeg bgt tiap ada perselingkuhan pasti yg Cuma di bully pihak cewe doang doang! Padahal yg nikmatin BERDUA!! *** bgt jadi cowo. Lagian logika aja mana mungkin gada feel tapi bisa HS, *****

Dari isu ini banyak juga netizen yang menyayangkan perbuatan Guiddo, karena ia dianggap telah memiliki istri yang cantik dan sempurna, namun masih tetap melakukan hubungan gelap dengan wanita lain. Ketika hubungan gelap ini akhirnya diketahui oleh Amanda, Guiddo akhirnya memilih untuk tidak meninggalkan Amanda. Meskipun demikian, cap buruk yang diperoleh Arawinda tetap ada hingga saat ini, bahkan status pekerjaan Arawinda di Wikipedia sempat diubah menjadi pelakor, hingga Ernest Prakasa, seorang aktor ternama ikut memberikan komentar pedas, berupa “Peran seorang aktor tidak mencerminkan kehidupan pribadinya. Tapi, pencitraan di media sosial dan kehidupan pribadi, ya sebaiknya jangan bertolak belakang. Malu nanti kalo terbongkar.”. Kemudian ia juga menambahkan, “Saya tidak pernah suka istilah pelakor, karna lebih memojokkan perempuan. Padahal dalam perselingkuhan, si laki-laki pun bertanggung jawab.” (Lambe Turah, 2022)

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2016), selingkuh memiliki arti menyembunyikan sesuatu untuk kepentingan sendiri, tidak berterus terang, hingga menyeleweng. Sedangkan arti lain dari perselingkuhan yaitu sebuah kondisi, dimana satu pasangan yang terikat dalam pernikahan menyalurkan sumber-sumber emosi, seperti cinta romantis, waktu dan perhatian pada orang lain atau bahkan melakukan aktivitas seksual dengan orang lain selain pasangan sahnya (Buss & Shackelford, dalam Pusrikasari, 2012). Menurut Sadarjoen (dalam Pusrikasari, 2012) terdapat dua penyebab terjadinya perselingkuhan, yaitu penyebab internal seperti konflik dalam hubungan pernikahan yang tak kunjung usai, kekecewaan, ketidakpuasan dalam kehidupan seksual, masalah keuangan, persaingan antar pasangan, dan kejenuhan. Sedangkan penyebab eksternal dapat berupa lingkungan pergaulan yang mendorong seseorang untuk berbuat selingkuh, kedekatan dengan teman lawan jenis di tempat kerja yang bermula dengan berkeluh kesah masalah rumah tangga, godaan erotis-seksual dari berbagai pihak, dan chatting. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Suciptawati dan Susilawati (dalam Pusrikasari, 2012) mengenai faktor-faktor penyebab perselingkuhan dengan mengambil sampel sebanyak 50 responden usia 18-50 tahun di kota Denpasar, didapatkan hasil bahwa penyebab tindakan selingkuh karena faktor eksternal berupa godaan wanita lain dan ingin mencari selingan (34%), masalah komunikasi (22%), kurangnya perhatian dari pasangan (terutama kebutuhan batin) (20%), faktor ekonomi (16%), dan karena tidak ada ketentraman dalam rumah tangga (8%). Menurut Anna Surti Ariani (dalam Aura, 2020) — seorang Psikolog anak dan keluarga — ketika seseorang sudah berada dalam sebuah hubungan dan ada hubungan lain diantara kedua orang tersebut, maka yang pantut disalahkan adalah pihak yang berselingkuh dan yang menjadi selingkuhannya; bukan hanya salah perempuan saja atau laki-laki saja. Menurutnya, orang-orang yang berselingkuh adalah orang-orang yang kesulitan menjaga komitmen dalam hubungan, namun beliau juga mengatakan bahwa pengaruh orang baru yang hadir di dalam hubungan orang lain tidak akan signifikan apabila individu yang berada dalam hubungan tidak memiliki masalah dengan dirinya sendiri ataupun dengan pasangannya.

