Fenomena DPRD DKI

Immanuel Kant pernah menyindir, ada dua watak binatang terselip disetiap politikus yaitu merpati dan ular. Politisi yang memiliki watak merpati menunjukan sikap lembut dan penuh kemuliaan dalam memperjuangkan idealisme. Tetapi pada lain sisi politikus juga memilki watak ular yang licik dan jahat serta selalu berupaya memangsa merpati (Yunus, 2014).

Berubahnya UUD 1945 menjadi UUD amandemen 2002 berhasil menjadikan negara Indonesia menjadi negara parlementer dari awalnya presidensial. Untuk mendapatkan kekuasaan di negara Indonesia mulai dari Bupati-Walikota, Gubernur, birokrat professional bahkan Presiden harus melalui partai politik yang ada. (Wijaya, 2014) mengatakan tresshold 20% untuk pemilihan calon presiden adalah ciri parlementer, bahwa pemilihan anggota parlemen terlebih dahulu setelah itu dilanjutkan dengan mengendalikan dan menentukan calon presiden jika suara 20% minimal, jika tidak wajib bergabung dengan partai lain. Sistem tresshold ini termaktub pada putusan Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008, bahwa MK menyatakan pengaturan ambang batas adalah open legal policy, yang kemudian dikuatkan kembali dalam Putusan Nomor 53/PUU-XV/2017, (Ghoffar, 2018). Sistem ini akan menjadikan Indonesia menjadi negara yang transaksional dengan dagangannya berupa kekuasaan melalui kepala daerah maupun profesional di pemerintahan. Tingginya tingkat ketergantungan presiden terhadap parlemen yang merupakan ciri dari pemerintahan parlementer sehingga corak sistem pemerintahan kita presidensial yang berkarakter parlementer atau presindensial banci (Izzati, 2016).

Dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dinyatakan bahwa DPRD kabupaten/kota terdiri atas anggota partai politik peserta pemilihan umum yang dipilih melalui pemilihan umum. DPRD kabupaten/kota merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah kabupaten atau kota yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah kabupaten atau kota. Anggota DPRD kabupaten atau kota adalah pejabat daerah kabupaten atau kota. UU ini menjadikan pemerintah daerah dapat menyelenggarakan urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip memiliki otonomi seluas-luasnya sesuai dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Polemik UU tersebut terjadi dalam pembahasan kewenangan dan kekuasaan daerah, terlebih terkait dengan pembahasan anggaran RKT maupun APBD wilayah. Sebagai contoh polemik yang sedang terjadi dilansir Kompas.com perbandingan anggaran pembangunan puskesmas untuk dinas Kesehatan Pemprov DKI Jakarta tahun 2021 hanya sebesar Rp 107,6 miliar, sementara Rancangan Anggaran RKT 2021 untuk Anggota Dewan besarannya mencapai Rp 888 miliar untuk 106 anggota. Tidak hanya itu, anggaran pembangunan sekolah baru di Dinas Pendidikan Pemprov DKI Jakarta juga hanya di angka Rp 3,8 miliar saja, berbanding jauh dengan dana reses dari kumulatif anggota DPRD DKI. Fenomena lain lagi dari pembahasan anggaran adalah terkait usulan kenaikan gaji dan tunjangan anggota DPRD DKI Jakarta terjadi ditengah kemerosotan ekonomi akibat Pandemi Covid-19. Kenaikan gaji tersebut tertuang dalam RKT 2021 mencapai Rp 888 miliar untuk 106 anggota DPRD DKI Jakarta.

Ditengah kondisi ekonomi rakyat yang terpuruk akibat COVID-19 dan banyaknya angka PHK di propinsi DKI Jakarta, ternyata DPRD DKI berencana menaikkan anggaran anggota dewan hingga 6 kali lipat. Hal itu terungkap dalam rancangan anggaran RKT yang terbagi anggaran untuk beberapa kategori, yaitu pendapatan langsung, pendapatan tidak langsung (1) dan (2) serta kegiatan sosialisasi dan reses dengan total anggaran per anggota dewan ditetapkan sebsar Rp8.383.791.000 pada 2021. Dengan demikian secara keseluruhan dari 106 anggota, anggaran yang akan dihabiskan dalam satu tahun Rp888.681.000.000. Ombdusman Jakarta Raya menilai pembahasan rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) Provinsi DKI Jakarta Tahun 2021 tidak transparan. Padahal, transparansi merupakan salah satu asas penting dalam pengelolaan uang rakyat agar efektif dan efisien.

