Krisis akses terbuka (open access) yang melanda dunia penerbitan ilmiah di seluruh dunia, dan ketegangan sikap antara negara-negara Utara-Selatan (Utara: umumnya, negara-negara Barat; Selatan: Asia, Afrika, dan Amerika Latin) telah membuat Katholieke Universiteit Leuven (KU Leuven, Belgium) menyelenggarakan kegiatan Global Minds 2019 | Digital Worlds: Cultures and Glocalization, lebih khusus sub-seksi Open Access in a Global Perspective: Comparing Policies and Practices.

Dalam kesempatan itu, psikolog sosial Universitas Bina Nusantara yang juga pegiat Sains Terbuka Indonesia, Dr. Juneman Abraham, S.Psi.  diundang sebagai visiting scholarperwakilan Indonesia (negara Asia) bersama dengan perwakilan dari negara Amerika Latin (Arianna Becerill Garcia) dan Afrika (Susan Veldsman).

Dalam paparannya, Dr. Abraham pertama-tama menyampaikan sebuah analisis mengenai dominasi penerbit komersial yang membuat peran pustakawan di seluruh dunia menjadi “impoten”. Selanjutnya, dipaparkan berturut-turut tentang kebijakan akses terbuka di Indonesia. Kebijakan tersebut, khususnya Open Journal System, dipandang masih belum memiliki filosofi yang kuat dan hanya berfokus pada pembangunan faktor dampak jurnal secara kuantitatif. Juga masih ada pernyataan yang bias terhadap peninjauan-sejawat terbuka (open peer review) dari pengambil kebijakan.

Akses Terbuka di Indonesia memiliki sisi khas dalam diskusinya, yakni demokratisasi pengetahuan dan mindset dan perilaku terbuka yang memperjuangkan ‘sistem terbuka’. Lebih lanjut, Dr. Abraham memaparkan riwayat mengapa ‘sistem tertutup’ masih terawat dan bertahan hingga saat ini. Dinamika hubungan struktural antara Hasrat Internasionalisasi – Retorika vs Realitas Politik-Ekonomi Pemerintah dalam dunia keilmuan – dan situasi ‘penuh tanggungan’ pada Akademisi Indonesia merupakan sebuah story-telling yang memperjelas pemahaman.

Dr. Abraham juga memaparkan mengenai ironi kebijakan bahasa ilmiah internasional di Indonesia, kebijakan pengarsipan mandiri (self-archiving) yang masih kontroversial, serta berbagai persoalan akses terbuka pada berbagai tingkat – diantaranya ketakutan akan pencurian gagasan, penyalahgunaan data, dan isu akuntabilitas atau kebertanggung-gugatan dari akses terbuka.

Di tengah-tengah ironi dan iklim ketertutupan yang masih menghantui dunia akses terbuka di Indonesia, beberapa ‘blessings in disguise‘ patut disebutkan yakni eksisnya infrastruktur dan praktik akses terbuka pada berbagai tingkat (individual – gerakan INA-Rxiv; institusional – OneSearch, Diamond Open Access in OJS, Repositori Kelembagaan; negara – Repositori Ilmiah Nasional, Satu Data Indonesia, dan Sistem Informasi IPTEK Nasional; serta internasional – Directory of Open Access Journal/DOAJ).

Berdasarkan data DOAJ, masyarakat pengelola jurnal ilmiah di Indonesia ternyata memiliki keakraban yang sangat baik dengan DOI, Peranti lunak sumber terbuka (OJS), serta lisensi non-“all rights reserved”, yakni CC BY dan CC BY-SA. Mayoritas jurnal ilmiah Indonesia tidak mengenakan Article processing charges. Bagi jurnal yang mengenakannya dalam satuan rupiah (ada 327 jurnal), rerata APC-nya Rp 620 ribuan, dengan median Rp 400 ribuan. Sedangkan bagi jurnal yang mengenakannya dalam US Dollar, rerata APC-nya 87 USD dengan median 55 USD. Dari sisi bahasa, mayoritas menggunakan naskah penuh berbahasa Indonesia, diikuti kombinasi Inggris dan Indonesia.

Perkembangan terbaru yang semestinya memfasilitasi akses terbuka, jika tidak disimpangkan peraturan turunannya, juga diutarakan yakni adanya Undang-Undang Nomor 11 tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, yakni adanya “wajib serah dan wajib simpan atas seluruh data primer dan output riset, paling singkat selama 20 tahun, melalui sistem informasi iptek yang terintegrasi secara nasional.”

Dr. Abraham juga memberikan tanggapan Tim Sains Terbuka Indonesia atas partisipasi Indonesia dalam Program Plan-S dari negara-negara Uni Eropa. Pada prinsipnya, komunitas ilmuwan di Indonesia tidak ingin menjadi pengekor. Indonesia memiliki langkahnya sendiri dalam mengawal akses terbuka, yang sebagai salah satu negara pasca-kolonial tidak ingin terjebak dalam kolonisasi baru. Walaupun dapat mengambil inspirasi dari negara-negara Amerika Latin, disadari bahwa konteks historis dan akademis Indonesia membuat Indonesia perlu menyusun strategi khas. Mendorong sitasi terbuka, misalnya, adalah gagasan yang baik dan didukung oleh Indonesia, namun jangan sampai merugikan epistemologi orang Indonesia dengan adanya arus keterbukaan dari Utara ke Selatan berkat akses terbuka.

Dekontekstualisasi sains Indonesia yang sedang terjadi perlu disadari betul dan dekolonisasi proses dan luaran riset kita perlu diupayakan. Strategi pembiayaan (funding) – siapa, apa, dan bagaimana dibiayai – merupakan isu yang dapat ditangkap oleh Indonesia atau mengantisipasinya sebagai “ilusi” yang sedang diciptakan oleh negara-negara Utara. Misalnya, akses terbuka tidak selalu harus diasosiasikan dengan pembayaran Article Processing Charges, apalagi membayar pada penerbit komersial yang saat ini dominan sebagai pemilik jurnal-jurnal ber-prestise (baca: ber-faktor dampak/impact factor) tinggi yang dikejar juga oleh Indonesia sebagai pemburu peringkat Universitas Berkelas Dunia (versi QS dan THE).

Pada akhirnya, Dr. Abraham berpesan bahwa kita perlu menghimpun dan menetapkan nilai-nilai yang melingkupi filosofi dan kebijakan akses terbuka di Indonesia.

Sesi Paparan

Sesi Debat setelah sesi paparan

Maklumat di depan ruang dekanat

Dr. Juneman Abraham bersama Prof. Arianna Becerill Garcia