Pendahuluan

Kalau Anda pernah menulis skripsi dan sudah lulus, pasti tahu betapa menantang perjuangan meneliti dan menulis skripsi psikologi. Setelah perjuangan tersebut, beberapa berkas hasil penelitian skripsi hanya mendekam di perpustakaan, sehingga sedikit atau bahkan tidak ada orang yang membaca. Sungguh sayang sekali kalau skripsi yang sudah dibuat dengan susah payah, dipikirkan dengan sungguh-sungguh, kemudian tidak dibaca oleh masyarakat yang mungkin membutuhkan informasi hasil penelitian tersebut.

Oleh karena itu, saya mengajak mahasiswa skripsi bimbingan saya untuk menuliskan sebagian hasil penelitian skripsinya dalam artikel ringan yang mudah dipahami. Tentu saja, saya juga akan bantu membaca dan mengedit artikel ringan tersebut. Artikel dari mahasiswa bimbingan skripsi saya akan disajikan dalam rubrik: “Sekilas Skripsi”.

Artikel ini adalah hasil menulis bersama salah satu mahasiswa bimbingan skripsi saya yaitu Nikodemus Oktavianus Budiman  yang sekarang sudah S.Psi. Ia meneliti mengenai peran dyadic coping dalam hubungan stres dan subjective wellbeing pada individu yang mempersepsikan dirinya sebagai minoritas seksual. Penelitian ini spesial karena merupakan bagian dari penelitian yang lebih besar, bersama dengan rekan-rekan peneliti dari beberapa negara. Penelitian skripsi Niko ini menggunakan sebagian data yang nantinya akan dianalisa bersama-sama dengan data dari negara lain (selengkapnya lihat di: https://osf.io/x34db/). Selamat menikmati tulisan Niko! (PR)

 

Stres itu Abnormal?

Pernahkah kamu merasa stres? Cobalah bayangkan ketika dalam satu minggu kamu harus menyelesaikan pekerjaan dengan beban kerja selama 6 bulan, atau bayangkan bila kamu tidak sengaja memergoki pasangan kamu sedang bermesraan dengan orang lain, apakah kalian akan merasa tertekan dengan keadaan itu? Saya yakin hal-hal tersebut pasti akan membuat kita sangat tertekan. Pertanyaannya, apakah aneh bila kita mengalami stres? Jawabannya adalah: tidak! Menurut Selye, (dalam Johnson, 2005), Stres merupakan respons dari sesuatu kejadian yang dialami oleh seseorang ketika merasa kewalahan dalam menghadapi sesuatu. Stres merupakan respon normal yang bisa dialami oleh semua orang ketika mengalami suatu kondisi yang menekan.

 

Biang Keladi Munculnya Stres

Siapa di sini yang senang ketika mengalami stres? Saya yakin semua pasti tidak suka mengalami stres. Itu hal yang sangat wajar kok! Manusia pada umumnya lebih menyukai hal-hal yang menyenangkan dibanding hal-hal yang tidak menyenangkan. Maka dari manusia sangat membenci perasaan stres. Dari dulu sampai sekarang banyak peneliti yang melakukan penelitian untuk memahami stres, dengan harapan bahwa kita akan memahami stres dan dapat menanggulanginya. Bertahun-tahun penelitian stres dilakukan, dan akhirnya peneliti berhasil mengetahui bahwa beragam hal seperti berada di bawah tekanan, mengalami perubahan yang drastis dalam kehidupan, terlalu banyak mengkhawatirkan sesuatu, tidak memiliki kontrol dalam suatu situasi, dan juga ketidakpastian hidup dapat memicu stres dalam diri kita. Jadi jangan kaget apabila kalian merasa stres ketika dihadapkan dengan situasi-situasi tersebut. Tapi apakah kalian tahu kalau ada stres yang khas pada individu yang mengidentifikasikan dirinya sebagai minoritas gender dan seksualitas (LGBTQIA+)?

 

Stres  pada Minoritas Gender dan Seksualitas

Ternyata selain situasi-situasi yang sudah disebut, ternyata stres juga dapat disebabkan oleh status sebagai minoritas loh. Stres ini dikenal dengan nama Stres Minoritas atau dalam Bahasa Inggris disebut minority stress (Meyer, 1995). Stres ini berbeda dengan stres pada umumnya. Hal ini disebabkan karena stres minoritas merupakan stres yang sifatnya kronis dan hanya dialami oleh individu yang merupakan bagian dari grup minoritas. Stres Minoritas juga merupakan akibat dari lingkungan yang heterosexist.

 

Dua Tipe Stres Minoritas

Minoritas gender dan seksual, biasanya mengalami 2 tipe stres minoritas, meliputi stres minoritas distal dan stres minoritas proksimal. Stres minoritas distal merupakan stres yang dialami karena faktor eksternal, contohnya adalah diskriminasi di tempat kerja, pelecehan di tempat umum dan diskriminasi yang dilakukan secara terang-terangan. Stres minoritas proksimal merupakan stres yang dipicu oleh persepsi pada diri individu, contohnya adalah internalized homophobia, rasa malu dan bersalah akan diri sendiri, dan rasa takut akan penolakan karena menyandang status sebagai minoritas (Meyer, 2003).