Fenomena lain yang mencuri perhatian kita adalah aksi walkout fraksi DPRD DKI pada tanggal 14 Desember 2020 saat rapat paripurna DPRD terkait pembacaan perubahan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi (RDTR-PZ), hal ini terjadi saat PSI menyampaikan pandangan umumnya terhadap Raperda tersebut. Fraksi lain yang melakukan walkout menganggap PSI melenceng dari kesepakatan bersama keputusan Raperda tersebut, apa yang sudah disepakati tidak diakui oleh PSI. Pemicu lain dari aksi walkout fraksi DPRD DKI tersebut dilansir dari Kompas.com dipicu oleh sebab sebelumnya, Fraksi PSI menyetujui rancangan Rencana Kerja Tahunan (RKT) DPRD DKI yang memuat kenaikan gaji dan tunjangan yang dibantah oleh DPW PSI, sementara fraksi lain menganggap PSI ikut membahas RKT yang sudah disepakati.

Para anggota anggota DPRD sepertinya sudah kebal dengan kritikan dan pendapat kritis berbagai pihak kinerja yang disorot serta tingkah polah para anggotanya. Proses kognitif mereka yang menghasilkan perasaan dan pengaitan secara perilaku rasional berdasarkan nilai moral etik atau sistem nilai sosial, sepertinya sudah tidak terlihat lagi dalam keseharian tugas kerja mereka. Polemik kejadian walkout saat sidang paripurna sangat menggangu dan membuat warga Jakarta menjadi geram, belum lagi permasalahan pembahasan biaya RKT dan tunjangan berupa kunjungan kerja keluar kota, padahal jika ditelisik untuk tunjangan luar kota dari Jakarta tidak banyak yang dapat diambil sebagai perbandingan. Kinerja anggota sebelumnya juga disorot dan dikritisi masyarakat, karena dinilai lebih banyak diisi dengan jalan-jalan alias plesiran daripada terjun langsung ke masyarakat yang sebenarnya. Masih banyaknya aspirasi atau keinginan warga terutama warga marginal yang belum tersampaikan dan didengar oleh anggota dewan, menjadi bukti bahwa DPRD DKI belum sepenuhnya berpihak pada “Wong cilik” namun baru menjadi tahapan petugas partai yang mengakomodir kepentingan asal partainya.

Tugas dan Wewenang Badan Kehormatan DPRD DKI

Dalam melaksanakan tugasnya Anggota Parlemen DKI dilengkapi oleh Badan Kehormatan. Badan ini dibuat sebagai instrumen untuk mendukung dan menciptakan pemerintahan yang baik, bersih, memiliki transparasi kinerja, demokratis dengan tingkat akuntabilitas yang tinggi (Kencana, Herawati & Gading, 2019). Rendahnya integritas anggota DPRD dan rendahnya moral anggota DPRD berdampak pada buruknya citra lembaga perwakilan. Perilaku etik anggota parlemen dikaitkan dengan pemangkuan jabatan jabatan publik dan professional yang diemban selama lima tahun, oleh karenanya Kode etik mulai dianggap penting untuk ditegakkan.

Fungsi BK-DPRD dalam bertugas diharapkan mampu (a) Memantau dan mengevaluasi disiplin dan atau kepatuhan terhadap moral, kode etik, dan atau peraturan tata tertib DPRD dalam rangka menjaga martabat, kehormatan, citra, dan mengevaluasi disiplin, etika, dan kredibilitas DPRD. (b) Meneliti dugaan pelanggaran yang dilakukan anggota DPRD terhadap tata tertib dan/atau kode etik DPRD. (c) Melakukan penyelidikan, verifikasi, dan klarifikasi, atas pengaduan pimpinan DPRD, anggota DPRD, dan atau masyarakat. (d) Melaporkan keputusan Badan Kehormatan atas hasil penyelidikan, verifikasi, dan klarifikasi sebagaimana diatur dalam huruf C kepada rapat paripurna. (e) Meneliti dugaan pelanggaran yang dilakukan anggota DPRD terhadap peraturan perundang undangan, Kode Etik, dan peraturan Tata Tertib DPRD.

