Seperti yang telah kita ketahui, manusia memiliki karakteristik yang beragam. Di dalam konteks pembelajaran, keberagaman karakteristik tersebut ternyata merupakan hal yang perlu diperhatikan. Subban (2006) mengatakan bahwa keberagaman karakteristik siswa ditemukan melalui penelitian-penelitian terbaru mengenai pembelajaran. Pada penelitian-penelitian tersebut, diketahui bahwa keberagaman karakteristik siswa dapat berupa perbedaan gaya belajar dan tipe kecerdasan (Subban, 2006). Selain itu, keberagaman lainnya yang juga perlu untuk diperhatikan adalah keberagaman budaya, latar belakang keluarga, dan lain-lain (Defitriani, 2018).

Mengapa keberagaman karakteristik siswa perlu diperhatikan oleh para guru?

Ternyata, berdasarkan penelitian mengenai cara kerja otak manusia,  diketahui bahwa pembelajaran akan berlangsung dengan baik apabila; (1) siswa ikut terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran, (2) siswa dapat mengasosiasikan informasi yang didapatkan melalui pembelajaran baru dengan informasi yang sudah mereka ketahui, dan (3) siswa diperbolehkan untuk menggabungkan informasi tersebut dengan cara yang sesuai dengan gaya belajar mereka (Subban, 2006). Sayangnya, model pembelajaran yang banyak diterapkan saat ini belum cukup memenuhi ketiga kriteria tersebut. Selama ini, pembelajaran di dalam kelas dilakukan dengan menggunakan satu kurikulum yang sama untuk seluruh siswa (one-size-fits-all curriculum). Padahal, kurikulum dengan satu model tersebut ternyata tidak dapat mencukupi kebutuhan siswa yang beragam (Tomlinson, dalam subban, 2006). Hal ini kemudian mendorong munculnya penelitian dan perkembangan mengenai model pembelajaran baru yang dinamakan Differentiated Instruction (DI).

Apa itu Differentiated Instruction (DI)?

Menurut Tomlinson (2005), Differentiated instruction merupakan sebuah filosofi dalam pembelajaran yang didasari oleh pemikiran bahwa proses pembelajaran yang paling baik akan terjadi ketika guru mampu menyesuaikan kegiatan pembelajaran berdasarkan kesiapan belajar, minat, dan profil belajar setiap siswa. Dalam hal ini, DI berperan sebagai instrumen yang memfasilitasi proses pembelajaran di antara guru dan siswa, sehingga siswa dapat berkembang dengan maksimal. Konsep DI dikembangkan berdasarkan teori pembelajaran milik Lev Vygotsky. Teori ini menekankan akan pentingnya konteks sosial-budaya di dalam proses pembelajaran (Vygotsky, dalam Miller, 2011).

Vygotsky (dalam Miller, 2011), mengatakan bahwa interaksi sosial sangat diperlukan dalam proses pembelajaran, perkembangan kognitif, dan keterampilan komunikasi siswa. Menurut Vygotsky, siswa akan mencapai level perkembangan yang aktual ketika mereka terlibat dalam perilaku sosial. Pada teori pembelajaran milik Vygotsky, terdapat sebuah konsep yang dinamakan ZPD (Zone of Proximal Development). ZPD merupakan jarak antara level perkembangan aktual siswa ketika mereka belajar secara mandiri dengan level perkembangan potensial ketika mereka dibantu oleh orang dewasa atau teman sejawat yang lebih mahir. Oleh karena itu, di dalam penerapan DI, proses pembelajaran yang timbal balik dan kolaboratif antara guru dan siswa merupakan hal yang penting.

Pada model pembelajaran DI, guru dan siswa memiliki tanggung jawab yang sama akan hasil dari proses pembelajaran (Tomlinson, dalam Subban, 2006). Guru berperan sebagai individu profesional yang sudah dilatih dalam membimbing dan memimpin siswa. Selain itu, guru memiliki tugas untuk membantu siswa dalam mencapai potensi mereka dengan menggunakan teknik pembelajaran yang tepat untuk setiap siswa. Sedangkan, siswa memiliki tugas untuk aktif menanggapi kegiatan pembelajaran yang dibimbing oleh guru. Tak hanya itu, siswa juga perlu untuk memiliki kesadaran akan kemampuan, keterampilan, dan ide-ide yang mereka miliki dalam proses pembelajaran.

Menurut Tomlinson (dalam Subban, 2006), model pembelajaran DI memiliki beberapa kelebihan. Pertama, model pembelajaran DI dapat mendorong ketertarikan siswa dalam proses pembelajaran. Hal ini disebabkan karena Informasi yang didapatkan dalam proses pembelajaran disesuaikan dengan informasi yang telah siswa miliki, sehingga mereka dapat mengasosiasikan kedua informasi tersebut dengan lebih bermakna. Kedua, model pembelajaran DI dapat mendorong adanya kelas yang inklusif dan memberikan kesempatan belajar yang sama untuk seluruh siswa. Model pembelajaran ini fokus pada kebutuhan belajar siswa secara individu, sehingga kebutuhan belajar setiap siswa menjadi seimbang dan terpenuhi.

