Oleh: Dr. Esther Widhi Andangsari, M. Si., Psikolog *)

Hingga tgl 21 Maret 2020, Kompas.com melansir data terkait COVID 19 di dunia menunjukkan bahwa ratusan ribu orang terinfeksi, puluhan ribu orang berhasil sembuh, dan belasan ribu orang meninggal dunia. Bandingkan dengan yang terjadi di Indonesia hingga 20 Maret 2020. Ratusan orang terinfeksi, belasan berhasil sembuh, dan puluhan orang meninggal dunia. Bagaimana Anda berpikir mengenai data tersebut? Apakah Anda ingin mengatakan, “Wah mengerikan! Banyak betul yang meninggal”, atau Anda mengatakan, “Ternyata banyak juga ya yang sembuh”.  COVID 19 memang merupakan hal yang sangat serius karena telah menjadi pandemi, tetapi pandemi ini bisa juga dimaknai secara positif.

Dampak pandemi ini membuat pemerintah pusat maupun daerah mengeluarkan sejumlah kebijakan, seperti: anak sekolah dan mahasiswa belajar di rumah, pekerja bekerja dirumah, masyarakat juga diminta untuk beribadah di rumah, kita semua diminta untuk tidak keluar rumah alias stay at home, social distancing, dan sebagainya. Muncul beragam respon dari situasi sosial dan ekonomi belakangan ini: sulitnya mendapatkan pendapatan bagi pekerja harian, para pelajar mulai tertekan karena aktivitas hanya mengerjakan tugas dan belajar saja di rumah, ibu-ibu pekerja tidak hanya tetap bekerja di rumah tetapi juga kerepotan karena harus menemani anak belajar dijam ia juga harus Work From Home (WFH), pengusaha mengeluhkan turunnya omset, dan sebagainya.

Seperti halnya melihat gelas yang ada airnya setengah, orang bisa mengatakan “setengah kosong” atau “setengah penuh”. Mana yang menjadi pilihan Anda? Menurut Seligman, orang yang optimis akan melihat sebagai “setengah penuh”, sedangkan orang yang pesimis akan melihatnya sebagai “setengah kosong”. Demikian juga saat kita mencermati data COVID 19 dan situasi sosial-ekonomi yang ada, orang pesimis akan melihat itu sebagai “Jumlah yang meninggal kok banyak ya”, “Ini bencana juga melanda kantong dan emosi saya!”. Sementara yang optimis akan mengatakan, “Jumlah yang sembuh ternyata banyak juga!”, “Saya jadi punya banyak waktu bersama keluarga”.

Seligman (seorang professor dari University of Pennsylvania, pelopor Psikologi Positif dan mantan Presiden APA -American Psychological Association), mengatakan bahwa orang yang optimis merupakan orang yang tangguh, melihat masalah sebagai sesuatu yang sementara (temporer), dan memiliki harapan yang positif akan masa depan. Sementara orang yang pesimis merupakan orang yang tidak berpengharapan, merasa tidak berdaya dan tidak dapat melakukan apa pun terhadap masalah yang sedang dihadapinya.

Belajar dari optimistik yang dipaparkan oleh Seligman, mari berpikir bahwa pandemi ini melanda seluruh orang di dunia. Saya, Anda, dan semua orang di dunia mengalami hal yang tidak menyenangkan karena ini bencana dunia. Tetapi apakah kita merasa tetap punya harapan? Blessing in Disguise, selalu ada hal yang positif dibalik bencana yang dihadapi. Misalnya, gegara COVID 19 Anda harus lebih banyak di rumah untuk belajar dan mengerjakan tugas, pikir lagi: “Kapan lagi kesempatan semacam ini muncul? Barangkali biasanyan saya hanya sambal lalu membaca buku, belajar, dan mengerjakan tugas”. Atau Anda seorang ibu pekerja yang kerepotan WFH sekaligus mendampingi anak yang SFH (School From Home), “Kapan lagi dapat situasi seperti ini? Saya jadi semakin tahu kondisi anak sendiri terkait pendidikannya dan bagaimana saya harus berusaha untuk tetap membuat anak semangat belajar walau tidak pergi ke sekolah”. Atau Anda yang pekerja harian dan mengalami penurunan yang tajam dari pendapatan Anda, mungkin saatnya berpikir untuk melihat bahwa masih ada peluang untuk mencari nafkah dengan cara lain atau “Saya beruntung masih punya keluarga yang mendukung saya walaupun kondisi sedang susah”. Orang pesimis lebih banyak mengatakan, “This is my bad day”, sedangkan orang optimis akan mengatakan, “I’m aways lucky” bukan “This is my lucky day”.  Orang pesimis akan berpikir bahwa bencana akan merusak seluruh kehidupannya, sedangkan orang optimis akan berpikir bahwa hal positif akan selalu ada dibalik bencana atau kesulitan yang melanda.

Prinsip A-B-C dapat diterapkan dalam situasi seperti ini agar kognisi Anda terlatih untuk berpikir secara optimis. Apa itu prinsip A-B-C? Ini merupakan akronim dari A (Adversity) – B (Beliefs) – C (Consequences). Adversity dapat diartikan sebagai “kesulitan”. Bagaimana Anda berpikir mengenai kesulitan yang ada, bukan karena “peristiwanya” tetapi “apa yang dipikirkan terkait bencana yang terjadi”. Biasakan untuk menyanggah pikiran negatif yang muncul dengan mencoba memberikan tanggapan secara positif. Hal ini akan membentuk B-Beliefs atau “keyakinan” Anda. Apabila Anda memiliki keyakinan yang positif, maka berlanjut pada C-Consequences atau “respon” yang positif juga yang akan Anda lakukan. Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, Anda dapat “melihat” situasi yang bencana ini secara berbeda (A-Adversity) bahwa ini hanyalah temporer, kemudian kognisi Anda membentuk keyakinan (B-Beliefs) bahwa yakin bencana ini sebenarnya bisa ditangani, sehingga memunculkan respon (C-Consequences) yang positif, setidaknya emosi lebih positif, mengerjakan apa yang bisa dikerjakan dan tidak bersungut-sungut, dan sebagainya.

Jadi biasakanlah untuk melatih kognisi Anda memberikan tanggapan positif, meyakini hal yang positif, dan berespon secara positif pula!

 

Sumber:

Seligman, M.E. (2006). Learned Optimism. How to Change Your Mind and Your Life. USA: Random House, Inc.

 

*) Penulis adalah dosen Psikologi BINUS University sekaligus Deputy Head of Psychology Department, BINUS University.