Permasalahan Moral dan Nurani

Permasalahan moral tentu menjadi fenomena pada perilaku DPRD DKI, suara hati nurani diharapkan berfungsi untuk menahan manusia agar tidak melakukan perbuatan yang tercela (Pulungan, 2011) namun ternyata malah ditunjukan oleh dewan yang terhormat dengan melakukan perilaku yang tidak mencerminkan perwakilan rakyat. Keberadaan nurani seharusnya ada dalam posisi cukup kuat dalam diri seseorang sehingga meskipun manusia mencoba untuk mengabaikan atau menindasnya, namun suara hati nurani tetap berseru dan terdengar agar manusia tidak berbuat yang menyimpang dari prinsip-prinsip kesusilaan (Pulungan, 2011).

Anggota dewan hendaknya memiliki etika dan moral yang baik sehingga dapat dijadikan contoh bagi rakyat. Etis dan moral anggota dewan harus dikedepankan agar para anggota dewan berjalan pada jalur utama etika dan moralitas, sehingga dengannya dapat dijadikan sebagai pijakan dasar sekaligus tujuan berpolitik (Yunus, 2014). Dilansir Kompas.com, tiga masalah dasar yang jadi persoalan mendasar di perlemen yakni citra dan kepercayaan publik yang rendah, komitmen dan kinerja anggota yang kurang pantas serta permasalahan etika dan minimnya keluaran kinerja dewan.

Etika moral adalah masalah terpenting yang sedang dihadapi anggota DPRD DKI (Yunus, 2014). Menurut Thompson (2002) ada tiga pendekatan untuk mengetahui fenomena etika legislatif anggota dewan, yaitu; (1) Etika minimalis, memerintahkan larangan dengan membuat aturan obyektif internal untuk semua anggota dewan dengan melarang tindakan buruk seperti korupsi, menerima fee dan gratifikasi lainnya. Etika ini diterbitkan dengan membuat tata tertib dan regulasi di internal oleh badan kehormatan. (2) Etika fungsionalis berupa tawaran tugas bagi para anggota dewan dalam lingkup tugas dan fungsi mereka, anggota dewan wajib memahami mengapa mereka dipilih dan untuk apa mereka duduk di kursi perwakilan. Anggota dewan harus mampu menempatkan diri bahwa menjadi legislator adalah amanah, bukan pekerjaan. Jika memiliki makna bahwa amanah ini sebagai pekerjaan, maka perilakunya akan merasa sedang melakukan pekerjaan dan bekerja kepada siapa saja yang mampu membayar tinggi. Akibatnya mudah sekali terjadi konflik kepentingan pribadi seperti uang fee, korupsi, atau kegiatan lainnya yang masuk ke kantong pribadi anggota dewan (Alim, 2013). (3) Etika rasionalis, hal ini menyadarkan para legislator bahwa mereka harus bertugas pada prinsip moral yang hakiki menjalankan etika politik seperti keadilan, kebebasan, atau kebaikan bersama. Berdasarkan pendekatan etika rasionalis, maka anggota legislatif dilarang melakukan tindakan memperkaya diri dengan melawan hukum, baik atas nama kepentingan pribadi, golongan, maupun partainya. Yunus (2014) menjelaskan saat anggota DPRD DKI telah duduk dikursi parlemen, maka seharusnya atasan mereka bukan lagi partai, bukan pula petinggi partai, melainkan rakyat Jakarta dan konstituen yang diwakilkan, memang mekanisme ini sangat sulit dilaksanakan, terlebih partai mereka bernaung merupakan sumber penghasilan dan idealisme anggota DRPD.

Tinjauan Teori Moral dan Moral Credentialing

Moral berasal dari bahasa latin berarti mores yang memiliki arti tata cara dalam kehidupan, adat istiadat atau kebiasaan (Gunarsa, 2004). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 2008), moral adalah ajaran tentang baik buruk yang diterima oleh umum. Terdapat beberapa istilah yang dikaitkan dengan moral dengan arti yang sama, yaitu: akhlak, karakter, etika, budi pekerti dan susila. Menurut Daradjat (1992), perilaku moral yang baik seseorang dapat dilihat dari indikator perilaku (1) Berkata jujur berani mengungkapkan perkataan yang sesuai dengan apa yang terjadi, (2) Berbuat benar dengan melakukan perbuatan yang sesuai dengan aturan dan kaidah yang telah ditetapkan oleh masyarakat. (3) Berlaku adil, yaitu menempatkan sesuatu pada tempatnya. (4) Berani secara fisik dan mental untuk menghadapi suatu peristiwa dan membenarkan jika peristiwa tersebut tidak sesuai dengan kaidah yang berlaku dalam masyarakat.

