Penulis: Stella MARY, Anna TAMARA, dan Jesslyn CARMENLITA – Mahasiswa Psikologi Binus (B2020)

Dengan supervisi: Farah Mutiasari DJALAL, PhD – Lecturer Specialist S3 Psychology

Pada Senin pagi, Layla bertanya pada Nesya karena tidak diajak jalan-jalan. Karena Layla berasal dari daerah dan merantau ke kota, ia merasa bahwa Nesya sombong dan tidak mau ber-teman dengannya. Layla bertanya kepada Nesya, “Nes, kok kamu sombong banget sih mentang-mentang aku dari daerah kamu ga ajak aku jalan-jalan ke Ancol, padahalkan aku ga pernah kesana” Nesya pun merasa tersinggung karena tak diajak ke Ancol. “Sombong dari mana sih Lay! kan aku ke Ancol sama keluarga ku, masa iya aku ajak kau juga, ya akunya ga enaklah. Emang aku kemana-mana harus banget apa ajak kau!” jawab Nesya yang ga mau kalah juga. Layla merasa kalau Nesya marah dengan Layla, padahal nada berbicara Nesya memang sep-erti itu dan logatnya yang agak tinggi. Dari ilustrasi ini, Layla masih merasa tersinggung dan me-rasa kalau Nesya marah dan ga menghargai pertanyaan Layla. Padahal Nesya tidak bermaksud un-tuk marah dan menyinggung Layla. Karena perbedaan bahasa dan budaya antara Nesya dan Layla, maka terjadi kesalahpahaman dalam mengartikan sebuah kalimat. Dari ilustrasi ini dapat dilihat bahwa perbedaan daerah tidak dapat menjamin bahwa orang mengerti apa tujuan dari topik yang dibicarakan.

Seperti yang kita ketahui Bahasa dan budaya merupakan dua sisi mata uang yang berbeda, tetapi hubungan keduanya tidak dapat dipisahkan. Karena bahasa merupakan cermin budaya dan   tentunya sebagai identitas diri penuturnya.  Keunikan dan ciri khas yang dimiliki setiap budaya dapat dijadikan pondasi karakter bangsa dan merupakan salah satu ciri khas yang membedakan bangsa Indonesia dengan negara lain. Indonesia terkenal dengan keragamannya baik dari suku, bu-daya, agama, dan bahasa. Menarik Ketika membaca penelitian Heider pada tahun 1977 tentang suku Minangkabau dan Jawa, Heider menemukan adanya perbedaan ekspresi emosi serta perbe-daan pelabelan emosi antara suku Minangkabau dan Jawa. Maka timbulah ketertarikan untuk melihat lebih jauh apakah emosi dasar (seperti marah, sedih, senang, dan lainnya) dimaknai dengan sama atau berbeda oleh penuturnya?

Sebelum membahas lebih lanjut, sebenarnya apa sih yang dimaksud dengan emosi? Menurut Gerrig,et al., (2015), para psikolog mendefinisikan emosi sebagai sebuah pola yang kom-pleks dan meliputi perubahan respon tubuh serta mental pada diri individu yang kerap kali disertai dengan adanya perubahan perilaku secara spesifik, perubahan perasaan dan perubahan ekspresi. Lalu jika kita sudah mengetahui definisi emosi, sebenarnya ada berapa sih jenis emosi itu sendiri? Menurut Ekman (1970), ada enam emosi yang dapat dikategorisasikan sebagai emosi dasar, yaitu emosi   yang   bersifat   universal   yang   secara   biologis bersifat bawaan. Idealnya, keenam emo-si dasar ini karena sifatnya universal, seharusnya dimaknai sama oleh semua orang. Tapi apakah demikian? Apakah semua orang Indonesia dari Sabang hingga Merauke memiliki pemaknaan yang sama mengenai enam emosi ini? Dapatkah kultur, Bahasa, dan lingkungan social yang berbeda-beda memengaruhi bagaimana seseorang memaknai emosi secara berbeda seperti yang ditemukan oleh Heider (1977)?

