Radikalisme di Indonesia
Sejarah Radikalisme
Pada awal penyebaran Islam di Nusantara oleh para wali songo, situasi damai dan kondisi toleran terjadi melalui interaksi keragaman budaya kehidupan lokal, bahkan pada masanya islam dapat hidup damai berdampingan dengan umat lain dan kepercayaan lain (Asrori 2015). Pada masa pasca kemerdekaan RI separatisme mengatasnamakan Islam mulai terlihat melalui gerakan pemberontakan yang terjadi seperti Kartosuwiryo tahun 1950 dengan nama DI/TII. Belakangan ini karena faktor kontigensi yang ada bermunculanlah sekte, aliran, dan mazhab baru yang mengatasnamakan Islam berkembang pesat sesuai dengan latar belakang kebudayaan dan kondisi lingkungan pendukung didaerah penganutnya (Asrori 2015). Pasca reformasi 98 yang ditandai dengan bebasnya filter demokrasi dan kebebasan berpendapat lebih didahulukan dibanding penegakan hukum, maka radikalisme telah menjadi lahan subur ditandai munculnya kelompok paham baru termasuk paham agama mengatasnamakan Islam radikal.
Paham radikalisme dikalangan umat beragama islam seringkali disamakan dengan paham keagamaan padahal berbeda konteks dan tujuan dari apa yang diajarkan islam, pencetus radikalisme lahir dari berbagai kontigensi, mulai dari permasalahan ekonomi, kondisi politik, ketidakadlian sosial dan hukum dan isu marjinal pada kehidupan masyarakat. Pola organisasi paham radikal bervariatif mulai dari gerakan moral ideologi hingga militan bergaya militer. Organisasi ini memiliki tujuannya, tetapi yang menjadi penyamaan tujuan adalah mengganti kekuasaan negara dengan cara menggulingkan pemerintahan dan politik yang sah.
Menurut Hanafi (2000) kegagalan Marxisme ketika berpartisipasi dalam perjuangan politik didunia Islam turut mendorong munculnya radikalisme dalam dunia Islam. Marxisme telah memberikan kontribusi dalam sektor industrialisasi dan gerakan pembebasan beberapa negara muslim dari kolonialisme (Hanafi 2000). Namun, marxisme memiliki keterbatasan tidak mampu menyentuh hati masyarakat dan terlanjur diaplikasikan tanpa proses adaptasi dengan lingkungan masyarakat Muslim. Model kolonialisme baru dan agresi negara barat disejumlah negara Muslim ikut menjadi faktor eksternal bagi kemunculan kembali radikalisme diera milenium (Masduki 2013). Kalangan Islam yang merasa terancam oleh ekspansi militer asing seperti zionisme dan kolonialisme gaya baru merasa perlu melakukan perlawanan dengan bermodalkan spirit perjuangan jihad yang diambil dari tradisi pemikiran Islam (Masduki 2013).
Pengertian Radikalisme
Radikalisme adalah suatu paham yang dibuat oleh sekelompok orang yang menginginkan perubahan atau pembaharuan tatanan sosial dan politik secara drastis dengan menggunakan cara kekerasan (Ariwidodo, 2017). Radikalisme menurut Kartodirdjo (1985) dimaknai berbeda diantara kelompok kepentingan. Dalam lingkup keagamaan, radikalisme merupakan gerakan keagamaan yang berusaha merombak secara total tatanan sosial dan politik yang ada dengan jalan menggunakan kekerasan. Studi ilmu sosial mengartikan radikalisme sebagai pandangan yang ingin melakukan perubahan yang mendasar sesuai dengan interpretasinya terhadap realitas sosial atau ideologi yang dianutnya (Rubaidi 2007) (Hasani & Napospos 2010). Hafid (2020) menjelaskan bahwa gerakan radikalisme adalah sikap atau semangat yang membawa pada tindakan bertujuan melemahkan dan mengubah tatanan yang mapan dengan menggantinya dengan gagasan atau pemahaman baru. Gerakan perubahan kadang disertai dengan tindak kekerasan (Hafid 2020). Bila dilihat dari pemahaman agama, gerakan radikalisme agama dapat dimaknai sebagai gerakan berpandangan kolot dan jumud serta kaku aturan, menggunakan kekerasan atau memaksakan pendapat tentang pandangan keagamaan, serta menganggap hanya pemahaman agamanya saja yang benar dan paling sesuai Al-Qur’an dan hadis (Hafid 2020).