Hal apa saja yang dapat dilakukan ketika menerapkan DI?

Menurut Joseph, Thomas, Simonette, dan Ramsook (2013), hal pertama yang harus dilakukan adalah mengumpulkan informasi mengenai setiap siswa, yaitu informasi mengenai kesiapan belajar (readiness), minat (interest), dan profil belajar (learning profile). Kesiapan belajar siswa dapat dilihat dari pengetahuan atau kemampuan awal mereka terhadap materi yang akan mereka pelajari. Selain informasi mengenai kesiapan belajar, guru juga perlu untuk mendapatkan informasi tentang hal apa saja yang diminati oleh siswa tersebut. Terakhir, guru juga perlu untuk mengetahui profil belajar siswa. Profil belajar ini terdiri dari gaya dan preferensi belajar siswa. Contohnya, apakah siswa tersebut memiliki gaya belajar auditori, visual, atau kinestetik? Apakah siswa tersebut lebih menyukai belajar di pagi, sore, atau malam hari? Dan apakah siswa tersebut lebih menyukai melakukan kegiatan pembelajaran di kelas, perpustakaan, atau di lapangan?

Setelah mendapatkan informasi mengenai siswa, langkah selanjutnya adalah merancang proses pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan setiap siswa. Menurut Tomlinson (dalam Defitriani, 2018), terdapat tiga hal yang dapat dimodifikasi dalam membuat rancangan model pembelajaran DI, yaitu isi (content), proses (process), dan produk (product).

  1. Pertama, guru dapat memodifikasi isi materi yang akan dipelajari. Contohnya, seorang guru menyesuaikan materi yang diberikan kepada setiap siswa berdasarkan kesiapan belajar mereka. Siswa yang telah mempelajari dan menguasai penjumlahan satu sampai sepuluh, akan mempelajari cara melakukan penjumlahan sebelas sampai dua puluh. Namun, siswa yang belum menguasai penjumlahan satu sampai sepuluh, akan tetap mempelajari cara melakukan penjumlahan satu sampai sepuluh.
  2. Selanjutnya, hal kedua yang dapat dimodifikasi adalah proses. Dalam hal ini, guru akan membedakan cara dalam mengeksplorasi konsep materi yang diberikan kepada siswa. Contohnya, siswa diberikan kesempatan untuk mengeksplorasi konsep materi melalui video, diskusi, atau tanya-jawab.
  3. Terakhir, hal yang juga dapat dimodifikasi oleh guru adalah produk. Produk merupakan bentuk dari hasil belajar siswa atau bentuk tugas yang diberikan kepada siswa. Contohnya, siswa diberikan kesempatan untuk memilih bentuk dari tugas mereka, yang mana dapat berbentuk tugas project atau pekerjaan rumah harian.

Secara keseluruhan, penerapan model pembelajaran DI akan berlangsung secara efektif dan optimal jika didukung penuh oleh lingkungan dimana proses belajar tersebut berlangsung (Mulroy  & Eddinger, dalam Subban, 2006). Penerapan model pembelajaran DI bukanlah hal yang mudah. Oleh karena itu, kolaborasi antara seluruh guru, staff, dan tenaga profesional sangat diperlukan dalam penerapan model pembelajaran ini.

 

 

 

REFERENSI:

Defitriani, E. (2018). Differentiated Instruction: Apa, mengapa, dan bagaimana penerapannya. PHI: Jurnal Pendidikan Matematika, 2(2), 111-120. http://dx.doi.org/10.33087/phi.v2i2.38.

Joseph, S., Thomas, M., Simonette, G., & Ramsook, L. (2013). The impact of differentiated instruction in a teacher education setting: success and challenges.International Journal of Higher Education, 2(3), 28-40. https://doi.org/10.5430/ijhe.v2n3p28.

Miller, P. H. (2011). Theories of Developmental Psychology (5th ed.). New York: Worth Publisher.

Subban, P. (2006). Differentiated instruction: A research basis. International Education Journal, 7(7), 935-947. https://files.eric.ed.gov/fulltext/EJ854351.pdf.

Tomlinson, C. A. (2005). Grading and differentiation: Paradox or good practice?. Theory into Practice, 44(3), 262-269. https://doi.org/10.1207/s15430421tip4403_11.

 

Ditulis dan diilustrasikan oleh:

Yasmin Nadia – Mahasiswa Psikologi Universitas Bina Nusantara.