Setiap budaya   memiliki   regulasi   tersendiri   mengenai   emosi,  sesuai   dengan kebia-saan  dan  kepercayaan  yang ditanamkan dalam budaya tersebut. Budaya sedikit banyak turut ber-peran terhadap bagaimana individu melakukan   ekspresi   emosi  (culture   display   rules), per-sepsi emosi, serta pelabelan dan pemaknaan emosi. Inilah yang mau kita lihat. Kami bertiga melakukan penelitian untuk skripsi kami dibawah bimbingan Kak Farah, untuk melihat pemak-naan keenam emosi dasar pada enam suku Indonesia yang berbeda-beda. Adapun enam suku yang berpartisipasi dalam penelitian ini antara lain suku Batak, Jawa, Sunda, Betawi, Dayak dan Melayu. Lantas mengapa peneliti memilih 6 suku diatas? Tentunya peneliti tidak asal pilih.  Dasar awal pemilihan keenam suku ini adalah adanya stereotip yang sangat bertolak belakang antar suku-suku ini. Cita-cita Kak Farah sebenarnya adalah untuk mengambil data dari seluruh suku yang ada di Indonesia untuk diteliti dalam penelitian ini. Tapi karena keterbatasan akses dan kami hanya ber-tiga, maka untuk sementara enam suku inilah yang kami teliti.

Partisipan yang ikut serta dalam penelitian ini adalah individu yang berasal dari suku Ba-tak, Jawa, Sunda, Betawi, Dayak maupun Melayu, yang masih aktif menggunakan bahasa etnis mereka sebagai bahasa sehari-hari. Pada tahap persiapan penelitian (pilot study), sejumlah kecil partisipan dari setiap suku diminta untuk menuliskan apa yang mereka tahu tentang masing-masing emosi. Misalnya mereka diminta untuk menuliskan apa saja yang mereka ketahui tentang emosi marah. Jawaban mereka pun beragam. Kemudian kami memilih jawaban-jawaban yang pal-ing sering muncul. Jawaban-jawaban tersebut kami susun menjadi alat ukur untuk penelitian yang sebenarnya.

Dalam penelitian yang sebenarnya kami berhasil mengumpulkan sekitar 60 partisipan dari masing-masing suku. Kemudian kami meminta mereka untuk mengurutkan pernyataan mana yang menurut mereka paling menggambarkan emosi tertentu. Misalnya, untuk emosi marah, mereka diminta untuk mengurutkan pernyataan-pernyataan seperti “Adalah sebuah emosi negatif”, “Emosi yang berkaitan dengan kekesalan”, “Muncul ketika kondisi tidak sesuai harapan” dari yang menurut mereka paling penting dalam menggambarkan emosi marah, sampai yang paling tidak penting. Urutan atau ranking dari setiap suku itulah yang kami bandingkan. Hasilnya menunjukan bahwa dari enam suku yang berbeda ini tidak ditemukan perbedaan yang signifikan dalam pemak-naan pelabelan emosi dasar, yang artinya setiap suku memaknai hal yang sama untuk setiap emosi dasar. Teori Ekman (1970) benar.

Nah dari penelitian ini, apa sajakah yang menyebabkan adanya perbedaan hasil dengan penelitian Heider pada tahun 1977? Ada dua hal yang bisa kami simpulkan, yang pertama yaitu perbedaan penggunaan variabel emosi. Penelitian ini menggunakan enam emosi dasar berdasarkan teori Ekman, sedangkan penelitian Heider menggunakan 17 area emosi dengan total 44 kluster. Yang kedua adalah keterbatasan item untuk setiap jenis emosi dasar, karena penelitian kami mem-iliki keterbatasan variasi jawaban dari pilot study. Dengan segala keterbatasannya, kami menyim-pulkan bahwa hasil penilitian ini sejalan dengan teori emosi dasar Ekman, yaitu emosi dasar bersi-fat universal. Namun demikian, setiap suku tetap memiliki karakteristik dan penilaian tersendiri, walaupun tidak terlihat secara signifikan dalam perhitungan statistik. Itulah yang kesimpulan se-mentara yang bisa kami tarik dari hasil enam suku di Indonesia ini. Jika kita menggunakan suku yang lebih beragam, hasilnya akan lebih meyakinkan. Can’t wait!

REFERENSI

Ekman, P. (1970). Universal Facial Expressions of Emotions. California Mental Health Research Digest, 8(4), 151-158.

Gerrig, R. J., Zimbardo, P. G., Campbell, A. J., Cumming, S. R., & Wilkes, F. J. (2015). Psychology and Life (2nd ed.). Pearson Higher Education AU.

Heider, K. G. (2006). Landscapes of Emotion Mapping Three Cultures of Emotion in Indonesia. United Kingdom, Cambridge: Cambridge University Press.

Cover photo taken from: https://thebronxfreepress.com/masks-have-meaninlas-mascarillas-tienen-significado/