Mengapa kita bisa kuat berpuasa? Yuk lihat kajian psikologisnya.
Ada pertanyaan yang sering muncul saat menjalani ibadah puasa. Mengapa saat berpuasa kita bisa kuat menahan makan dan minum dari pagi hingga sore, namun pada saat tidak berpuasa kita tidak kuat menahan makan dan minum? Mengapa pada saat tidak berpuasa, tubuh terasa sangat lapar dan haus, apalagi pada jam-jam waktu makan pagi dan makan siang?
Mungkin kita penasaran, mengapa hal tersebut bisa terjadi. Ada rahasia apakah dalam ibadah puasa sehingga tubuh kita bisa menahan makan dan minum untuk waktu yang cukup lama?
Berikut akan diuraikan beberapa kajian psikologis yang dapat menyebabkan kita dapat kuat menahan makan dan minum saat kita berpuasa, yaitu niat, self-efficacy, self-control, reward. Pertama, saat berniat puasa, kita menyatakan diri bahwa pada hari ini kita akan menjalani puasa. Tubuh diberitahu bahwa dalam sehari kedepan tidak akan mendapatkan asupan makanan dan minuman. Hal tersebut kemudian direspon oleh tubuh untuk mempersiapkan diri bertahan tanpa ada asupan makanan dan minuman selama berpuasa. Niat dalam hal ini menjadi motivasi internal bagi tubuh untuk tetap bersemangat menjalani aktifitas keseharian. Sehingga tubuh masih tetap bisa bertahan. Saat berniat kita juga sudah menetapkan bahwa menahan makan dan minum hingga waktu yang telah ditentukan, yakni saat berbuka puasa diwaktu magrib tiba. Maka tubuh kita juga sudah diberitahu bahwa nanti pada saatnya akan kembali mendapatkan asupan makanan dan minuman.
Hal kedua adalah, self-efficacy. Self-efficacy adalah keyakinan akan kemampuan diri dalam menjalankan aktifitas tertentu, dalam hal ini yakin akan mampu menjalani puasa. Dalam kajian psikologis, self-efficacy terbukti berpengaruh positif pada aktifitas yang dijalani oleh individu. Misalnya guru yang memiliki self-efficacy tinggi terbukti dapat melakukan aktifitas pengajaran dengan baik (Suprayogi et.al 2017). Demikian juga pada orang yang berpuasa saat ia berniat, ia sesungguhnya mengkondisikan dirinya untuk memiliki self-efficacy yang tinggi. Ia yakin dapat menjalani ibadah puasanya, dapat menahan rasa lapar dan hausnya, sehingga ia dapat menjalani puasanya dengan baik. Self-efficacy yang tinggi akan membawa individu yang berpuasa untuk mampu menahan godaan makanan dan minuman.
Hal ketiga adalah self-control. Self-control dapat dimaknai sebagai kapasitas untuk mengubah dan mengadaptasi diri sehingga mampu menghasilkan ketepatan yang lebih baik, lebih optimal antara diri dan lingkungan. Dalam penelitian terbukti bahwa orang yang memiliki self-control yang tinggi berkolerasi positif dengan kemampuan yang lebih baik dalam penyesuaian terhadap aturan-aturan lebih baik dalam hubungan pertemanan, lebih baik dalam skill interpersonal dan lebih optimal dalam respon emosional (Tangney, et.al 2004). Dalam hal berpuasa, self-control yang dimiliki individu akan membawa individu tersebut untuk mampu menyesuaikan dirinya dengan aturan berpuasa, yakni menahan makan dan minum untuk waktu tertentu. Sehingga hal tersebut membuat individu mampu bertahan dan tidak merasakan rasa lapar dan haus sebagaimana bila ia tidak berpuasa.
Hal berikutnya adalah reward. Reward atau hadiah adalah yang akan diterima oleh orang yang berpuasa dari Tuhan berupa pahala dan keistimewaan yang akan didapatnya kelak. reward ini menjadi motivasi eksternal bagi orang yang berpuasa untuk menjalani puasanya sehingga ia mampu bertahan dari rasa lapar dan dahaga.
Jadi rasa lapar dan dahaga sebetulnya bisa dikendalikan oleh orang yang sedang berpuasa. Mari berpuasa.
Reference
Suprayogi, M. N., Valcke, M., & Godwin, R. (2017). Teachers and their implementation of differentiated instruction in the classroom. Teaching and Teacher Education, 67, 291-301.
Tangney, J. P., Baumeister, R. F., & Boone, A. L. (2004). High self‐control predicts good adjustment, less pathology, better grades, and interpersonal success. Journal of personality, 72(2), 271-324.
Comments :