Sedangkan menurut Abdullah, Taufik, Leeden, A.C. & Vander. (1986) moral dirtikan sebagai (1). Semangat disiplin melakukan tindakan yang konsisten dan perilaku yang dapat diandalkan, menghormati norma sosial dan arti otoritas kebebasan untuk merancang solusi untuk setiap situasi. (2) Keterikatan pada kelompok sosial dan semangat altruism dengan melakukan kegiatan sosial atau interpersonal. Tidak pernah bersikap mementingkan diri sendiri atau egois bermoral hanya karena kita adalah makhluk sosial. Dengan demikian, moralitas mengharuskan kita terikat pada atau terhubung dengan kelompok. (3) Otonomi atau penentuan nasib sendiri, merupakan otoritas tertinggi untuk mengikuti aturan masyarakat dengan memilih sendiri secara bebas.

Ada tiga hal yang mendorong terjadinya sebuah upaya fraud yang dapat mendegradasi moral anggota DPRD Cressey (1953) menyebutkan faktor tersebut berasal dari(1) pressure atau dorongan organisasi dalam hal ini partai adalah organisasi yang mampu mendorong perilaku anggota parlemen, (2) opportunity atau peluang karena lemahnya pengawasan dari BK DPRD dan ringannya hukuman atau sangsi dari organisasi, pimpinan maupun warga yang diwakilkan, tidak berfungsinya Badan Kehormatan dalam melakukan tugas dan wewenangnya sebagai alat kelengkapan untuk menjaga martabat dan kehormatan DPRD berdasarkan kode etik DPRD serta (3) rationalization atau rasionalisasi terhadap moral dan norma yang ada dilingkungan organisasi parlementer. Rasionalisasi dalam konteks parlemen adalah pembenaran perilaku anggota DPRD terhadap kebiasaan masa lalu atau budaya organisasi yang berlaku. Kondisi ini terjadi karena kurangnya integritas pribadi atau penalaran moral anggota (Rae & Subramanian, 2008). Kecenderungan untuk melakukan tindakan yang menyebabkan degradasi moral tergantung pada nilai-nilai etika serta sikap pribadi anggota DPRD (Kenyon & Tilton, 2006). Kondisi dengan bentukan kontigensi yang ada baik secara struktural organisasi dan sistem parlementer berjalan akan menjadi mediasi antara kesempatan dalam tekanan sehingga tercipta peluang seseorang merasionalisasi perilaku tersebut (Howe & Malgwi, 2006).

Rasionalisasi menjadi elemen penting dalam mencegah terjadinya perilaku tidak etis dikalangan DPRD DKI dengan cara mencari pembenaran atas tindakannya. Tindakan yang dapat dijadikan alasan bagi anggota parlemen untuk merasionalisasi tindakan tidak etis adalah bertujuan untuk membahagiakan partai, golongan dan konstituen bahkan orang dekat terutama yang menjadi tanggung jawab di organisasi. Dalih masa kerja, bakti terhadap negara, maka merasa berhak mendapatkan lebih dari apa yang didapatkan sekarang menjadi dasar kuat untuk melakukan rasionalisasi moral. Rasionalisasi atas apa yang diberikan terhadap organisasi, bahwa organisasi atau partai telah mendapatkan hasil yang sangat besar maka tidak mengapa jika anggota DPRD mengambil manfaat dari hasil pencapaian tersebut.

Kredensial moral berfungsi sebagai alat untuk membangun tindakan dan izin anggota DPRD untuk bertindak dengan cara yang secara moral buruk tanpa mendapat hukuman. (Monin & Miller, 2001) menjelaskan ketika seseorang mengantisipasi suatu tindakan yang secara moral meragukan, mereka berusaha secara strategis untuk mendapatkan kredensial moral. Kondisi ini menjadi tidak terhormat ketika seseorang  anggota parlemen memiliki sikap netral secara moral atau bahkan benar, namun buruk secara perilaku yang tidak dapat dipisahkan dari konten karakter mereka secara bersamaan. Konsep ini bukannya menjadi prasyarat untuk menuruti keinginan tidak terhormat seseorang anggota parlemen, justru kredensial moral terjadi secara bersamaan dengan perilaku buruk, dan bila digabungkan dengan strategi pengurangan disonansi perilaku yang melanggar nilai, dapat menghasilkan perisai psikologis yang sangat kuat sehingga banyak tindakan pelanggaran yang mungkin dilakukan.

 Tinjauan Groupthink

Faktor lain yang penting bagi fenomena etika moral anggota parlemen DPRD DKI adalah terdapatnya penguatan atau reinforcement (Arofah, 2019), penguatan dalam konteks fenomena ini adalah apa saja yang dapat memperkuat respon, penguatan perilaku korupsi dalam budaya organisasi terjadi dari lemahnya pengawasan yang dilakukan, penyelesaian pelanggaran secara internal dan tidak adanya proses transparansi terkait lingkup kerja anggota parlemen (Arofah, 2019). Faktor organisasi dan budaya organisasi di DPRD DKI sebagi turunan perilakunya merupakan faktor eksternal, oleh karena itu perilaku pelanggaran etika motal dapat terjadi pada suatu organisasi apabila dalam organisasi tersebut terdapat kultur atau budaya organisasi yang buruk (Putri & Nihayah, 2017).

Gejala-gejala groupthink menurut Sarwono (1999) adalah bahwa setiap kelompok memiliki (1) Penilaian berlebihan terhadap kelompoknya sendiri, (2) Ketertutupan pikiran anggota kelompok, (3) Terdapat tekanan mencapai keseragaman antar anggota kelompok, (4) Pencarian kesepakatan dalam waktu cepat. Gejala groupthink dapat terjadi pada setiap kelompok maupun didalam suatu organisasi. Groupthink memiliki dampak yang beragam terkadang menjadi suatu tindakan berdampak negatif terhadap suatu kelompok, tetapi groupthink juga dapat membawa dampak positif pada suatu kelompok. Kekompakkan kelompok dan keyakinan tinggi dalam menjaga keutuhan tidak menimbulkan hal yang negatif (Irwanti dan Muharman, 2015). Kemauan dan tekad untuk mempertahankan kesatuan dalam kelompok, serta rasa solidaritas yang tinggi dan kepercayaan diantara anggota dianggap sangat penting dan berfungsi untuk menyatukan kelompok.

Groupthink jika diartikan salah atau bahkan ketika pengambilan keputusan melalui suara mayoritas memiliki moral yang buruk, maka hasil dari keputusan adalah suatu hal yang negatif atau buruk bertentangan dengan moral dan etik parlemen. Groupthink diimplementasikan untuk menunjukkan gaya berpikir pada fraksi fraksi di parlemen yang sifatnya kohesif (Irwanti & Muharman, 2015). Kelompok yang kohesif ini sering gagal untuk mempertimbangkan alternatif untuk tindakan mereka. Groupthink menunjukkan bahwa kelompok tersebut cenderung membuat keputusan yang bersifat dini Hart (1991), dan beberapa di antaranya memiliki konsekuensi yang jangka panjang dan tragis (Janis, 1971)

 Tinjauan Behaviouristik

Penyebab rendahnya moral etik DPRD DKI salah satunya dipengaruhi faktor dari luar diri atau yang kita kenal dengan faktor lingkungan. Berubahnya UUD 1945 menjadi UUD amandemen 2002 bahwa partai menjadi sentral kekuasaan adalah salah satu penguat terjadinya pelanggaran etika moral para anggota parlemen. Menurut pandangan kaum behaviourist perilaku anggota parlemen dibentuk dari fungsi lingkungannya, ketika lilngkungan di DPRD DKI menjadi pusat kekuasaan terhadap pengelolaan wilayah, administrasi dan anggaran maka kekuasaan mutlak berada di tangan DPRD maka kemungkinan untuk terjadi tindakan yang tidak sesuai dengan moral akan terjadi.

Barnett & Casper (2001) menjelaskan bahwa lingkungan sosial manusia meliputi lingkungan fisik langsung, hubungan sosial, dan lingkungan budaya yang didalamnya terdapat interaksi kelompok. Pada akhirnya kondisi ini membawa kita kepada premis power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely itu tampaknya tepat untuk menggambarkan kekuasaan pada sistem dan iklim organisasi parlementer, dalam hal ini jika kita menelaah apa yang dimaksud dengan lingkungan adalah lingkungan sosial tempat manusia beraktifitas (Ungirwalu, Awang, Maryudi & Suryanto, 2016). Perilaku terbentuk melalui conditioning yang dapat dijelaskan dengan melihat pola reward dan punishment yang didapatkan individu (Mills, 1998).

Lemah dan tidak berjalannya sistem pengawasan oleh Badan Kehormatan DPRD yang memiliki tugas Mengamati, mengevaluasi disiplin, etika dan moral para Anggota DPRD dalam rangka menjaga martabat dan kehormatan sesuai dengan Kode Etik DPRD turut menyumbang perilaku penyimpangan etika moral pada sistem parlementer. Perilaku penyimpangan kode etik pada anggota DPRD dapat dibentuk dan diubah ketika diberikan conditioning yang tepat (Irwanto, 2018) berupa penguatan terhadap perilaku dari hasil kerja yang dilakukan anggota parlemen DPRD DKI. Peran BK DPRD sebagai instrument penguat perilaku menjadi penting pada organisasi ini, kontrol sosial dari masyarakat langsung juga seharusnya dilakukan lebih kuat lagi agar anggota parlemen DKI mampu meningkatkan kinerjanya lebih baik serta menjaga etika moral dalam bernegara dan mewakili aspirasi warga Jakarta, bukan malah sebaliknya besifat feodal meminta dilayani bahkan difasilitasi dengan uang rakyat.

Proses perilaku anggota DPRD DKI sebenarnya adalah pengamalan dari teori belajar bandura (1989). Bahwa anggota DPRD dalam bekerja menjalankan amanat warga Jakarta belajar dari teman, senior atau bahkan pengkondisian lain pada satu lingkungan sosial organisasi terutama partai asal mereka. Bandura (1977) menyebutkan melalui observasi, peniruan, dan pemodelan menjadi media antara behavioris dan teori pembelajaran kognitif karena meliputi perhatian, memori, dan motivasi bagaimana anggota parlemen tersebut berperilaku. Bandura (1977) melalui teori belajar sosial menjelaskan perilaku manusia memiliki interaksi timbal balik yang berkesinambungan antara kognitif, perilaku, dan pengaruh lingkungan. Jadi secara praktis ketika anggota parlemen tersebut melakukan tindakan diluar etika moral, maka ada fungsi lingkungan yang dicontoh melalui pengamatan perilaku organisasi, sikap atasan dan hasil menilai teman, rekan kerja atau atasan bahkan bawahan juga menjadi stimulus perilaku pada institusinya.

Pada institusi parlemen jika faktor lingkungan belajar menjadi contoh dalam melakukan pelanggaran etika moral berlangsung dengan baik, maka pola dan metode pelanggaran etika moral akan terus berulang mengikuti pola sebelumnya bahkan lebih baik dalam pelaksanaannya. Lingkungan sosial itu dinamis dan berubah seiring waktu sebagai hasil dari kekuatan internal dan eksternal Barnett & Casper (2001), lingkungan sosial anggota parlemen ini juga berasal dari iklim politik yang terjadi dan berubah-ubah dengan cepat. Jadi jelas jika ditinjau dari pendekatan ini ternyata perilaku penyimpangan etik moral anggota DPRD sehingga hilang kenuraniannya bukan merupakan perilaku purposif internal yang bersifat spontan, namun perilaku ini merupakan perilaku sistematis disebabkan oleh stimulus yang tersedia pada lingkungan dan organisasi yang sifatnya akan bertahan lama dan akan menjadi lebih efektif seiring terjadinya pengulangan McDougall (Dalam Irwanto, 2018).

 

Datar Pustaka

Abdullah, Taufik, Leeden, A.C. & Vander. (1986). Durkheim dan Pengantar Sosiologi Moralitas. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

Alim, H. (2013). Merumuskan Etika Legislatif. www.suaramerdeka.com.

APA (2001). Publication manual. Washington, DC: American Psychological Association.

Arofah, N. (2019). Implementasi teori behaviorisme terhadap pembiasaan membaca asmaul husna.  Jurnal Paedagogia, 8, 169-186.

Bandura, A. (1977). Social learning theory. New York: General Learning Press.

Bandura, A. (1989). Social cognitive theory. In R. Vasta (Ed.), Annals of child development. Vol. 6. Six theories of child development (pp. 1-60). Greenwich, CT: JAI Press.

