Jika ada satu hal ihwal publikasi ilmiah Indonesia yang patut dibanggakan, maka itu adalah: jumlah publikasi Indonesia dengan mode akses terbuka (open access/OA) menduduki peringkat teratas di dunia.

Kepemimpinan Indonesia ini diliput dan menjadi headline pada Nature, “Indonesia Tops Open-Access Publishing Charts“.

Artikel Nature yang ditulis oleh Richard Van Noorden baru-baru tersebut, pada 15 Mei 2019, tidak jauh berbeda nuansanya dengan hal yang pernah kami sampaikan dalam artikel berjudul “Era baru publikasi di Indonesia: Status jurnal open access di Directory of Open Access Journal (DOAJ)” yang terbit di Berkala Ilmu Perpustakaan dan Informasi, Universitas Gadjah Mada (BIP UGM).

Kami menandaskan kembali bahwa “Indonesia adalah surganya jurnal open access (OA)” (Irawan, Abraham, Multazam, Rachmi, Mulyaningsih, Viridi, Mukti, Djamal, & Puradimaja, 2018).

Sumber gambar: Sumber gambar: https://media.nature.com/w800/magazine-assets/d41586-019-01536-5/d41586-019-01536-5_16725854.jpg
Sumber gambar: Sumber gambar: https://media.nature.com/w800/magazine-assets/d41586-019-01536-5/d41586-019-01536-5_16725854.jpg

 

Adapun salah seorang promotor sains terbuka Indonesia yang juga penulis pertama dalam artikel di BIP UGM di atas, menyampaikan pendapatnya, sebagai berikut:

“Analisis itu bersumber dari data Directory of Open Access Journal – DOAJ (doaj.org). Menilik spesifikasi sumber datanya, maka jumlah publikasi OA itu adalah makalah ber-DOI yang terbit di jurnal-jurnal (baik yang terbit dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris) yang diterbitkan oleh institusi dalam negeri. Jadi ini tidak termasuk makalah yang ditulis oleh orang Indonesia tapi diterbitkan di jurnal-jurnal luar negeri.

Terlepas dari kualitas, saya menilai ini sebagai sebuah momentum, bahwa tanpa satupun industri penerbitan jurnal komersial (seperti Elsevier, Springer dan yang sejenisnya) berdiri di Indonesia, publikasi kita telah dapat terbit sebagai dokumen akses terbuka. Di luar negeri, jenis publikasi OA sudah ditengarai sebagai model bisnis alternatif sebagai penarik keuntungan bagi penerbit-penerbit baik besar atau yang diklasifikasi abal-abal. Mereka menarik biaya tinggi dari penulis. Kondisi ini membuat pemerintah Uni Eropa sampai harus menerbitkan regulasi Plan S yang salah satunya mewajibkan para pemberi dana untuk sekaligus memberikan dana APC (Article Processing Charge) bagi penelitinya agar makalahnya menjadi OA.

Regulasi Plan S di atas tentunya berlawanan dengan jumlah jurnal OA di basis data DOAJ di atas, yang bersifat free to read juga free to publish, yang mencapai lebih dari 70%. Sementara jurnal OA terbitan penerbit-penerbit prestise umumnya hanya bersifat free to read, tapi tidak free to publish (atau sering disebut sebagai Gold OA atau Hybrid OA). Elsevier sendiri, sejak terbitnya Plan S, berlomba membuat jurnal versi OA untuk setiap jurnalnya yang non-OA. Biasanya diberi label ‘X’ di belakang nama jurnalnya. Demikian pula penerbit komersial lainnya.

Kembali ke Indonesia, potensi industri jurnal yang bersifat nirlaba mestinya bisa jadi kekuatan kita. Kita tidak perlu meniru-niru model bisnis penerbit asing yang berorientasi profit yang sudah mulai ditinggalkan di luar negeri. Menerbitkan makalah secara OA, tidak harus dikaitkan dengan anggaran untuk membayar APC. Jelas peran organisasi seperti Relawan Jurnal Indonesia dan Crossref adalah yang utama, karena mereka sudah sejak lama mendorong indeksasi ke DOAJ dan pentingnya DOI (Digital Object Indentifier). Salut untuk mereka.” (Erwin FITB)

Memang benar bahwa ada jurnal Indonesia yang pernah menggunakan platform Elsevier, yakni HAYATI, meski sudah diumumkan adanya perubahan.

Adapun seluruh jurnal yang diterbitkan oleh BINUS University merupakan jurnal-jurnal dengan akses terbuka.

Selamat untuk seluruh pegiat Jurnal Akses Terbuka di Indonesia, yang menunjukkan teladan sebagai komunitas masyarakat yang terbuka, yang telah mendukung common good, mendukung pengetahuan sebagai barang publik, serta mendukung hakikat sains itu sendiri, bahwa sains itu terbuka.

Baca juga: