Siapa sih yang tidak pernah merasakan punya power atau perasaan berkuasa? Baik perasaan berkuasa sebagai orangtua, sebagai atasan, sebagai pacar, atau sebagai teman. Biasanya power digunakan oleh seseorang (yang punya kuasa) untuk membuat orang lain (yang kurang berkuasa) bertindak sesuai dengan yang ia (yang punya kuasa) inginkan. Namun, bagaimana seseorang bisa nurut dengan orang lain yang dianggap berkuasa? Nah ini tergantung dari bagaimana seseorang mempersepsikan orang tertentu sebagai yang punya kuasa (Bickman, 1974). Dengan kata lain, si A akan nurut dengan si B jika A menganggap atau menilai B punya kuasa, padahal belum tentu pada kenyataannya B memiliki status yang lebih tinggi dari A.

Ternyata eh ternyata, cara seseorang menilai bahwa orang lain memiliki kuasa tak hanya dari jabatan atau peran yang dimiliki orang tersebut, tapi ada penelitian yang menemukan bahwa setiap orang menilai tinggi rendahnya kekuasaan orang lain berdasarkan perilaku non-verbalnya (Carney, Hall, & LeBeau, 2005)! Sedaaaap!

Penelitian Carney, Hall, dan LeBeau (2005) menemukan bahwa orang yang merasa memiliki kekuasaan (kenapa saya tulis “merasa” karena belum tentu orang dengan jabatan tinggi merasa memiliki kekuasaan, begitu pula sebaliknya) akan menunjukan perilaku non-verbal tertentu, seperti posisi tubuh yang tegak dan terbuka, menatap lawan bicaranya ketika berbicara, sikapnya terlihat beribawa, memiliki ekspresi wajah yang meyakinkan, bicaranya lancar dan tidak sendat-sendat. Inilah yang disebut sebagai perilaku non-verbal atau dikenal sebagai bahasa tubuh.

Perilaku non-verbal sangat terkait dengan emosi atau perasaan yang dirasakan seseorang yang kemudian ditampilkan bukan melalui perkataan (i.e., verbal), tetapi melalui perilaku atau bahasa tubuh. Biasanya ditunjukan dengan sikap, mimik wajah, bahkan nada (pitch) suara. Misalnya ketika kita sedang marah, pupil mata kita cenderung membesar, dahi mengkerut, dan nada suara meninggi. Para ahli non-verbal biasanya dapat membaca emosi yang dirasakan seseorang melalui perilaku non-verbal ini (pembimbing thesis saya adalah satu ahli pembaca non-verbal khususnya dalam bidang berbohong [deception], jadi saya tidak bisa berbohong dihadapannya!). Jika kalian pernah melihat serial TV Lie to me, itulah yang dipelajari oleh para ahli embodied emotion ini.

Seperti yang saya katakan, jika emosi bisa membuat kita menunjukan bahasa tubuh tertentu, sebaliknya, ternyata beberapa penelitian menunjukkan bahwa perilaku tertentu dapat dilakukan  untuk memunculkan emosi tertentu. Contohnya adalah salah satu hasil penelitian klasik terkemuka dari Strack, Martin, dan Stepper (1988) tentang bagaimana orang bisa merasakan emosi positif (e.g., bahagia) dengan cara menggigit pensil dengan gigi (layaknya wajah orang yang sedang tersenyum lebar) dan emosi negatif (e.g., sedih) dengan menahan pensil di bawah bibir (layaknya wajah orang cemberut). Penelitian lainnya dari Bargh, Chen, dan Burrows (1996) menemukan bahwa partisipan yang diperlihatkan sejumlah kata yang terkait dengan orang tua (e.g., pensiun, khawatir, tua, kerutan wajah, dll.) berjalan lebih lambat saat keluar dari ruangan eksperimen dibandingkan dengan partisipan dari kelompok kontrol.

Ilustrasi bahwa bahasa tubuh dapat mempengaruhi emosi yang ingin kita rasakan

 

Terkait dengan perasaan memiliki kekuasaan (feeling of power), terbukti bahwa untuk memunculkan perasaan ini, beberapa perilaku dan bahasa tubuh dapat dilakukan. Beberapa penelitian menunjukan bahwa ciri-ciri orang yang dianggap memiliki kekuasaan biasanya menunjukan beberapa perilaku non-verbal seperti menurunkan kedua alis (Keating et al., 1981), nada suara yang rendah (Puts, Hodges, Cárdenas, & Gauli, 2007), melebarkan gestur tubuhnya (Huang, Galinski, Gruenfeld, & Guillory, 2010), berbicara lebih banyak, lebih berani untuk menyela pembicaraan (Leffler, Gillespie, & Conaty, 1982), dan sebagainya. Terbukti dalam beberapa penelitian bahwa partisipan yang diminta untuk melakukan perilaku non-verbal tersebut bisa merasakan power!

