Di kalangan dewasa fenomena flexing tumbuh menjadi suatu tren di media sosial (CNN Indonesia, 2022). Flexing menjadi sebuah perilaku yang dijadikan konten oleh para selebritas untuk memamerkan hartanya melalui media sosial yang mereka miliki. Perilaku ini tidak hanya terjadi di Indonesia saja, tapi juga terjadi di luar negeri. Beberapa selebritas luar negeri seperti Lil Pump, Lil Tay, RiceGum, Ariana Grande memamerkan harta mereka maupun karya mereka yang berbentuk lagu di media sosial (Bennett, 2022). Sedangkan di Indonesia, beberapa artis seperti Atta Halilintar, Aurel Hermansyah, Raffi Ahmad, dan Nagita Slavina turut mengikuti tren flexing ini (Nursaniyah, 2022). Dari fenomena flexing tersebut, banyak juga masyarakat umum yang mulai melakukan flexing harta kekayaan secara nyata hingga membual mengenai kekayaan yang tidak benar-benar mereka miliki, seperti yang dilakukan oleh Simon Leviev alias Simon Hayut yang menipu korban melalui aplikasi kencan Tinder, mengaku sebagai seorang miliarder, dan memasang foto-foto mewah untuk mengikat perhatian para wanita (N, 2022). Dilansir melalui laman Dictionary, flexing merupakan slang word atau bahasa gaul yang memiliki arti “pamer”. Bragging atau boasting merupakan sinonim dari kata flexing, serta lebih umum digunakan oleh masyarakat. Hingga pada 2018, penggunaan kata flexing mulai menyebar karena adanya memeweird flex but ok” yang ditunjukkan pada orang-orang yang memamerkan sesuatu di media sosial (Anderson, 2020).

Hasil Penelitian terhadap Perilaku Flexing

Menurut Krueger (2022), bragging merupakan bentuk dari self-promotion atau mempromosikan diri dan hal tersebut bukan lah sesuatu yang buruk. Namun, ia juga menganggap bahwa bragging adalah suatu perilaku yang mencari pujian dari para audiens tanpa menawarkan imbalan apa pun dan bertujuan untuk memuaskan diri mereka sendiri. George Loewenstein, Joachim Vosgerau, dan Irene Scopelliti melakukan penelitian mengenai reaksi dan emosi yang muncul ketika mendengar seseorang melakukan bragging. Hasilnya, cerita apa pun yang disampaikan oleh Self-promoters (sebutan bagi mereka yang sering melakukan flexing/bragging) akan diremehkan oleh pendengarnya selama para pendengar merasakan emosi negatif dari cerita mereka tersebut (Scopelliti dalam TED, 2016). Para self-promoter merasa bahwa hanya sekitar satu per empat pendengar yang merasakan emosi negatif ketika mereka melakukan flexing. Kenyataannya, lebih dari tiga per empat pendengar yang merasakan emosi negatif tersebut. Hal ini juga sebanding ketika dilihat dari emosi positif yang ditampilkan. Para self-promoter menganggap bahwa dengan melakukan flexing, mereka memproyeksikan emosi positif kepada para pendengar dan tidak merasa sedang membagikan emosi negatif. Padahal, hanya sedikit pendengar yang benar-benar merasakan emosi positif tersebut dan lebih banyak yang merasakan emosi negatif. Krueger (2022) juga menambahkan, tindakan flexing ini hanya dapat berhasil karena para pendengar tidak memiliki informasi yang cukup terkait hal tersebut untuk mengevaluasi cerita yang mereka bagikan secara objektif.

