Halo! Apa kabar semua? Semoga masih sehat fisik dan mental di tengah situasi pandemi ini ya!

Dalam tulisan kali ini, saya ingin berbagi pengalaman mengenai proses adaptasi yang saya lakukan sewaktu berkuliah di negeri kincir angin (Belanda) dan negeri wafel (Belgia). Peristiwa ini dimulai bertahun-tahun silam, ketika saya lulus kuliah S1 Psikologi dan berkeinginan keras untuk melanjutkan studi S2 di Eropa. Setelah daftar sana-sini, akhirnya salah satu universitas di Belanda, Tilburg University, berbaik hati untuk memberikan beasiswa kepada saya. Maka berangkatlah saya kesana. Saat itu saya berusia 23 tahun, masih muda belia cantik jelita (uhuuuk!). Saya ingat keberangkatan saya adalah hari Jumat malam dari Jakarta. Tiba disana hari Sabtu, dijemput oleh tante dan keluarganya, yang kemudian hari tersebut dihabiskan dengan unpacking koper, beberes kamar, serta berbasa-basi dengan Bahasa Inggris yang masih kaku dengan empat housemates yang berasal dari Cina, Kanada, Romania, dan Macedonia. Hari itu, saya ingat saya masih sempat makan siang dan malam bersama si Tante dan keluarganya. Saya pikir saya akan mulai mengisi kulkas dengan bahan makan esok hari. Kebetulan rumah yang kami sewa sangat dekat jaraknya dengan supermarket.  Keesokan harinya, ketika perut mulai berbunyi, berangkatlah saya bersama salah satu housemate saya ke supermarket, dan ternyata…..tutup! Kami baru sadar bahwa di Belanda (dulu ya, sekarang sudah tidak), semua toko tutup setiap hari Minggu! Maka kami pun terpaksa memesan makanan dari restauran. Okay baiklah, sekarang saya tahu bahwa kulkas harus penuh sebelum hari Minggu. Ini masih contoh penyesuaian diri yang terbilang mudah, harus bisa atur jadwal!

Salah satu contoh jadwal supermarket di Belanda yang menandakan bahwa “Minggu Tutup!”

Botol adalah sebuah solusi

Hal yang lain yang tidak kalah penting, yang juga menyangkut kemaslahatan hidup saya disana adalah tidak adanya toilet bidet (sprayer). Ini mungkin hal sepele terkait kultur. Orang-orang disana biasanya membersihkan diri setelah buang air hanya menggunakan tisu. Sedangkan saya, sebagai orang timur, membutuhkan kesegaran yang hakiki, yaitu dengan air. Apa yang saya lakukan? Setelah mencoba ini itu, saya akhirnya menemukan solusi yang tepat, yaitu botol minum yang besar dengan tutup botol spesial seperti di bawah ini, yang mampu menyemprotkan air tepat sasaran. Solved!

Contoh botol minum yang saya gunakan sebagai pengganti bidet.

 

Tidak perlu minta maaf!

Nah, selain hal-hal sepele lainnya yang menuntut saya untuk banyak belajar hal baru seperti: memasak, mencuci baju, menggunakan sepeda sebagai alat transportasi utama, mengekspresikan diri menggunakan Bahasa Inggris, makan menggunakan garpu dan pisau (bukan sendok!), membiasakan diri dengan udara musim dingin yang terkadang tidak tahu diri, dan hal-hal lainnya, saya juga menemukan beberapa hal yang ternyata spesifik bagi kultur dan nilai budaya saya. Diantara beberapa hal (e.g., memanggil orang yang lebih tua dengan nama langsung, mengatakan pendapat tanpa berbasa-basi, dll.), salah satunya adalah mengucap maaf (bukan karena bersalah, tapi karena empati ataupun karena sungkan tidak mau merepotkan). Hal ini saya sadari ketika saya melanjutkan studi S3 di Leuven, Belgia. Pada hari-hari awal menjalani kehidupan sebagai mahasiswa S3, saya sering kali meminta bantuan kolega saya untuk melakukan sesuatu atau menjelaskan sesuatu pada saya yang masih anak baru. Karena merasa sungkan, saya sering mengucapkan “maaf”, layaknya disini ketika kita bilang “maaf ya, jadi ngerepotin!” Respon mereka adalah “kamu tidak perlu meminta maaf, ini bukan salahmu!” (Wah jago amat, koleganya bisa Bahasa Indonesia?! Gak donk, ini sudah saya terjemahkan untuk tulisan ini, Munawir!). Sadar akan hal ini, saya belajar untuk tidak mengucap maaf walaupun masih suka merasa sungkan. Kemudian apa yang terjadi setelah pulang ke Indonesia, apakah sikap ini dan hal-hal yang dipelajari selama tinggal di luar, menjadi berubah?