Mengapa hingga kini masih banyak masyarakat yang kerap hanya menyalahkan perempuan sebagai pihak ketiga daripada laki-lakinya? Menurut sebuah penelitian yang dilakukan oleh Jose (2018) mengenai persepsi istilah pelakor yang mengandung diskriminasi gender. Penelitian tersebut menjelaskan bahwa istilah pelakor menimbulkan stereotype jika setiap perempuan yang menjadi orang ketiga adalah seseorang yang berusaha merebut pasangan orang lain, kemudian istilah pelakor juga dapat membebaskan laki-laki dari kesalahan di dalam hubungan perselingkuhan, dan istilah pelakor juga menunjukkan bahwa masyarakat masih menganut sistem patriarki (dimana perempuan selalu dianggap sebagai sosok yang lemah dan pantas untuk disalahkan). Selaras dengan hasil penelitian tersebut, Pingkan Rumondor (dalam Ajeng, 2021) — seorang Psikolog klinis dewasa  dengan spesialis bidang hubungan, keluarga, dan pernikahan — juga mengutarakan hal yang sama seperti penelitian tersebut, ia mengatakan bahwa, istilah pelakor bisa saja dilontarkan oleh media, netizen, atau dikatakan langsung oleh istri sah kepada perempuan yang menjadi orang ketiga dalam hubungannya. Beliau menambahkan, bahwa sebenarnya penggunaan istilah pelakor kurang tepat, karena perselingkuhan adalah interaksi dua orang yang tidak terpaksa, beda halnya jika dilakukan secara terpaksa, maka bisa saja termasuk dalam tindakan pelecehan atau pemaksaan. Selain itu, menurut Katrin Bandel (dalam Sartika, 2018) — seorang dosen Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma — mengatakan jika kasus-kasus perselingkuhan dikaji secara mendalam, setiap kasus akan berbeda antara yang satu dengan yang lainnya, dan sulit untuk mempertegas siapa yang salah dan siapa yang benar. Sehingga, media-media yang meliput kasus-kasus perselingkuhan akan cenderung menyederhanakan kasus tersebut dan mencari unsur sensasionalnya. Dalam penyederhanaan media tersebut sering kali pandangan stereotipikal diikutsertakan dan salah satunya adalah terkait gender, dimana laki-laki seolah-olah secara alami leih mudah tergoda hasrat seksualnya dan perempuan lah yang salah jika hal tersebut terjadi. Sehingga, laki-laki dipandang wajar jika tidak memiliki kontrol diri yang kuat.

Apapun faktor-faktor yang menyebabkan seseorang selingkuh, tentunya wanita yang dilabeli sebagai ‘pelakor’ akan menerima dampak-dampak yang kurang baik bagi dirinya, seperti wanita akan dianggap sebagai pihak yang aktif sementara laki-lakinya dianggap sebagai pihak yang pasif, padahal perselingkuhan dilakukan karena ‘mau sama mau’ bukan karena adanya paksaan (Pingkan dalam Ajeng, 2021). Lebih lanjut Pingkan menjelaskan, jika pelabelan ini terus berlangsung, maka bisa saja hal ini mengganggu fungsi keseharian orang tersebut hingga bisa menimbulkan perasaan marah karena merasa tidak adil dan bisa memicu pikiran irasional atau memori pengalaman traumatis. Jika seseorang memiliki memori traumatis, maka dampak pelabelan ini dapat memperkuat pikiran irasional dan memperbesar perasaan marah, sedih, hingga frustrasi. Hal ini dapat mengganggu fungsi kehidupan sehari-hari, seperti sulit berkonsentrasi, mudah lelah, kehilangan minat mengerjakan pekerjaan atau hobi, hingga menghindar dari sumber pelabelan.

Referensi:

Ajeng, B. (2021, Agustus 14). Kenapa perempuan sering disalahkan dalam kasus perselingkuhan. Kumparan WOMAN. Diakses pada 19 Juli. 2022, melalui https://kumparan.com/kumparanwoman/kenapa-perempuan-sering-disalahkan-dalam-kasus-perselingkuhan-1wKXPCnSmye/full

Aura. (2020, Juni 2). Dalam hal perselingkuhan, mengapa perempuan kerap paling disalahkan. Aura Tabloid Bintang. Diakses pada 19 Juli, 2022, melalui http://ojs.unud.ac.id/index.php/srikandi/article/view/2831</identifier><source lang=”en-US”>Jurnal Studi Jender SRIKANDI; Vol. 4, No. 1 Januari 2005</source><language>eng</language><recordID>article-2831</recordID></dc>

Fauziah, F. (2022, Juli 6). 6 Fakta Guiddo Ilyasa, suami Amanda Zahra dituding selingkuh sama Arawinda Kirana punya pekerjaan mentereng. Hops.ID. Diakses pada 20 Juli, 2022, melalui https://www.hops.id/hot/pr-2943828262/6-fakta-guiddo-ilyasa-suami-amanda-zahra-dituding-selingkuh-sama-arawinda-kirana-punya-pekerjaan-mentereng?page=3

Kamus Besar Bahasa Indonesia. (2016). Selingkuh. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Diakses pada 20 Juli, 2022, melalui https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/selingkuh

Jose, A. W. (2018). Pelakor dan diskriminasi gender (studi kualitatif persepsi masyarakat tentang istilah pelakor yang memuat diskriminasi gender) [Skripsi, Universitas Pembangungan Nasional Veteran Jawa Timur]. http://repository.upnjatim.ac.id/401/

Pusrikasari, D. (2012). Kontribusi sikap, norma subjektif, dan erceived behavioral control terhadap intensi berselingkuh [Skripsi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta]. http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/handle/123456789/5880

Sartika, R. E. A. (2018, Februari 24). Dalam kasus perselingkuhan, kenapa wanita yang sering disalahkan. Kompas. Diakses pada 19 Juli, 2022, melalui https://sains.kompas.com/read/2018/02/24/100700823/dalam-kasus-perselingkuhan-kenapa-wanita-yang-sering-disalahkan-?page=all

Penulis: Theresia

Di bawah supervisi Rani Agias Fitri