Seperti penelitian yang dilakukan oleh beberapa peneliti menemukan bahwa partisipan yang diminta untuk melebarkan dan membuka postur tubuhnya (Carney, Cuddy, & Yap 2010; Huang et al., 2010), menurunkan nada suaranya (Puts, et al., 2007; Stel, van Dijk, Smith, van Dijk, & Djalal, 2012), dan mengepalkan tangannya (Schubert & Koole, 2009) merasakan power lebih daripada partisipan yang diminta untuk melakukan sebaliknya.

Jadi, take home message dari tulisan ini adalah pengetahuan ini bisa kita gunakan untuk mengatasi masalah sehari-hari dimana dalam situasi tertentu kita diharuskan untuk lebih percaya diri dan dominan namun kita malah merasa inferior. Misalnya saat kita diminta untuk memberikan presentasi dihadapan orang banyak. Berdasarkan pengalaman pribadi, saya sering merasa gugup sebelum memulai. Kemudian yang saya lakukan adalah saya mencoba untuk tidak melipat kedua tangan saya, namun mencoba membuat gestur tubuh terbuka, lalu merendahkan nada suara (voice pitch) saya, serta memberanikan diri untuk menatap mata para pendengar saya. Alhasil, saya merasa lebih dominan dan percaya diri. Saya sudah mencobanya dan ini berhasil dalam mengatasi rasa gugup saya! I’ve got the power!

Dan ingat, bahkan jika kita berbohong pun, tanpa kontrol, tubuh kita mampu memberikan signal mengenai apa yang sebenarnya kita rasakan. Selamat mencoba!

References

Bargh, J. A., Chen, M., & Burrows, L. (1996). Automaticity of social behavior: Direct effects of trait construct and stereotype activation on action. Journal of Personality and Social Psychology, 71(2), 230-244. doi:10.1037/0022-3514.71.2.230

Bickman, L. (1974). The social power of a uniform. Journal of Applied Social Psychology, 4(1), 47-61. doi: 10.1111/j.1559-1816.1974.tb02599.x

Carney, D., Cuddy, A. J. C., & Yap, A. (2010). Power posing: Brief nonverbal displays affect neuroendocrine levels and risk tolerance. Psychological Science, 21(10), 1-6. doi: 10.1177/0956797610383437

Carney, D. R., Hall, J. A., & Smith LeBeau, L. (2005). Beliefs about the nonverbal expression of social power. Journal of Nonverbal Behavior, 29(2), 106–123. doi: 10.1007/s10919-005-2743-z

Huang, L., Galinsky, A. D., Gruenfeld, D. H., & Guillory, L. E. (2010). Powerful Postures vs. Powerful Roles: Which is the Proximate Correlate of Thought and Behavior? Psychological Science, 22 (1), 95-102. doi: 10.1177/0956797610391912

Keating, C. F., Mazur, A, Segall, M. H., Cysneiros, P. G., Divale, W. T., Kilbride, J. E., Komin, S., Leahy, P., Thurman, B., & Wirsing, R. (1981). Culture and the perception of social dominance from facial expression. Journal of Personality and Social Psychology, 40(4), 615–626. doi: 10.1037/0022-3514.40.4.615

Leffler, A., Gillespie, D.L., & Conaty, J.C. (1982). The effects of status differentiation on nonverbal behavior. Social Psychology Quarterly, 45(3), 153–161. doi: 10.2307/3033648

Puts, D. A., Hodges, C. R., Cardenas, R. A., & Gaulin, S. J. C. (2007). Men’s voices as dominance signals: Vocal fundamental and formant frequencies influence dominance attributions among men. Evolution and Human Behavior, 28(5), 340–344. doi: 10.1016/j.evolhumbehav.2007.05.002

Schubert, T. W., & Koole, S. L. (2009). The embodied self: Making a fist enhances men’s power-related self-conceptions. Journal of Experimental Social Psychology, 45(4), 828–834. doi: 10.1016/j.jesp.2009.02.003

Stel, M., Van Dijk, E., Smith, P. K., Van Dijk., W., & Djalal, F. M. (2011). Lowering the Pitch of Your Voice Makes You Feel More Powerful and Think More Abstractly. Social Psychological and Personality Science, 3(4), 497 – 502. doi: 10.1177/1948550611427610

Strack, F., Martin, L. L., & Stepper, S. (1988). Inhibiting and facilitating conditions of the human smile: A nonobtrusive test of the facial feedback hypothesis. Journal of Personality and Social Psychology, 54(5), 768-777. doi: 10.1037/0022-3514.54.5.768