NALAR KATA

KATA NALAR

2021 – Januari

 

 

Kontribusi Filsafat dan Ilmu Sosial untuk Psikologi

 

Dari seorang sahabat saya mendapatkan tulisan Prof. Dr. Sarlito Wirawan Sarwono atau akrab dipanggil dengan Mas Ito yang ditulis pada tahun 2007 untuk kepentingan internal Fakultas Psikologi UI. Menarik untuk membacanya karena pada saat itu Mas Ito mengingatkan betapa berartinya matakuliah IPS seperti Sosiologi dan Antropologi, serta Filsafat. Namun situasi menjadi tidak mudah mempertahankan matakuliah-matakuliah tersebut ketika ada berbagai persoalan yang melingkupinya.

Di satu sisi perkembangan ilmu psikologi telah demikian maju di sisi lain dengan Sistem Pendidikan Nasional yang memberikan batas SKS untuk setiap Prodi membuat banyak mata kuliah dalam psikologi yang selama ini cukup eksis menjadi berkurang dan dimerger dengan mata kuliah lain. Dalam proses perampingan tersebut terjadi juga penghilangan mata kuliah tertentu bukan karena dianggap tidak relevan lagi melainkan karena berbagai faktor termasuk karena harus menyesuaikan dengan tuntutan masyarakat, perusahaan dan lembaga atau institusi sebagai user, Undang-undang dan peraturan pemerintah maupun kesepakatan dan konsensus dengan berbagai kepentingan dalam HIMPSI dan Colloquium. Penyesuaian-penyesuaian yang diupayakan cukup besar dampaknya dalam proses perombakan kurikulum dan jumlah SKS dalam Prodi Psikologi.

Sementara itu Prof. Sarlito masih berharap besar bahwa Fakultas Psikologi UI masih dapat mempertahankan apa yang ditanamkan sejak awal sebagai visi pendirian Fakultas Psikologi UI oleh Prof. Slamet Iman Santoso, yakni (1) Cross Cultural Psychology, (2) Indigenous Psychology dan (3) Urban Psychology. Menurut Prof. Sarlito, Prof. Slamet lebih senang kalau ada dosen psikologi UI jadi doktor di dalam negeri. Bagi Prof. Slamet adalah penting untuk mencanangkang bahwa kalau hendak belajar psikologi orang Indonesia maka ya harus belajar di Indonesia karena manusia harus dipelajari dalam konteks fisik dan sosio-kulturalnya masing-masing.

Hal tersebut di atas menurut Prof. Sarlito menjadi modal besar bagi Psikologi di Indonesia untuk bersaing dengan psikologi dari luar di saat berbagai gugatan terhadap anggapan universalitas psikologi Eropa dan Amerika oleh kalangan mereka sendiri. Semuanya atas dasar bahwa manusia mesti dipelajari dalam konteks fisik sosio-kulturalnya masing-masing. Bahkan APA divisi 52 didedikasikan untuk International Psychology. Sebelumnya dan berbarengan dengan hal tersebut juga banyak tokoh serta komunitas mengembangkan Cross Cultural Psychology dan Indigenous Psychology. Berkembang juga berbagai institusi seperti ICCP (International Cross Cultural Psychology) dan APsyA (Asian Psychological Association).

Tangggapan atas konteks fisik sosio-kultural inilah yang sebetulnya memberikan kekhasan psikologi di Indonesia. Dalam hal ini Filsafat, Sosiologi dan Antropologi menjadi penyokong utama untuk melahirkan beberapa disertasi yang terpandang secara kontekstual khas Indonesia seperti disertasi disebut oleh Mas Ito sebagai melegenda dari Fuad Hassan: “Kita dan Kami”. Juga disertasi dari Wilman Dahlan atau Ahmad Zubaidi yang berhasil menemukan religious coping yang tidak ditemukan dalam teori Lazarus misalnya yang menurut Mas Ito hanya mengemukakan 2 jenis coping yakni: problem solving dan emotional. Mas Ito menengarai bahwa Lazarus tidak sampai ke religous coping misalnya, karena Lazarus tidak pernah belajar antropologi. Contoh lain yang disitir oleh Mas Ito adalah disertasi, Doktor Psikologi UI, tentang “Penghakiman Massa” (studi kasus di Tangerang) yang mampu menggugurkan teori-teori Barat tentang agresivitas massa. Yang menarik, sebagaimana dikemukakan oleh Mas Ito, Zainal Abidin ini dosen Fakultas Psikologi dari UNPAD yang latar belakang S1nya adalah Filsafat. Satu contoh lagi yang diangkat oleh Mas Ito adalah Irmawati dari USU yang notabene dari etnis Jawa namun justru berhasil mengelaborasi psikologi orang Batak Toba. Hal ini dapat terjadi karena, menurut Mas Ito, Irmawati yang alumnus UI, sempat mendapatkan dasar yang cukup kuat dalam bidang ilmu-ilmu IPS tersebut.

Oleh karena itu, kiranya menarik untuk mulai menelaah ilmu-ilmu IPS (seperti Sosiologi dan Antropologi), selain Filsafat, dalam bentuk paparan berseri selanjutnya. Bukan untuk bernostalgia melainkan mencoba meraup inspirasi yang dihadirkan oleh ilmu-ilmu tersebut. Lebih baik lagi kalau kemudian sembari memaknai dan merevitasisasi kontribusi ilmu-ilmu IPS untuk psikologi.

Yosef Dedy Pradipto