Jeanete Evasavitri & Raymond Godwin

“Cerita tetap berada di hati kita saat semuanya telah lenyap”, demikianlah ungkap salah satu karakter inti dalam film The Breadwinner, sebuah film yang tema utamanya terletak pada perjuangan hidup sehari-hari di negara yang rentan konflik dan perang. Rilis pada tahun 2017, The Breadwinner merupakan film animasi garapan studio Cartoon Saloon yang menceritakan kisah gadis berumur 11 tahun dari Afganistan yang bernama Parvana dan lika-liku rintangan yang ia hadapi dalam menafkahi keluarganya selagi berusaha bertahan di negara tersebut setelah Ayahnya ditahan di penjara secara tiba-tiba. Imajinasi dan pengetahuan, yang diekspresikan melalui penceritaan kisah, merupakan elemen yang cukup signifikan dan muncul secara konsisten di film Breadwinner guna membantu memberikan ketabahan dan ketahanan pada tokoh-tokoh film dalam menghadapi berbagai kesulitan dan tantangan kondisi hidup yang sangat berat di Afganistan.

Parvana, seorang yang imajinatif, gemar bercerita pada keluarga dan teman-temannya disaat hiburan dan imajinasi dibutuhkan saat situasi sedang genting. Saat Parvana bercerita, bagian visual dan setting film menjadi berbeda dengan setting Afganistan yang sebenarnya. Bisa disebut sebagai sebuah cerita (cerita Parvana) dalam cerita (film).  Kisahnya selalu menggunakan tokoh cerita dan alur perjalanan yang sama pada tiap penceritaan, yakni anak muda bernama Sulayman dan upayanya dalam mengalahkan tokoh antagonis bernama Raja Gajah (The Elephant King).

Ia bercerita saat ia berupaya menenangkan adiknya yang menangis, ia bercerita saat ingin meringankan suasana hati temannya saat mereka berada dalam bawah tekanan, ia bercerita pada dirinya sendiri saat ia merasa takut. Ia gemar bercerita, dan cerita-ceritanya menjadi jembatan penonton pada karakterisasi tokoh dan empati terhadap Parvana di dalam film, dikarenakan alur kisahnya kerap sesuai dengan situasi yang ia sedang alami dan merefleksikan upayanya dalam mengatasi keraguan diri atau melalui situasi yang buruk.

Bukan hanya sebagai kompas moral dan jembatan antara penonton dan karakterisasi tokoh Parvana dalam film, penceritaan kisah dalam film The Breadwinner juga menjadi salah satu metode coping dalam mengatasi gejolak permasalahan psikologis yang sedang dialami. Parvana memanfaatkan cerita-ceritanya dalam melewati masa-masa sulit. Sebagaimana yang dikutip dari The Atlantic, cerita dapat menjadi titik kontrol manusia atas dunia mereka sendiri, tidak secara harfiah tetapi secara psikologis. Dengan cerita, kita dapat melihat sesuatu yang tidak ada atau sebelumnya tidak disitu, seperti makna yang tersembunyi atau baru pada sesuatu serta perspektif yang berbeda. Logika yang sama dapat diaplikasikan juga pada mereka yang mencoba mencari pelarian dan kenyamanan dari realita yang sulit diterima melalui imajinasi dan narasi sebagai sebuah bentuk dari pemecahan masalah eksistensial, dan dengan begitu dapat meraih kenyamanan psikologis tersendiri.

Tema psikologis utama dalam kisah hidup Parvana dan kisah-kisah kecilnya yang ia ceritakan ialah perjuangan, tentang bagaimana seseorang harus tetap tangguh di hadapan berbagai macam masalah dan tantangan. Tetapi terdapat tema kedua, tema yang kurang terlihat dan lebih terkesan kecil tetapi tetap memiliki signifikansi besar dalam film tersebut, yaitu duka dan proses pemulihannya.

Beberapa tahun sebelum alur film dimulai, Parvana memiliki kakak lelaki muda yang wafat secara tidak terduga. Walau tidak pernah dikatakan secara terang-terangan, keluarga Parvana pada kenyataannya belum benar-benar sembuh dari kehilangan yang mereka alami berdasarkan banyak interaksi yang terjadi di dalam film. Ibunya menolak keras untuk membicarakannya dan beberapa kali salah menyebut atau menganggap Parvana sebagai kakaknya, dan Parvana sendiri menjadi defensif ketika ditanyakan oleh temannya terkait kakak lelakinya tersebut. Alasan kematiannya itu sendiri baru terungkap pada klimaks film, di dalam kisah Parvana sendiri. Pengungkapan besarnya ialah tokoh yang selalu ia ceritakan dalam kisahnya merupakan kakaknya sendiri, yang namanya juga Sulayman, diberikan sebagai penghormatan atas kematiannya akibat ledakan granat. Terdapat rasa penyangkalan atau pemendaman dalam narasi serta proses perkabungan mereka, dan ini dapat lebih dimengerti semenjak ajal menjemput seseorang yang mereka kasihi dengan cepat dan tanpa peringatan, meninggalkan keluarga Parvana dengan minimnya emotional closure atas kepergian Sulayman.

