Penulis: Pretty Thiessanna MARPAUNG – Mahasiswa Psikologi Binus (B2020)

Dengan supervisi: Farah Mutiasari DJALAL, PhD – Lecturer Specialist S3 Psychology

Bagi kalian yang tidak mengenal dan menikmati kultur anime/manga atau segala sesuatu yang berbau Je-jepang-an pasti sangat asing mendengar istilah Fujoshi. “Fujoshi? Apa itu Fujoshi?” Pertanyaan ini yang selalu saya dapatkan ketika saya mengaku sebagai seorang Fujoshi kepada teman-teman yang memergoki saya saat menikmati konten Boys Love (Percintaan laki-laki dengan laki-laki). Fujoshi sendiri diartikan oleh rakyat jepang sebagai “Perempuan Busuk” atau “Perempuan Rusak”.

“Kenapa sih dibilang perempuan rusak dan busuk? Emangnya Fujoshi kebanyakan perempuan nakal yah?” Gak gitu nii/nee chan, julukan ini dibuat untuk mengejek perempuan penggemar manga Boys Love yang menceritakan percintaan sesama jenis yaitu antara laki-laki dengan laki-laki dan pemikiran Fujoshi juga dianggap “liar” oleh orang awam yang tidak dapat menikmati konten Boys Love. Padahal Fujoshi sendiri tidak jauh beda loh dengan otaku (seseorang yang sangat menyukai anime, manga, dan kultur jepang lainnya) hanya saja perbedaannya adalah seorang otaku belum tentu menyukai konten Boys Love. Dalam manga Boys Love terdapat dua karakter laki-laki yang sering disebut uke dan seme. Karakter uke menggambarkan seorang laki-laki yang submissive dan berpasangan dengan karakter seme yang menggambarkan laki-laki dominant.

Saya sebagai Fujoshi juga mengakui bahwa kebanyakan Fujoshi memang memiliki pemikiran yang “liar”, salah satu contoh yang saya temukan disalah satu akun media sosial adalah beberapa Fujoshi memiliki pandangan yang berbeda terhadap benda-benda yang mereka gunakan atau temui sehari-hari. Contohnya seperti ini:

Contoh persepsi Fujoshi terhadap benda sehari-sehari

 

Maksud gambar di atas adalah kepala charger digambarkan sebagai uke (submissive) dan kabel charger digambarkan sebagai seme (dominant). Fujoshi memiliki pandangan seperti ini dikarenakan benda tersebut memiliki posisi yang sama dengan karakter manga yang ada di dalam manga boys love dan gambar tersebut memiliki posisi yaitu ‘memasukkan-dimasukkan’. Mengapa bisa demikian?

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Phillips dan Boroditsky (2003) menemukan bahwa pada dasarnya informasi tentang gender pada objek hanya tersedia dalam bahasa (dan hanya dalam bahasa yang memiliki gender gramatikal), tidak pada fungsi atau bentuk objek itu sendiri. Misalnya, matahari dalam bahasa Jerman feminin, tetapi maskulin dalam bahasa Spanyol, dan netral dalam bahasa Rusia. Bulan memiliki bahasa feminin dalam bahasa Spanyol dan Rusia, tetapi maskulin dalam bahasa Jerman. Oleh karena itu jenis kelamin gramatikal yang ditetapkan ke nama objek tertentu sangat bervariasi di seluruh bahasa (Braine, 1987). Di Indonesia sendiri, masyarakat Indonesia tidak memiliki persepsi seme (dominant) dan uke (submissive) pada benda yang ada pada karakter boys love manga. Hal ini disebabkan, karena Bahasa Indonesia pada hakikatnya tidak mengenal pembagian bahasa berdasarkan kategori jenis kelamin atau gender. Badudu (1984:48) mengungkapkan bahwa dalam bahasa Indonesia tidak ada alat (bentuk gramatika) untuk menyatakan atau membedakan benda-benda jenis laki-laki dan perempuan. Jenis kelamin digunakan dengan penambahan kata lain, yaitu penambahan kata laki-laki dan perempuan di belakang kata, misalnya murid laki-laki. Sedangkan, untuk hewan atau tumbuhan dipakai kata jantan dan betina, misalnya kuda jantan, sapi betina, bunga jantan, bunga betina. Oleh karena itu, penyebutan benda-benda di Indonesia sendiri tidak melihat adanya benda sebagai maskulin, feminin, dominan, maupun submisif, melainkan netral.