Adaptasi di rumah

Setelah tujuh tahun hidup di perantauan, akhirnya saya pulang ke negeri tercinta. Pulang ke tempat yang saya anggap rumah. Tapi tunggu dulu, ternyata ‘pulang ke rumah’ pun juga perlu adaptasi. Tempat yang sama, saya yang berbeda. Tanpa disadari, saya memiliki kebiasaan-kebiasaan baru yang tidak semuanya sesuai dengan lingkungan tempat saya tinggal. Mulai dari hal-hal fisik seperti budaya mengantri, memisahkan sampah berdasarkan jenisnya, merapihkan perangkat makan setelah selesai makan di restauran, hingga hal-hal yang berkaitan dengan nilai-nilai masyarakat Indonesia, seperti kulo-nuwun kepada orang yang lebih tua atau memiliki jabatan lebih tinggi, mengucap maaf ketika merasa sungkan, menerapkan ‘ilmu padi’, dan sebagainya. Sulit? Bagi saya, adaptasi di ‘rumah’ sendiri lebih sulit ketimbang ketika saya berada di tempat asing. Kenapa? Karena ekspektasi (mindset) saya adalah rumah sebagai tempat yang familiar (e.g., dikelilingi oleh orang-orang yang familiar, warna kulit yang serupa, Bahasa yang sama, dll.), sehingga kemampuan adaptasi tidak lagi dibutuhkan. Ternyata tidak, kemampuan adaptasi saya masih ditantang. Memang butuh beberapa waktu, tapi hal ini bisa saya atasi.

Kenapa perlu mahir beradaptasi?

Daritadi kita bicara tentang adaptasi. Apa sih sebenarnya kemampuan beradapatasi? Adaptasi adalah salah satu kemampuan penting bagi manusia untuk memberikan respon yang sesuai ketika situasi atau lingkungannya berubah (Willkomm, 2019), atau juga dapat dikatakan bahwa adaptasi adalah kesiapan untuk menyesuaikan diri dalam menghadapi perubahan (Savickas, 1997). Biasanya kemampuan adaptasi ini berkaitan dengan komponen psikologis seperti self-efficacy, explorasi, kompetensi diri (Duffy, 2010), kontrol diri, kemampuan memberikan atensi, kepercayaan diri, dan rasa kaingintahuan (Savickas & Porfeli, 2012). Apakah semua orang punya kemampuan ini? Kemampuan beradaptasi sebenarnya kemampuan yang bisa dipelajari dan dilatih oleh setiap manusia (jika mau). Bagaimana cara? Menurut Willkomm (2019), kemampuan adaptasi ini bisa dilatih dengan empat cara: Pertama, ubah cara berpikirmu. Jangan selalu terpaku dengan apa yang biasa dilakukan. Sesuaikan dengan kondisi dan lingkungan sekitarmu. Kedua, biasakan diri untuk berani mengambil resiko. Resiko tidak selalu berarti negatif, tapi juga bisa berarti berani untuk keluar dari lingkar amanmu. Mulailah dari hal-hal kecil seperti mengganti tisu dengan botol! Ketiga, berpikiran terbuka. Latihlah dirimu untuk berpikir bahwa ada kemungkinan-kemungkinan lain yang mungkin lebih sesuai dari yang biasanya kamu lakukan. Selain diri sendiri, ajaklah orang lain juga untuk berpikiran terbuka. Keempat, menyadari bahwa ini adalah proses belajar. Seringkali perubahan yang kita lakukan belum tentu sesuai dengan kondisi yang ada. Jangan patah semangat, cari solusi baru, karena semua ini adalah bagian dari pembelajaran. Ingat, kemampuan adapatasi ini penting karena bisa memberi kita pengalaman yang lebih banyak yang akan memudahkan kita untuk meraih kesuksesan dalam hidup.

It is not the strongest of the species that survives, nor the most intelligent, it is the one that is most adaptable to change.”

(Charles Darwin).

 

References:

Duffy, R.D. (2010). Sense of control and career adaptability among undergraduate students. Journal of Career Assessment, 18, 420–430. http://dx.doi.org/10.1177/1069072710374587.

Savickas, M.L. (1997). Career adaptability: An integrative construct for life-span, life-space theory. The Career Development Quarterly, 45, 247–259. http://dx.doi.org/10.1002/j.2161–0045.1997.tb00469.x.

Savickas, M.L., & Porfeli, E.J. (2012). Career adapt-abilities scale: Construction, reliability, and measurement equivalence across 13 countries. Journal of Vocational Behavior, 80, 661–673. http://dx.doi.org/10.1016/j.jvb.2012.01.011.

Willkomm, A.C. (2019, September 18). 4 Ways to boost your adaptability skills. Drexel University Goodwin College of Professional Studies. https://drexel.edu/goodwin/professional-studies-blog/overview/2019/September/4-ways-to-boost-your-adaptability-skills/.