Permasalahan radikalisme Islam di Indonesia makin mengakar menjadi besar karena pendukungnya makin meningkat (Asrori 2015), akibat konstelasi politik, lambat laun konsep radikalisme di Indonesia berbeda tujuan serta tidak mempunyai pola yang seragam. Paham radikalisme di Indonesia ada yang sekedar memperjuangkan implementasi syari’at Islam tanpa keharusan mendirikan negara Islam, namun ada pula paham yang memperjuangkan berdirinya negara Islam Indonesia. Selain itu paham ini memperjuangkan berdirinya paham kekhalifahan yang salah arti dengan menggunakan pola organisasi beragam (Turmudi 2005).
Ciri Radikalisme
Kelompok radikal memiliki ciri yang hampir sama dalam berhubungan dengan lingkungannya maupun dengan diri sendiri, disebutkan oleh Masduki (2013) antara lain (1) Mengklaim kebenaran tunggal dan menyesatkan kelompok lain yang tak sependapat. Klaim kebenaran selalu muncul seakan-akan kelompok ini adalah orang suci yang tak pernah melakukan kesalahan ma’sum padahal hanya manusia biasa, sementara kebenaran oleh manusia bersifat relatif dan hanya Allah yang tahu kebenaran absolut. (2) Radikalisme mempersulit tata cara Islam yang dianut, bahwa sejatinya ajaran islam bersifat samhah atau toleran dengan menganggap perilaku, hukum dan ibadah. Memahami hukum sunnah seakan-akan wajib dan yang makruh seakan-akan haram atau sebaliknya. Radikalisme dicirikan dengan perilaku beragama yang lebih memprioritaskan persoalan-persoalan sekunder dan mengesampingkan yang primer. (3) Kelompok radikal bersikap berlebihan dalam menjalankan ritual agama yang tidak pada tempatnya. Dalam berdakwah mereka mengesampingkan metode “Bi al-hikmah” seperti yang digunakan oleh Nabi SAW, sehingga dakwah yang dilakukan justru membuat umat Islam yang masih awam merasa ketakutan dan keberatan. (4) Mutlak dalam berinteraksi, keras dalam berbicara terutama terkait apa yang diyakininya dan emosional dalam berdakwah atau menyampaikan pendapat.
Karakteristik seperti ini sangat bertolak belakang dengan kesantunan dan kelembutan bagaimana Nabi ketika menyampaikan suatu wahyu. (5) Kelompok radikal mudah berburuk sangka kepada orang lain diluar golongannya yang tidak sepaham. Mereka senantiasa memandang orang lain hanya dari aspek negatif dan mengabaikan aspek positifnya walaupun berdampak baik. (6) Paham dari kelompok ini mudah mengkafirkan atau memberi label takfiri orang atau kelompok lain yang berbeda pendapat. Pada masa lampau sikap seperti ini identik dengan golongan Khawarij, kemudian pada masa kontemporer identik dengan istilah “Jamaah Takfir wa Bid’ah” dan kelompok puritan. Kelompok ini mengkafirkan orang lain yang berbuat maksiat, mengkafirkan pemerintah demokratis, mengkafirkan rakyat yang menjalankan penerapan demokrasi, mengkafirkan umat Islam di Indonesia yang menjunjung tradisi lokal, dan mengkafirkan semua orang bahkan kelompok yang berbeda pandangan dengan mereka, sebab mereka yakin bahwa pendapat mereka adalah pendapat yang paling benar yang sesuai dengan Allah dan Rasul-Nya.
