Terkait dengan topik yang paling sering dibicarakan sejak akhir tahun 2019 hingga saat tulisan ini dibuat, yaitu Covid-19 atau virus Corona, istilah social distancing juga menjadi istilah yang ramai dibicarakan dan ditulis. Walaupun istilah ini berasal dari bahasa asing (bahasa Inggris), kata social distancing pun kerap digunakan di Indonesia.

Sebenarnya istilah social distancing bukanlah istilah yang baru. Istilah ini sudah digunakan sebelumnya saat terjadi pandemic influenza di tahun 1918 (Ryan, 2008) di Philadelphia, Amerika Serikat. Bahkan penerapan social distancing ini sudah lebih dulu dilakukan pada tahun 1916 saat adanya wabah polio di kota New York (Melnick, 1996), Amerika Serikat. Istilah ini pun kerap digunakan kemudian saat adanya wabah-wabah penyakit yang melanda di dunia, misalnya saat terjadinya flu burung atau SARS di tahun 2003 lalu. Namun, sebenarnya apa sih sebenarnya arti dari social distancing itu sendiri?

Jika diartikan secara harafiah ke dalam bahasa Indonesia, social distancing adalah menjaga jarak sosial. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia atau yang dikenal sebagai WHO, social distancing adalah sebuah intervensi tanpa melibatkan obat-obatan (non-pharmaceutical) atau pencegahan penyebaran penyakit menular dengan cara mengatur jarak fisik antar sesama orang, serta usaha untuk mengurangi jumlah kesempatan dimana orang bisa berkerumun dengan orang banyak. Dengan kata lain, istilah ini digunakan untuk menjelaskan sebuah pencegahan penyakit menular dengan cara mengatur jarak agar setiap orang tidak memiliki kontak fisik yang berdekatan. Intinya adalah himbauan untuk “jangan dekat-dekat nanti ada yang tertular (entah itu penyakit atau cinta)” Eeeeeyaaaah…!

Nah, istilah social distancing ini baru-baru saja, tepatnya tanggal 20 Maret 2020 lalu, ‘direvisi’ oleh WHO menjadi  physical distancing (menjaga jarak fisik). Keputusan ini  diambil untuk mengantisipasi masyarakat agar yang di jaga jaraknya hanyalah jarak fisik, tapi bukan jaga jarak sosial. Maksudnya adalah, walaupun tidak ada kontak fisik antara sesama, tapi hubungan sosialnya tetap harus dibina. Artinya walaupun kamu tidak keluar rumah, tetapi hubungan sosial dengan teman-teman, keluarga, pacar, dan calon besan harus tetap dijaga keharmonisannya. Tapi apa benar, perubahan satu kata saja bisa mempengaruhi persepsi dan tindakan masyarakat dalam menjalankannya? Yuk kita lihat sebenarnya jika kita mendengar kata social apa yang terbesit dalam pikiran orang-orang? Begitu juga ketika kita mendengar kata physical, apa yang terlintas dalam pikiran kita? Apakah kedua kata ini memiliki asosiasi yang sama? Apa bedanya kedua kata ini bagi penutur bahasa Indonesia dan bahasa Inggris?

Penelitian yang saya lakukan bersama kolega saya di Melbourne University tentang asosiasi kata menunjukan bahwa, dalam jejaring asosiasi kata bahasa Inggris dan bahasa Indonesia, kata social dan physical memiliki jejaring asosiasi kata yang berbeda seperti yang bisa kalian lihat di bawah ini.

Asosiasi kata ‘social’ dan ‘physical’ dalam bahasa Inggris

Nah, bisa kita lihat bedanya asosiasi kata antara social dan physical. Dalam jejaring asosiasi kata social, terdapat kata people (orang), person (orang), friends (teman), talking (berbicara), mingle (bergaul), party (pesta), meeting (bertemu), fun (menyenangkan), happy (bahagia), dan kata-kata lainnya yang sebagian besar memang berhubungan dengan sosialisasi dengan orang lain. Sedangkan kata physical memiliki asosiasi dengan kata work (bekerja), pain (sakit), body (tubuh), sports (olah raga), touching (sentuhan), activity (aktivitas), attraction (ketertarikan), movement (gerakan), health (kesehatan), dan beberapa kata lainnya yang memang berhubungan dengan fisik atau ketubuhan. Bagaimana dengan bahasa Indonesia, apakah perbedaan ini juga ditemukan dalam jejaring asosiasi katanya? Mari kita lihat gambar di bawah ini.

Asosiasi kata ‘sosial’ dan ‘fisik’ dalam bahasa Indonesia

Mirip dengan jejaring bahasa Inggris, kata ‘sosial’ memiliki asosiasi dengan kata manusia, lingkungan, masyarakat, teman, lingkungan, komunikasi, dan hubungan, tetapi juga ada beberapa asosiasi kata seperti media, status, dan luas. Sedangkan kata ‘fisik’ berasosiasi dengan badan, sehat, kuat, cantik, bentuk, keadaan, dan nyata, kata-kata yang memang berkaitan juga dengan ketubuhan fisik.

Dari kedua bahasa tersebut dapat disimpulkan bahwa kata social atau ‘sosial’ berasosiasi dengan kata-kata yang erat hubungan dengan orang lain, sedangkan kata physical atau ‘fisik’ memang berkaitan dengan kata-kata yang sifatnya ketubuhan. Jadi, menurut saya, walaupun orang-orang mengerti apa yang dimaksud dengan social distancing (karena sebelum istilah ini direvisi oleh WHO, orang-orang sudah mempraktikan jaga jarak fisik), penggantian istilah menjadi physical distancing memang lebih sesuai dengan artinya, bahwa bukan jarak sosial yang dijauhkan, tapi jarak fisiklah yang perlu diperhatikan.

Kenapa jarak sosial tetap harus dijaga? Selain menjaga kesehatan fisik, kesehatan mental  juga penting. Salah satu penelitian (Aldrich & Sawada, 2015) menunjukkan bahwa ketika orang terisolasi secara fisik, tingkat kecemasan cenderung meningkat. Kontak dan dukungan sosial terbukti mampu untuk menurunkan kecemasan ini.

Intinya, yuk kita jaga kesehatan di tengah-tengah pandemi virus corona ini dengan cara tidak keluar dari rumah dan menjaga jarak fisik dengan orang lain, tanpa menghapuskan jarak sosial antar sesama. Sama seperti aku yang menulis ini di rumah, sedangkan kamu yang membaca tulisan ini di rumahmu sambil membayangkan aku. Iya kan?!

Tetap jauh di mata dekat di hati ya, manteman!

Fun fact: Di Singapore, kedua istilah ini tidak digunakan, tapi mereka menggunakan istilah safe distancing. Kalau kalian penasaran, silahkan cek asosiasi katanya di: https://smallworldofwords.org/id/project/visualize

Referensi:

Aldrich , D. P., & Sawada, Y. (2015). The physical and social determinants of mortality in the 3.11 tsunami. Social Science and Medicine, 124 (), 66-75. Doi: 10.1016/j.socscimed.2014.11.025

Melnick, J. L. (1996). Current Status of Poliovirus Infections. Clinical Microbiology Reviews. American Society for Microbiology, 9 (3), 293-300. doi:10.1128/CMR.9.3.293

Ryan, J. R. (2008). Chapter 6.3.3. Response and Containment: Lessons from the 1918 Pandemic Can Help Communities Today. Pandemic Influenza: Emergency Planning and Community Preparedness. CRC Press. pp. 123–133.

Cover photo by Evgeni Tcherkasski on Unsplash