Pelajaran dari Film “Noktah Merah Perkawinan”
Film Noktah Merah Perkawinan menceritakan tentang perjuangan dua insan mendaki gunung ‘pernikahan’. Dalam mendaki gunung, perlu persiapan matang, bahkan untuk gunung yang sangat tinggi akan butuh oksigen. Semakin tinggi, semakin sulit, oksigen makin tipis. Semakin tinggi, pemandangan makin cantik pula, makin banyak makna yang terasa. Oleh karena itulah, persiapan pernikahan menjadi penting, sama pentingnya sepeti persiapan alat dan oksigen ketika akan naik gunung.
Saat menontoh film ini, ada beberapa pelajaran yang mengena di hati penulis. Terutama mengenai contoh-contoh perilaku yang sebaiknya dihindari dalam relasi pernikahan. Pertama mengenai komunikasi suami istri. Dalam film tersebut digambarkan Ambar dan Gilang sedang bertengkar. Ambar berkata “Kamu selalu lari dari masalah, Mas“. Perkataan tersebut membuat Gilang tambah defensif dan makin menaikkan nada suaranya. Akhirnya, mereka berpisah dalam suasana hati yang kecewa. Padahal, ketika Ambar berkata “Kamu selalu lari..” yang ia maksud adalah “Aku merasa sendirian dalam pernikahan ini“. Perasaan tersebut ia ungkapkan saat berkonsultasi dengan seorang konselor pernikahan. Bayangkan kalau Ambar secara jujur dan tenang mengatakan pada Gilang, apa yang ia katakan pada konselornya. Tentu hubungan mereka akan jauh lebih tenang dan kemungkinan mendapatkan solusi menjadi lebih tinggi.
Kedua, contoh kasus pertengkaran Ambar dan Gilang juga mengajarkan penulis bahwa maksud baik tidak selalu membawa kebaikan, tergantung cara penyampaian. Ambar dan Gilang sama-sama bermaksud baik ingin menumpahkan perasaan dan mencari solusi dalam pernikahan mereka. Keduanya tampak menyayangi dan peduli pada kedua anak mereka: Bagas dan Ayu. Ambar berusaha dengan mengungkapkan pikirannya dan Gilang berusaha dengan menghindari konflik. Maksud keduanya baik, akan tetapi cara penyampaian tersebut ternyata malah memperlebar jurang di antara mereka. Oleh karena itu, mereka berdua sepertinya perlu belajar mengelola emosi dan mempraktekkan komunikasi asertif. Agar maksud baik mereka bisa tersampaikan dengan cara yang baik juga.
Pada film ini, digambarkan Gilang sempat dekat dengan seorang kliennya bernama Yuli. Yuli juga adalah murid Ambar di kelas pottery yang ia ampu. Beberapa kali Ambar melihat Gilang bersama-sama dengan Yuli, misalnya saat mereka baru pulang dari Bogor, menghadiri peresmian taman yang dirancang oleh Gilang. Rupanya pemandangan itu membuat Ambar murka dan berasumsi bahwa Gilang telah berselingkuh dengan Yuli. Ia pun makin menjauh dari Gilang, hingga menuntut perceraian. Jika suatu asumsi tidak diklarifikasi, maka ia akan membunuh intimasi. Seperti yang dialami oleh Ambar dan Gilang. Idealnya, jika salah satu merasa cemburu, maka perasan tersebut diungkapkan dan berusaha dipahami bersama.
Jika saja Ambar dan Gilang mau berusaha saling mendengarkan, merefleksikan perasaan dan saling menerima tanpa menghakimi, maka hubungan mereka akan terasa lebih aman. Hubungan yang aman ini akan membantu mereka untuk mencapai perumusan solusi. Jika pembaca sedang merasa kesulitan berkomunikasi dengan pasagan, ada baiknya hubungi profesional seperti konselor pernikahan atau psikologi klinis, untuk membantu mengembangkan keterampilan komunikasi dan manajemen konflik yang efektif.
Pelajaran terakhir dari film ini ialah dari penyakit eksim yang diderita oleh Bagas, anak tertua Ambar dan Gilang. Sebagai anak yang beranjak remaja, ia menyaksikan pertengkaran ayah ibunya. Ia juga merasakan bagaimana mereka berdua menjauh. Hal ini sulit untuk ia ungkapkan. Alhasil, perasaan tertekan Bagas termanifestasikan dalam gejala fisik, yaitu eksim. Rasa tertekan atau stres memang dapat tampil dalam gejala fisik. Begitulah, jika fisik dan mental saling terhubung. Cuplikan film ini dapat menjadi pelajaran pada orangtua, bahwa meski tidak berkata-kata, anak dapat merasakan ketegangan yang terjadi di antara orangtua. Maka, jika ada gejala fisik, coba ajak anak bicara apa yang membuatnya merasa tertekan dan bantu ia mengelola perasaan tersebut.
Apakah pembaca sudah menonton film ini? Moga-moga ada pelajaran yang bisa didapat ya.. Kalau sudah menontonnya, pelajaran apa yang pembaca dapat dari film yang disutradari Sabrina Rochelle ini? Silakan tuliskan di kolom komentar.