Penyebab Seseorang Melakukan Flexing

          Menurut Ibrahim (dalam Nursaniyah, 2022) seseorang yang senang melakukan flexing menandakan adanya kepribadian narsistik di dalam dirinya. Mereka akan mengharapkan imbalan berbentuk pujian atau kritik, serta menganggap kedua hal tersebut sesuatu yang menguntungkan dirinya. Ia juga menambahkan, seseorang yang melalukan flexing bisa juga karena kebutuhan, misal untuk kebutuhan branding. Maka sebagai tokoh publik, selebritas harus berpenampilan yang menarik. Penyebab lain seseorang melakukan flexing adalah karena beberapa orang merasa bahwa dirinya kurang dan merasa insecure (Valentina dalam Nariswari, 2022). Sehingga, cara untuk menutupi rasa insecure tersebut adalah dengan memamerkan apa pun yang menurutnya patut dibanggakan. Padahal, perilaku flexing yang dilakukan untuk menutupi kekurangan diri dapat memicu respon negatif dari orang sekitar. Selain itu, Jayanti (dalam CNN Indonesia, 2022) menjelaskan bahwa perilaku flexing ini dapat timbul karena beberapa faktor, seperti keadaan realita yang berbeda dari ekspetasi, ketakutan akan penolakan, kebutuhan akan eksistensi diri, serta kepribadian seseorang. Menurutnya, perilaku flexing bukan lah sebuah perilaku abnormal dan tidak dapat dikatakan sebagai gangguan psikologis selama tidak mengganggu aktivitas, merugikan orang lain, mau pun membuat inividu menampilkan citra diri yang berbeda.

Tipe Flexing/Bragging

flexing seringkali mendatangkan emosi negatif sehingga sulit ditoleransi orang lain. Namun terdapat juga satu flexing yang dapat ditoleransi. Menurut Whitbourne (2012), terdapat tujuh tipe flexing, yaitu:

  1. Menarik perhatian secara langsung pada kualitas pribadi diri yang luar biasa

Tipe ini adalah cara yang paling tidak disukai ketika seseorang flexing. Cara tersebut merupakan bentuk pujian diri yang paling kecil kemungkinannya untuk di percaya orang lain karena tidak menunjukan bukti yang dapat divalidasi, sehingga mereka akan terpaksa percaya apa yang dikatakan orang tersebut. Tipe ini juga berpotensi melanggar norma-norma sosial karena memaksa orang untuk menggambarkan diri Anda secara positif. Anehnya, hal ini tidak berlaku ketika seseorang mencela dirinya sendiri. Namun, Anda harus tetap berhati-hati ketika mencela diri sendiri karena bisa saja perilaku tersebut terlihat seperti Anda sedang memancing pujian dari orang lain dan sama-sama dianggap menyebalkan oleh orang lain.

  1. Secara langsung menarik perhatian pada sesuatu yang telah Anda lakukan

Anda mungkin merasa lancang saat mengatakan bahwa Anda adalah orang yang hebat, namun berbeda jika Anda mengatakan Anda sudah mencapai beberapa hal yang hebat. Sebagai contoh, ketika Anda memenangkan medali di sebuah olimpiade. Tidak masalah bagi sebagian besar masyarakat jika Anda senang terhadap pencapaian Anda dan lantas memamerkannya di biografi Anda. Namun, akan menjadi sebuah masalah ketika Anda mengenakan medali tersebut dan menunjukkannya kepada orang-orang dan menyebut diri Anda sebagai orang yang memenangkan medali tersebut.

  1. Menarik perhatian secara tidak langsung pada kualitas pribadi diri yang luar biasa

Dibandingkan mengklaim diri Anda sendiri sebagai seseorang yang hebat, mungkin Anda berpikir bahwa tidak masalah jika mengklaim ada orang yang berpikir Anda adalah orang yang hebat. Namun, hal tersebut juga akan menimbulkan masalah. Tanpa membuktikan kutipan langsung atau bukti nyata, maka orang-orang yang mendengarnya tidak mungkin langsung percaya begitu saja dan belum tentu pujian tersebut adalah suatu kebenaran.

  1. Secara tidak langsung menarik perhatian pada sesuatu yang telah Anda lakukan

Ketika Anda melakukan flexing melalui aksi bukan kualitas pribadi Anda, orang-orang akan berpikir bahwa perilaku Anda merupakan bentuk rendah hati yang palsu dan dapat membuat beberapa teman Anda merasa lebih dari sekadar cemburu. Bahkan, jika setelah bukti divalidasi dan ternyata Anda mendistorsi situasi, maka Anda tidak hanya terlihat sebagai seseorang yang melakukan flexing, namun juga penipu. Sebagai contoh, ketika Anda meraih suatu kesuksesan di sebuah komunitas, alih-alih membagikannya di akun pribadi Anda, Anda justru membagikan tautan dari grup komunitas yang menyatakan Anda mencapai kesuksesan tersebut.