Sebagai suatu fase yang harus dilalui semua orang, proses, metode, dan durasi tiap individu dalam berduka dapat berbeda-beda. Menurut buku Psychology of Grief, dalam berduka, banyak perilaku individu yang dapat diobservasi melalui ekspresi fisik, emosi, kognisi, serta pengalaman rohaniah dan budaya. Bagaimana Parvana memproyeksikan dukanya ke dalam cerita dapat menjadi reaksi duka melalui kognisi dan bagaimana hal tersebut adalah upayanya dalam membantu dirinya sendiri agar bisa menerima kehilangan sosok penting dalam hidupnya dengan cara mencoba merasionalisasikan pemahaman atas kehilangan tersebut melalui imajinasi. Serupa yang disampaikan Sedney, Baker, dan Gross (1994), cerita dapat menggambarkan kejadian emosional, membantu individu dan keluarga untuk mempunyai rasa kontrol atas kejadian tersebut, meredakan ketegangan emosional, serta membantu menemukan makna dari kejadian tersebut, semua dalam jalur membantu proses perkabungan.

Di klimaks film, Parvana diterjang oleh ketakutan. Sebuah perang telah dimulai di Afganistan dan banyak bom mulai berjatuhan. Ia mencoba menghilangkan rasa takutnya dengan bercerita pada dirinya sendiri. Seperti yang sebelumnya telah dikatakan, bagian ini juga berlaku sebagai eksposisi untuk penonton atas apa yang terjadi pada Sulayman, sekaligus sebagai pembersihan (catharsis) dan penutup konflik-konflik batin yang Parvana sedang alami, baik yang sedang terjadi langsung maupun hal terpendam yang ia sedang berusaha untuk sangkal. Dengan menceritakan pada dirinya sendiri mengenai apa yang terjadi saat kakaknya wafat, Parvana dapat menemukan keberanian yang ia cari. Karena gambaran perjuangan tokoh di ceritanya selalu paralel dengan gambaran perjuangan Parvana di kehidupan nyata, hal ini juga merupakan sebuah simbol bahwa ia telah menerima apa yang telah terjadi dan telah menemukan pengakhiran atau closure yang sebelumnya tidak ada.

Dengan bantuan cerita, Parvana pada akhirnya dapat mencapai titik baru dari kedewasaan diri dan berhasil melewati sebuah fase sulit, karena walaupun proses perkabungannya masih berlangsung, Parvana berhasil memiliki rasa damai atas kematian kakaknya. Begitu juga dengan duka. Walau dengan semua kesedihan dan perasaan putus asa yang ada dalam proses berduka, bagi seseorang untuk pulih pasca kematian orang terdekat sangatlah mungkin. Masalah utama terletak pada perjalanannya, mengenai bagaimana mereka dapat menerima dan mengatasi hantaman yang sedang atau sudah terjadi, dan dengan begitu dapat melanjutkan hidupnya ke fase baru yang lebih sehat dan fungsional. Mencoba mengembangkan imajinasi dan membuat narasi dari sebuah kejadian buruk mungkin terlihat sebagai upaya pengingat atas betapa tidak menyenangkannya kejadian tersebut. Tetapi, atas pesan yang terlintas dalam film Breadwinner serta berdasarkan sumber jurnal seperti Narratives and Story Telling in Coping with Grief and Bereavement, cerita dan penceritaan kisah dapat turut berperan dalam membantu individu berdamai dengan kejadian buruk dan dampaknya pada keadaan psikologis individu tersebut dengan menerima dan merekonstruksi apa yang telah terjadi secara sehat dalam sebuah narasi.

 

Referensi:

Ellis, D. (2017). The Breadwinner Study Guide [PDF]. Cartoon Saloon Ltd.
Delistraty, C. C. (2014, November 03). The Psychological Comforts of Storytelling. Diakses pada 09 November 2018, dari https://www.theatlantic.com/health/archive/2014/11/the-psychological-comforts-of-storytelling/381964/
Aguilar, C. (2017, November 21). From Kabul to Kilkenny: How Nora Twomey’s Empowering The Breadwinner Utilizes The Universality Of Storytelling. Diakses pada 09 November 2018, dari https://www.moviemaker.com/archives/moviemaking/directing/kabul-kilkenny-nora-twomey-on-cartoon-saloons-empowering-the-breadwinner/
Bosticco, C., & Thompson, T. L. (2005). Narratives and Story Telling in Coping with Grief and Bereavement. OMEGA – Journal of Death and Dying, 51(1), 1-16. doi:10.2190/8tnx-leby-5ejy-b0h6
Gross, R. D. (2018). The psychology of grief. Abingdon, Oxon: Routledge, an imprint of the Taylor & Francis Group.

Gambar:

https://medium.com/@Penseur/the-breadwinner-a-moving-message-in-search-of-an-audience-willing-to-be-moved-d328c13d234c
https://www.awn.com/animationworld/all-details-bringing-story-world-sequences-breadwinner-life