Barnett, E. & Casper, M. (2001). A definition of “social environment”.  American Journal of Public Health, 91, 247-278.

Cressey, D.R. (1953). Other Peoples’ Money, Montclair, Glencoe: Free Press.

Departemen Pendidikan Indonesia (2008). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Ghoffar, A. (2018). Problematika Presidential Threshold: Putusan Mahkamah Konstitusi dan Pengalaman di Negara Lain.  Jurnal Konstitusi,15(3). 481-501.

Gunarsa, S., D. (2004). Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Jakarta: Gunung

Mulia.

Hart, P. (1991). Irving L. Janis’ victims of groupthink, Political Psychology, 12, 465.

Howe, M. A., & Malgwi, C. A. (2006). Playing the ponies: A $5 million embezzlement case, Journal of Education for Business. 82, 27-33.

https://megapolitan.kompas.com/read/2020/12/04/17461571/anggaran-untuk-dprd-dki-2021-lebih-besar-8-kali-dibanding-pembangunan?page=all

https://megapolitan.kompas.com/read/2020/12/15/16143861/anggota-dprd-dki-walk-out-untuk-protes-psi-pengamat-rakyat-akan-menghukum?page=all.

https://nasional.kompas.com/read/2019/10/02/10323441/puan-dan-anggota-baru-dpr-punya-3-masalah-dasar-yang-perlu-dibenahi.

https://www.beritasatu.com/megapolitan/707951/ombudsman-pembahasan-rapbd-dki-tahun-2021-tidak-transparan

Irwanti, M., & Muharman D. (2015). Perspektif Baru Groupthink: Perbedaan Tingkat Pendidikan dalam Proses Pengambilan Keputusan Kelompok. Mimbar: Jurnal Sosial dan Pembangunan, 31(1). 251-260.

Irwanto (2018). Sejarah psikologi perkembangan perspektif teoretis. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Izzati, H. N. (2016). Karakteristik Sistem Parlementer Dalam Sistem Pemerintahan Di Indonesia Pasca Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, JOM Fakultas Hukum3(82). 1-14.

Janis, I. L. (1971). Groupthink. Psychology Today, 5, 43–46, 74–76.

Janis, I. L. (1982a). Groupthink. Boston: Houghton Mifflin.

Kencana, G. S., Herawati, R., & Gading, S. A. (2019). Pelaksanaan Tugas Dan Wewenang Badan Kehormatan DPRD DKI Jakarta Dalam Penegakkan Kode Etik. Diponegoro Law Journal, 8(2), 1198-1212.

Kenyon, W. and Tilton, P. D. (2006). Potential red flags and fraud detection techniques: A Guide to Forensic Accounting Investigation, First Edition, John Wiley & Sons, Inc, New Jersey

Mills, J. A. (1998). Control: A History of Behavioral Psychology. New York: New York University Press.

Monin, B. & Miller, D. T. (2017). Moral credentials and the expression of prejudice. Journal of Abnormal and Social Psychology, 81, 289-300.

Pulungan, S. (2001). Membangun Moralitas Melalui Pendidikan Agama. Jurnal Al-hikmah, 8(1).9-24.

Putri, D. A., & Nihayah, Z. (2001). The effect of moral integrity, lifestyle and organizational culture on anti-corruption intention. Journal of Psychology, 22, 33–4.

Rae, K., & Subramaniam, N. (2008), Quality of internal control procedures: Antecedents and moderating effect on organisational justice and employee fraud. Managerial Auditing Journal, 23(2), 104-124.

Sarwono, S., W. (1999). Psikologi sosial : psikologi kelompok dan psikologi terapan. Jakarta: Balai Pustaka.

Thompson, D. (2002). Etika Politik Pejabat Negara. Jakarta; Yayasan obor Indonesia.

Ungirwalu, A., Awang, S. A., Maryudi, A., & Suryanto, P. (2016). Pengelolaan adaptif pemanfaatan buah hitam (Haplolobus Monticola Blumea) etnis wandamen-papua. Jurnal Manusia dan Lingkungan, 23, 266-275.

Wijaya, I.D.M.P. (2014). Mengukur derajat demokrasi Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden & Wakil Presiden. Jurnal IUS, 11(6). 556-571.

Yunus, N., R. (2014). Etika dan Moralitas Politik Anggota Dewan. Mizan; Jurnal Ilmu Syariah, 2(2). 255-274.