  1. Menarik perhatian pada kesuksesan Anda dengan “disclaimer

Anda mungkin berpikir tidak masalah jika membicarakan pencapaian Anda dengan mengacu kepada perilaku dan bukan kualitas pribadi Anda selama Anda mebungkusnya dengan sebuah “disclaimer”, seperti “Saya tidak bermaksud pamer, tapi…” Maka, hal tersebut mengindikasikan bahwa Anda telah memberikan bukti kalau Anda benar-benar memiliki kemampuan yang dibanggakan, dan membuat orang lain tidak dapat berargumen dengan pernyataan bahwa Anda benar-benar mencapai sebuah kesuksesan atau melakukan sesuatu yang terpuji. Meskipun demikian, disclaimer yang Anda lakukan, justru menarik perhatian, bahwa Anda telah melanggar norma sosial dari kesopanan, seperti Anda mengetahui bahwa yang Anda lakukan adalah salah namun tetap dilakukan. Hal ini membuat disclaimer yang Anda lakukan terlihat lebih buruk. Akan lebih baik jika Anda hanya mengatakan sesuatu yang sederhana, seperti “Saya menang dan saya senang,” maka orang lain akan lebih menerima pernyataan Anda yang terlihat tulus dari kepuasan terhadap pencapaian Anda, bahkan kompetitor akan menghargainya.

  1. Menikmati kesuksesan yang dicapai orang lain

Pada tipe flexing ini, Anda berusaha membuat orang lain terkesan dengan apa yang orang lain capai. Biasanya hal ini terjadi ketika orang terdekat Anda mencapai kesuksesan, seperti ketika orang tua yang membanggakan anaknya yang menjadi dokter terkenal. Hal yang perlu ditegaskan pada flexing tipe ini adalah ketika Anda membuat diri Anda terlihat baik dengan memuji orang terdekat Anda atas kesuksesannya. Sebagai contoh, ketika adik tingkat Anda terpilih menjadi ketua komunitas yang sama dengan Anda dan Anda membagikan kabar baik itu kepada teman-teman Anda. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan hal itu, namun semakin sering Anda menceritakannya kepada orang lain dengan berkata “Lea, aktivis di divisi saya yang saya latih, sekarang menjadi ketua komunitas,” semakin terlihat bahwa Anda tidak peduli dengan pencapaian Lea. Atau mungkin Anda akan menambahkan disclaimer, seperti “Saya merasa beruntung bahwa Lea, aktivis dari divisi yang sama dengan saya…” Lagi-lagi, disclaimer tersebut dapat menarik perhatian bahwa Anda telah melanggar norma kesopanan. Hal ini dapat membuat orang-orang mempertanyakan kebenaran dari pernyataan Anda yang melatih segala hal yang diketahui oleh Lea.

  1. Melaporkan percakapan di mana Anda dipuji dan buktinya dapat diverifikasi

Satu-satunya tipe flexing yang mungkin dapat diterima oleh orang-orang adalah ketika Anda mengutip percakapan seseorang, di mana pendengar dapat membayangkan situasi ketika orang lain memuji perbuatan atau pencapaian Anda, terutama jika Anda memberikan detail yang cukup dan membuat komentar tersebut masuk akal. Perilaku seperti itu sesuai dengan norma-norma sosial kesopanan. Jika Anda ingin membuatnya lebih meyakinkan, Anda dapat menyediakan bukti yang dapat dikonfirmasi. Sebagai contoh, seorang Ibu menyampaikan komentar orang lain terhadap masakannya yang enak kepada putrinya dan saat itu putirnya sedang memakan masakan ibunya. Putrinya tersebut tidak dapat meragukan komentar tersebut karena ia tahu dan memiliki bukti bahwa masakan ibunya memang sangat enak.

Jika ingin flexing, Anda dapat memilih tipe ketujuh selama Anda mengutip komentar dari orang lain dan dapat memberikan bukti. Pastikan juga bahwa komentar tersebut tidak menyinggung perasaan orang lain.

