Hustle Culture
Rifka (2021), mengutip dari laman Kementerian Ketenagakerjaan, menerangkan bahwa hustle culture adalah sebuah standar yang merebak secara umum yang menganggap bahwa sebuah keberhasilan – kesuksesan, hanya dapat diraih apabila seluruh kehidupan seseorang sepenuhnya didedikasikan pada dan hanya untuk pekerjaan. Orang harus membanting tulang bekerja sekeras-kerasnya sampai kalau perlu menempatkan pekerjaan di atas segalanya (Lesmana, 2021). Mensitir pernyataan Dr. dr. Ria Maria Theresa, Sp.KJ, Sarah (2021) menyebutkan bahwa hustle culture adalah budaya di mana seseorang bekerja tanpa henti di mana pun dan kapan pun. Sering kali gaya hustling ini dianggap standar untuk mencapai sukses di usia muda sehingga banyak kaum muda yang menempatkan pekerjaan sebagai prioritas Utama dalam hidupnya.
Hustle Culture atau dalam bahasa keseharian diterjemahkan dengan budaya hiruk pikuk, bukan lah suatu fenomena yang baru. Tahun 1971, Wayne Oates menulis buku berjudul Confessions of a workaholic: the facts about work addiction yang diterbitkan di New York oleh penerbit World Publishing Co. Namun saat ini seperti mendapatkan peneguhan dan diglorifikasi. Padahal Hustle Culture ini membawa dampak yang tidak sederhana baik secara fisik maupun mental. Orang yang hidup dalam Hustle Culture akan rentan mengalami kelelahan akut baik fisik (sakit dipencernaan karena makan tidak teratur, jantung, darah tinggi dll.) maupun mental, (stress, depresi, mengalami burnout, bahkan sampai ke anxiety disorder dan yang paling parah adalah menjadi memiliki kecenderungan untuk bunuh diri – suicide intension). Orang yang perfeksionis, result oriented, memiliki konsep hidup hustle culture yang tertanam dalam dirinya dan memiliki keyakinan bahwa segala mimpi dapat diraih di usia muda adalah orang-orang yang rentan terhadap dampak dari hustle culture ini. Bahaya hustle culture tidak hanya akan berdampak secara individual melainkan juga secara sosial. Interaksi sosial terutama via sosial media dapat menjadi pemicu perilaku hustle culture.
Hustle Culture dapat disiasati dengan beberapa langkah pencegahan dan upaya untuk mengatasinya. Konsep Work Life Balance yang sempat mengemuka juga belakangan ini perlu digalakkan dan disosialisasikan. Orang mesti memperhitungkan dan menerapkan keseimbangan antara kehidupan pribadi, pekerjaan, dan kehidupan sosial. Orang juga didorong untuk lebih menghargai dan menyayangi dirinya sendiri – kesehatan, kebahagiaan dan kenyamanan pribadi. Orang yang tidak mampu membatasi diri, mengatur keseimbangan aktivitas keseharian dengan sehat akan diragukan juga kualitas produktivitas kerjanya. Adalah penting bagi kita untuk menjaga kesehatan diri baik secara fisik maupun mental – istirahat itu wajar, sah dan perlu!
[Saksikan juga podcast Psikologi BINUS dengan bintang tamu: Dr. Anggita Dian Cahyani M.A.]