Penyebab Kemunculan Radikalisme
Paham radikalisme berkembang di Indonesia disebabkan tiga faktor utama (Khammami 2002). Faktor pertama adalah perkembangan global bahwa kelompok radikal menjadikan situasi di Timur Tengah sebagai inspirasi untuk mengangkat senjata dan aksi teror atas dasar penderitaan sesama muslim. Kondisi di Afghanistan, pencaplokan Palestina oleh Zionis, Irak, Yaman, Syiria, dan seterusnya dipandang sebagai campur tangan kerjasama Amerika Israel dengan bantuan blok pendukungnya (Khammami 2002). Adapun faktor kedua adalah terkait dengan kian tersebar luasnya paham Wahabisme yang mengagungkan budaya Islam ala Arab yang konservatif (Khammami 2002). Wahabisme dianggap bukan sekadar aliran, pemikiran, atau ideologi, melainkan mentalitas yang membuat batas kelompok yang sempit dari kaum muslimin sendiri, sehingga dengan mudah mereka mengatakan diluar kelompok mereka yang berbeda sikap, pandangan dan pemikiran adalah kafir, musuh, dan wajib diperangi. Faktor ketiga adalah karena kemiskinan atau keadilan sosial. Kondisi ini tidak berpengaruh langsung terhadap merebaknya aksi radikalisme, namun perasaan termarjinalkan adalah hal utama yang kemungkinan membuat keterkaitan kuat antara kemiskinan yang terjadi dan laten radikalisme. Situasi seperti itu menjadi persemaian subur bagi radikalisme dan terorisme (Khammami 2002).
Radikalisme muncul di Indonesia disebabkan perubahan tatanan sosial dan politik (Asrori 2015) yang tidak sepaham dengan kelompok radikalis. Ideologi baru yang dianut lebih keras dan tidak mengenal toleransi, sebab banyak dipengaruhi oleh mazhab pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab atau Wahabi yang saat ini menjadi ideologi resmi pemerintah Arab Saudi (Asrori 2015). Menurut Al-Qardawi (1986). Menjelaskan kemunculan radikalisme atau gerakan “al-tatharruf” disebabkan oleh (1) Pengetahuan agama yang parsial bahkan melalui proses belajar yang doktriner pada kalangan pelajar atau mahasiswa dari sekolah atau perguruan tinggi berlatar belakang umum (2) Literal dalam memahami konsep agama sehingga kalangan radikal hanya memahami Islam dari perspektif subjektif saja tetapi dan minim wawasan tentang esensi agama (3) Berlebihan dalam mengharamkan banyak hal yang memberatkan umat (4) Lemah dalam wawasan sejarah dan sosiologi sehingga fatwa paham radikalis sering bertentangan dengan kemaslahatan umat, akal sehat,dan semangat zaman (5) Radikalisme muncul sebagai reaksi terhadap bentuk yang dianggap radikalisme yang lain seperti sikap radikal kaum sekular yang menolak agama. (6) Perlawanan terhadap ketidakadilan perlakuan sosial, ekonomi, hukum dan politik ditengah masyarakat.
Radikalisme muncul dari respon rasa frustasi dan pemberontakan terhadap ketidakadilan sosial yang disebabkan oleh lemah dan mandulnya kinerja lembaga hukum (Al-Qardqwi 1986). Lembaga hukum di Indonesia yang masih carut marut, tebang pilih dalam penanganan kasus, putusan pengadilan dalam menjatuhkan vonis hukum yang tidak adil, serta keberpihakan hukum dapat menjadi stimulus penyebab paham radikalisme berkembang. Kegagalan pemerintah dalam menegakkan keadilan akhirnya direspon oleh kalangan radikal dengan tuntutan penerapan syari’at Islam Al-Qardqwi (1986). Dengan harapan, bila menerapkan aturan syari’at kelompok yang merasa terzalimi ini akan mampu menegakkan keadilan, namun tuntutan penerapan syariah pasti diabaikan oleh negara terutama Indonesia karena tidak sesuai dengan paham bernegara, sehingga mereka frustasi dan akhirnya memilih cara kekerasan dalam menyampaikan tujuannya (Al-Qardqwi 1986).
Menurut Khammami (2002), kemunculan radikalisme dari sisi agama disebabkan karena dua faktor yaitu faktor internal dari dalam umat Islam karena adanya penyimpangan norma agama dengan pemahaman agama yang totalistik sempit dan formalistik yang bersikap kaku dalam memahami konsep agama. Paham ini memandang agama dari satu arah yaitu tekstual, tanpa melihat dari sumber lain. Faktor kedua berasal dari kondisi eksternal diluar umat Islam yang menjadi pendukung untuk melakukan penerapan syari`at Islam dalam sendi-sendi kehidupan (Kammami 2002).