Tips Mengendalikan Perilaku Flexing

Menurut Jayanti (dalam CNN Indonesia, 2022) terdapat beberapa cara untuk mengendalikan diri agar tidak flexing, yaitu:

  1. Mengelola ekspetasi yang dibayangkan tidak melebihi realita dan kemampuan diri, sehingga Anda tidak perlu memaksakan diri agar sesuai dengan ekspetasi Anda.
  2. Mengontrol diri dalam menunjukkan hal-hal yang terjadi pada diri Anda dan pikirkan dampak baik serta buruknya sebelum melakukan flexing.
  3. Mengubah mindset dengan fokus memahami diri mengenai kekuatan dan kelebihan yang Anda miliki daripada fokus untuk pamer. Kemudian, sadari bahwa dengan memamerkan sesuatu, belum tentu hal itu menandakan Anda orang yang hebat.
  4. Sebelum melakukan flexing, coba pahami bagaimana tanggapan orang lain tentang apa yang Anda lakukan, apakah orang tersebut akan terganggu atau tersinggung.
  5. Alih-alih memamerkan segala hal yang Anda miliki, alangkah baiknya untuk lebih fokus menikmati setiap momen dari kegiatan yang Anda ikuti, baik saat bersama keluar, teman, ataupun sendiri.

Selain itu, Jayanti (dalam CNN Indonesia, 2022) juga mengatakan untuk menanggapi seseorang yang melakukan flexing, Anda dapat melakukan dua cara, yaitu (1) mengkomunikasikannya jika orang yang melakukan flexing adalah orang yang dekat dengan Anda (2) Jika orang tersebut tidak dekat dengan Anda, Anda dapat mengabaikannya.

Referensi:

Anderson, I. (2020, September 19). Flex. Dalam SlangLang. Diakses pada 30 Maret ,2022, melalui https://www.slanglang.net/slang/flex/

Bennett, T. (2019, 26 Maret). Social media culture: Flexing on the gram. Get Kids Internet Safe (GKIS). Diakses pada 29 Maret, 2022, melalui https://getkidsinternetsafe.com/flexing/

CNN Indonesia (2022, Januari 26). Melihat perilaku flexing alias pamer, secara psikologis. CNN Indonesia. Diakses pada 29 Maret, 2022, melalui https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20220124143117-277-750501/melihat-perilaku-flexing-alias-pamer-secara-psikologis/1

Dictionary. (1995). Flex. Dalam Dictionary. Diakses pada 31 Maret, 2022, melalui https://www.dictionary.com/browse/flex

Krueger, J. I. (2022, Maret 20). Why do we brag: If you’re so great, why do you have to continually remind yourself? Psychology Today. Diakses pada 29 Maret, 2022, melalui https://www.psychologytoday.com/us/blog/one-among-many/202203/why-do-we-brag

  1. S. N. (2022, Februari 24). Flexing: Gaya hidup atau strategi marketing. Detiknews. Diakses pada 30 Maret, 2022, melalui https://news.detik.com/kolom/d-5956506/flexing-gaya-hidup-atau-strategi-marketing

Nariswari, S. L. (2022, Maret 11). Flexing: Tren pamer harta demi gengsi dan status sosial. KOMPAS. Diakses pada 30 Maret, 2022, melalui https://lifestyle.kompas.com/read/2022/03/11/155527620/flexing-tren-pamer-harta-demi-gengsi-dan-status-sosial

Nursaniyah, F. (2022, April 04). Artis pamer harta di medsos, adakah manfaatnya. KOMPAS. Diakses pada 28 Maret, 2022, melalui https://www.kompas.com/hype/read/2022/03/04/173234466/artis-pamer-harta-di-medsos-adakah-manfaatnya?page=1

TED. (2016, Februari 03). Irene Scopelliti: Why do people brag [Video]. YouTube. https://www.youtube.com/watch?v=pNTyl_nUOVo

Whitbourne, S. K. (2012, Juli 28). Bragging: when is it ok and when is it not ok, use your bragging rights with caution. Psychology Today. Diakses pada 29 Maret, 2022, melalui https://www.psychologytoday.com/us/blog/fulfillment-any-age/201207/bragging-when-is-it-ok-and-when-is-it-not-ok#:~:text=There%20is%20surprisingly%20little%20research%20in%20psychology%20on,of%20bragging%2C%20which%20is%20depression%20and%20low%20self-esteem.

Penulis: Theresia

Di bawah supervisi Rani Agias Fitri