 

Bahaya Stres Minoritas

Stres memiliki efek buruk pada kesehatan psikis dan psikologis kita. Stres dapat menegangkan otot-otot tubuh dan menyebabkan tubuh menjadi kelelahan, kelelahan ini nantinya akan memicu ledakan amarah yang besar. Stres juga terbukti dapat memicu agresi dan menurunkan motivasi individu untuk berinteraksi dengan orang lain (social withdrawal). Kemarahan, agresi dan social withdrawal sendiri dapat merugikan orang-orang di sekitar kita, baik itu pasangan, teman, ataupun keluarga, dan tentunya akan mengurangi kualitas hubungan kita dengan orang di sekitar kita.

Tidak bisa dipungkiri bahwa stres dapat mempengaruhi kehidupan dan kualitas hubungan kita dengan orang-orang di sekitar kita, padahal memiliki hubungan yang sehat itu sangat mempengaruhi tingkat kebahagiaan kita loh. Menurut hasil riset, individu yang memiliki hubungan yang tidak memuaskan cenderung memiliki permasalahan interpersonal, sosial, dan gangguan psikologis tertentu, selain itu hubungan yang tidak memuaskan juga berhubungan erat dengan gangguan dan tekanan emosi. Ketika individu merasa stres terus menerus dan mulai kewalahan, maka individu tersebut berpotensi mengidap gangguan mental.

 

Stres Minoritas Merenggut Kebahagiaan

Stres yang dipicu oleh stigma, prasangka, dan diskriminasi dapat sangat membahayakan kondisi mental dan kebahagiaan individu. Bila seseorang sering merasa tidak bahagia, biasanya tingkat well-being yang dimilikinya pun buruk. Well-being atau kesejahteraan merupakan kapasitas individu untuk memiliki hidup yang memuaskan, bahagia, dan sehat baik fisik atau psikologis. Salah satu pendekatan well-being disebut dengan subjective well-being atau kesejahteraan subjektif. Kesejahteraan subjektif mengacu kepada evaluasi kehidupan setiap individual (Diener, 2000). Evaluasi tersebut sangat bergantung pada persepsi setiap individu, misalkan bila Anda merasa hidup Anda bahagia, sehat-sentosa, dan memuaskan, maka Anda memiliki kesejahteraan subjektif yang tinggi menurut teori ini. Proses evaluasi sangat bergantung pada persepsi individual, maka sifatnya sangat subjektif, dari situlah kata subjektif berasal.

Evaluasi kehidupan bisa berbentuk evaluasi negatif atau positif, bergantung dengan pengalaman pribadi setiap individu. Terdapat 2 perspektif untuk mengevaluasi kesejahteraan subjektif, salah satunya adalah perspektif hedonik. Perspektif hedonik merajuk ke evaluasi yang berdasarkan frekuensi mood ataupun perasaan yang dialami oleh setiap individu dalam kehidupannya sehari-hari.

Bila kita menyambungkan informasi-informasi yang sudah kita dapat sejauh ini, maka kita bisa menerka bahwa dengan perspektif ini, individu yang mengalami hal-hal yang tidak mengenakkan seperti stres dapat dikatakan memiliki kesejahteraan subjektif yang rendah, yang berarti kehidupannya kurang memuaskan, kurang berbahagia, dan kurang sehat. Jadi, apakah minoritas gender dan seksual di Indonesia yang mengalami stres minoritas masih belum bisa meraih kebahagiaan layaknya individu lainnya?

 

Apakah Individu dari Kelompok Minoritas Gender dan Seksualitas Tidak Bahagia?

Hasil dari studi yang kami lakukan di pertengahan tahun 2021 menunjukkan bahwa stres minoritas berhubungan negatif dengan kesejahteraan subjektif. Semakin tinggi stres minoritas yang dialami seseorang, maka semakin rendah kesejahteraan subjektif yang ia rasakan. Kesejahteraan subjektif yang rendah  sangat berhubungan dengan tingkat depresi yang tinggi, kecemasan, dan juga kesehatan mental yang buruk. Maka dari itu, individu yang mengidentifikasikan dirinya sebagai minoritas gender dan seksual perlu waspada akan keberadaan stres minoritas. Pengetahuan mengenai stres minoritas ini penting diketahui oleh individu dalam kelompok minoritas seks dan gender agar dapat mengenali pemicu stres minoritas, sehingga dapat memikirkan cara terbaik mengelola stres tersebut.

 

Penutup

Setelah membaca artikel ini, apakah ada hal baru yang kamu pelajari mengenai stres minoritas? Yuk berbagi di kolom komentar.

 

Referensi

Diener, E. (2000). Subjective well-being: The science of happiness and a proposal for a national index. American Psychologist, 55(1), 34–43. https://doi.org/10.1037/0003-066X.55.1.34

Meyer, I. H. (1995). Minority Stress and Mental Health in Gay Men. Journal of Health and Social Behavior, 36(1), 38. https://doi.org/10.2307/2137286

Meyer, I. H. (2003). Prejudice, social stress, and mental health in lesbian, gay, and bisexual populations: Conceptual issues and research evidence. Psychological Bulletin, 129(5), 674–684. https://doi.org/10.1037/0033-2909.129.5.674

Johnson, R. M. (2005). Minority stress and the well-being of sexual minority college students viewed through the lens of a bioecological model of human development. https://doi.org/10.31274/rtd-180813-11114

 

 

Penulis: Nikodemus Oktavianus Budiman

Editor: Pingkan C. B. Rumondor