Pertanyaannya yang muncul kemudian adalah, apakah para Fujoshi Indonesia dapat melihat dominant dan submissive pada benda layaknya karakter seme dan uke pada bacaan boys love manga? Demi menjawab pertanyaan ini, saya melakukan penelitian yang saya jadikan sebagai skripsi (Marpaung, 2020). Saya ingin mengetahui “Ada gak sih perbedaan persepsi dominansi pada benda-benda netral antara Fujoshi dan orang-orang yang bukan Fujoshi (Non-Fujoshi)?”. Selama berjalannya penelitian ini, saya dibantu juga oleh pembimbing skripsi saya, yang dikenal sebagai kak Farah untuk membuat alat ukurnya. Untuk membuat alat ukur, saya dan Beliau menentukan item-item apa saja yang dapat menggambarkan persepsi dominansi. Dalam pemilihan item, saya Beliau mencari item sesuai dengan posisi atau bentuk benda seperti besar atau kecil. Kemudian mencari gambar sepasang benda yang posisi salah satunya berada di atas dan di bawah atau memasukan dan dimasukan (lihat gambar dibawah ini). Setelah itu saya mencari komunitas Fujoshi yang masih aktif di Indonesia untuk menyebarkan link penelitian. Survey ini dibuat dalam bahasa Indonesia dan waktu pengerjaannya kurang lebih akan memakan waktu 10 menit. Dalam pertanyaan akan diberikan item yang menggambarkan dominant dan submissive, partisipan akan diminta untuk memberikan jawaban mana gambar yang lebih dominan diantara kedua objek yang ada dalam gambar. Jawaban dari partisipan akan dibandingkan menggunakan t-test antara jawaban para Fujoshi dan non-Fujoshi untuk dilihat apakah ada perbedaan persepsi.

Contoh item berupa gambar yang digunakan dalam penelitian ini.

 

Dalam penelitian ini (Marpaung, 2020), saya berhasil mendapatkan 1195 responden dan seluruh responden adalah perempuan, yang terdiri dari 593 Fujoshi  dan 602 non-Fujoshi. Para partisipan terdiri dari berbagai usia, mulai dari 13-51 tahun. Sebagian besar Fujoshi mengaku bahwa mereka telah mengidentifikasi diri mereka sebagai Fujoshi lebih dari setahun lamanya. Penasaran dengan hasilnya?

Data yang kami olah menunjukan bahwa ada perbedaan persepsi antara Fujoshi dan non-Fujoshi. Para Fujoshi memiliki persepsi dominansi terhadap benda-benda netral, dan mereka dapat membedakan dominant dan submissive, layaknya karakter uke dan seme, pada benda-benda yang seharusnya dianggap netral. Artinya, para Fujoshi menilai bahwa gambar seperti jarum dan benang, salah satu objeknya merupakan objek yang dominan, yaitu si ‘benang’. Berbeda dengan para non-Fujoshi, yang sebagian besar menjawab bahwa kedua objek ini tidak ada yang dominan. Hasil ini menunjukan bahwa para Fujoshi mampu melihat adanya persepsi dominan pada benda-benda netral berdasarkan posisi (atas-bawah) maupun peran (memasukan-dimasukan) objek tersebut. Unik ya?!

Nah, dengan adanya penelitian ini (Marpaung, 2020), saya belajar bahwa ternyata setiap kelompok manusia dapat memiliki pandangan yang ‘unik’ atau berbeda. Hal ini menarik untuk diteliti lebih lanjut karena ternyata, menjadi bagian dari sebuah kelompok, mampu membuat seseorang melihat dunia secara berbeda. Wow!

Referensi:

Badudu, J.S. (1984). Pelik-Pelik Bahasa Indonesia. Bandung: CV.Pustaka Prima.

Braine, M. (1987). What is learned in acquiring word classes – a step toward an acquisition theory. In B. MacWhinney (Ed.), Mechanisms of language acquisition. Hillsdale, NJ: Erlbaum.

Marpaung, P. T. (2020). Persepsi dominansi objek pada Fujoshi di Indonesia. (Bachelor’s thesis). Bina Nusantara University, Jakarta, Indonesia.

Phillips, Webb & Lera Boroditsky. 2003. Can quirks of grammar affect the way you think? Grammatical gender and object concepts. In Richard Alterman & David Kirsh (eds), Proceedings of the 25th Annual Meeting of the Cognitive Science Society, 928–933. Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum.

Cover photo taken from: https://www.teepublic.com/sticker/2299386-fujoshi-yaoi-anime-t-shirt