Usaha Deradikalisasi Radikalisme
Paham radikal akan berkembang ditengah masyarakat ketika ketidakadilan sosial dan hukum, kondisi kemiskinan serta penyimpangan paham islam yang sempit, maka dibutuhkan keterlibatan semua pihak dari pemangku kepentingan masyarakat dan pemerintahan negara Indonesia. Negara diharapkan hadir secara cepat dan tanggap dalam meredam konflik atas nama agama dan SARA sekaligus memberikan jaminan keamanan dan kesejahteraan bagi seluruh lapisan masyarakat (Hafid 2020). Negara melalui perangkat aparaturnya wajib menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila sebenar-benarnya untuk mewujudkan masyarakat yang adil dari sisi perlakuan hukum, pelayanan fasilitas dan pemenuhan kebutuhan segenap warga negara. Pembinaan mental dan spiritual generasi muda di lembaga pendidikan formal maupun nonformal agar terhindar dari paham radikal (Hafid 2020).
Al-Qardhawi (1986) menjelaskan terdapat solusi untuk mengatasi masalah radikalisme (1) Menghormati aspirasi kalangan Islamis radikalis melalui cara-cara yang dialogis dan demokratis (2) memperlakukan mereka secara manusiawi dan penuh persaudaraan (3) Tidak melawan mereka dengan sikap yang sama ekstrem dan radikal, keduanya harus ditarik ke posisi moderat agar berbagai kepentingan dapat dikompromikan (4) Masyarakat diberikan kebebasan berpikir agar terwujud dialog sehat dan saling mengkritik yang konstruktif sehingga berdampak empatik antar aliran (5) Menjauhi sikap saling mengkafirkan dan tidak membalas pengkafiran dengan pengkafiran (6) Mempelajari agama secara benar sesuai dengan metode yang sudah ditentukan oleh para ulama Islam dan mendalami esensi agama agar menjadi Muslim yang bijaksana tidak hanya literasi tanpa bimbingan. (7) Tidak menjadi seorang Islam secara parsial dan reduktif dengan mempelajari esensi tujuan syariat maq-a.sid syar-iah.
Masduqi (2013) menyarankan agar Pendidikan pengajaran agama Islam yang terinfiltrasi oleh paham radikal perlu dilakukan reorientasi ke arah yang sesuai dengan spirit Islam yang mengajarkan saling menghargai dan persaudaraan. Perencanaan tentang konsep pendidikan Islam yang seimbang dengan penerapan prisnsip “Hablum minallah-hablum minannas” toleran, inklusif, humanis dan multikulturalis yang mengajarkan kasih saying sesama makhluk ciptaan Tuhan, kesantunan, menghornati orang lain, dan kerukunan harus dimulai sejak pendidikan dasar, sehingga dimasa mendatang pastinya dapat mendorong terwujudnya keharmonisan dalam bernegara.
Daftar Pustaka
Al-Qardhawi, S., Y. (1986). Al-Shahwah al-Islamiyah bayn al-Juhud wa al-attarruf. Bank al-Taqwa. Cairo.
Ariwidodo, E. (2017) Shifting Paradigm of Modern Islam Fundamentalism as Islamized Space Autonomy in Indonesia, Kars Journal of Social and Islamic Culture, 249-283.
Asrori, A. (2015) Radikalisme Di Indonesia: Antara Historisitas Dan Antropisitas. Kalam: Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam. (2), 253-268. 5.
Hafid, W. (2020) Geneologi Radikalisme Di Indonesia (Melacak Akar Sejarah Gerakan Radikal). Al-Tafaqquh: Journal of Islamic Law, Fakultas Agama Islam UMI 1(1). 31-46.
Hanafi, H. (2000). Islam in the Modern World: Tradition, Revolution and Culture. Dar Kebaa Bookshop. Cairo.
Hasani, I. & Naipospos, B. T. (2010). Radikalisme Agama di Jabodetabek & Jawa Barat:Implikasinya terhadap Jaminan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan. Pustaka Masyarakat, Jakarta.
Kartodirdjo, S. (1985). Ratu Adil. Sinar Harapan, Jakarta.
Khammami, Z. (2002). Islam Radikal, Pergulatan Ormas-Ormas Islam Garis Keras di Indonesia. Teraju. Jakarta.
Masduqi, I. (2013) Deradikalisasi Pendidikan Islam Berbasis Khazanah Pesantren. Jurnal Pendidikan Islam 2(1). 1-20.
Rubaidi, A. (2007). Radikalisme Islam, Nahdatul Ulama Masa depan Moderatisme Islam di Indonesia. Logung Pustaka.
Turmudi, E. (2005). Islam dan Radikalisme di Indonesia, Jakarta:LIPI Press.