Kalau kamu udah baca posting tentang Hubungan Interpersonal dan Kematian, pasti kamu udah tahu bahwa status hubungan itu penting, tapi gak cukup untuk memberi dampak positif pada kesehatan. Nah, bentuk hubungan antar manusia yang berperan “menengahi” kaitan antara status hubungan (integrasi sosial) dengan kesehatan adalah: dukungan sosial (Atkins et al, 1991; DiMatteo, 2004).

Oke, benda apa lagi itu? Dukungan sosial bisa didefinisikan sebagai informasi yang membuat seseorang meyakini bahwa ia dipedulikan, disayangi, dihargai dan termasuk anggota suatu jaringan yang memiliki beberapa kewajiban timbal balik (Cobb, 1976). Dukungan sosial juga bisa dilihat sebagai kegiatan sehari-hari yang dilakukan berasama dalam ikatan keluarga dan pertemanan (Vaux, 1988). Terdapat dua jenis dukungan sosial, ditinjau dari cara pengukurannya, yaitu dukungan sosial struktrual dan fungsional.



Wait! Gimana cara ngukur dukungan sosial? Pakai alat apa, gak mungkin diukur pake penggaris dong ya?

Dukungan sosial struktural diukur dengan ukuran jejaring sosial yang udah dijelasin di posting sebelumnya. Masih inget kan tentang analisa Game of Thrones? Nah itu! Sementara dukungan sosial fungsional diukur dengan sejauh mana kebutuhan psikologis dan tujuan seseorang dipenuhi oleh jejaring sosialnya (Berscheid & Regan, 2005). Jenis dukungan sosial fungsional yang sering digunakan ialah dukungan emosional seperti ekspresi yang menenangkan atau membuat seseorang merasa berharga; dukungan appraisal, misalnya memberikan nasihat, informasi dan panduan; serta dukungan instrumental, dalam bentuk materi seperti uang (Berscheid & Reis, 1998). Contohnya, kalau pasangan kamu menunjukkan ekspresi yang membuat tenang waktu kamu sedang stres, berarti dia sedang memberikan dukungan emosional untuk kamu.

Aspek penting lainnya dari dukungan sosial ialah perceived support, yaitu persepsi mengenai dukungan yang diterima. Perceived support tidak berhubungan dengan enacted support atau dukungan yang diberikan secara aktual oleh sang pemberi dukungan (Cutrona, 1990). Artinya, meskipun seseorang merasa telah memberi dukungan, belum tentu si penerima merasa didukung. Faktor yang mempengaruhi perceived support antara lain ialah atribusi mengenai perilaku pasangan (atribusi: pikiran mengenai alasan perilaku tersebut, apakah perilaku tersebut dilakukan secara sukarela dan dilandasi oleh motif yang tidak egois), mood, dan kepuasan pernikahan (Fincham & Bradburry, 1990; Cutrona & Suhr, 1994). Oleh karena itu, untuk dapat memahami proses dukungan sosial, maka perlu memperjelas peran hubungan personal dalam pemberian, penerimaan dan evaluasi dari dukungan sosial (Sarason, Sarason, Gurung, 2001). Seperti yang dilakukan Cutrona (1996) dengan mendefinisikan dukungan sosial sebagai perilaku yang mengkomunikasikan rasa peduli, memvalidasi keberhargaan diri, perasaan, dan perilaku orang lain; atau memfasilitasi cara mengatasi masalah yang adaptif melalui penyediaan informasi, bantuan, atau sumberdaya lainnya (Cutrona, 1996). Definisi dari Cutrona tersebut memperjelas kaitan antara dukungan yang diberikan atau diterima dengan konsep lainnya seperti rasa percaya, cinta dan komitmen (Berscheid & Regan, 2005).

Oke, kalau gitu, gimana hubungannya sama kesehatan?

Penelitian mengenai hubungan perceived support dengan kesehatan menunjukkan hasil yang tidak konsisten, sehingga peneliti berhipotesis bahwa dukungan yang tidak disadari (invisible social support), seperti memberikan saran secara tidak langsung mungkin menjadi bentuk support yang paling efektif (Berscheid & Regan, 2005). Hipotesis tersebut didukung oleh penelitian dengan pencatatan harian yang dilakuan Bolger et. al. pada tahun 2000, yang menemukan bahwa support yang diberikan oleh pasangan tidak dicatat oleh pasangannya. Akan tetapi, supportyang tidak kelihatan ini justru efektif menurunkan kecemasan dan depresi dibandingkan dengan dukungan yang tampak dan dicatat oleh penerima dukungan. Pengukuran perceived social support terbagi menjadi dua jenis, yaitu persepsi mengenai support yang ada saat ini dan sudah diterima di masa lalu; serta persepsi mengenai support yang tersedia di masa depan, jika dibutuhkan (perceived social support availability). Penelitian Sarason, Sarason & Gurung (2001) memperlihatkan bahwa perceived support availability paling berhubungan dengan kesehatan yang baik dan penyesuaian terhadap pengalaman yang menekan. Perceived support availability dari pasangan berhubungan dengan keintiman (Reis & Franks, 1994) dan afeksi dalam hubungan (Burleson, 1994).

Hubungan antara dukungan sosial dan kesehatan bisa dilihat sebagai: 1) hubungan langsung, orang yang mendapatkan dukungan sosial akan lebih dapat menjaga kesehatan (direct effect hypothesis) atau 2) dukungan sosial melindungi diri seseorang hanya saat ia mengalami stress, sehingga tidak memiliki efek jika tidak ada stress yang terjadi (stress-buffering effect hypothesis). Stres tidak terhindarkan dalam hidup manusia, sehingga hipotesis kedua lebih sering dibahas dalam berbagai penelitian. Stres ialah proses saat seseorang mempresepsi dan merespon situasi yang mengancam kesejahteraannya. Dalam kondisi stres, tubuh merespon dengan reaksi fight or flight, ditandai dengan perubahan pada sistem cardiovaskuler dan endokrin.

Lebih jauh lagi, Lazarus, seperti dijelaskan oleh Berscheid & Regan (2005), mengajukan Transactional model of stress, menjelaskan bahwa respon individu pada suatu kejadian tergantung pada penilaian kognitif terhadap kejadian. Maka, perubahan respon fisiologis terjadi saat seseorang menilai kejadian sebagai menekan (stressful). Saat terjadi perubahan, tubuh berusaha mempertahankan kondisi keseimbangan (homeostasis), sehingga bukan hanya satu sistem yang berubah, tapi keseluruhan sistem. Jika terjadi stres kronis, maka dapat terjadi allostatic load, atau perubahan sistem tubuh yang relatif menetap sehingga merusak fungsi organ tubuh dan bisa mengakibatkan sakit fisik.

Dukungan sosial, terutama dari figur yang familiar, dapat menurunkan stres, baik pada tikus, monyet, maupun pada manusia dewasa (Berscheid & Pamela, 2005). Hubungan keluarga merupakan sumber dukungan sosial yang penting untuk mendukung fungsi imun tubuh. Hal ini didukung oleh penelitian yang memperlihatkan bahwa tingkat kematian dan penyakit cenderung lebih rendah pada orang yang menikah daripada yang tidak menikah (Gordon & Rosenthal, 1995; Seeman, 2001).

Akan tetapi, status menikah semata tidak cukup untuk memberi dampak positif pada kesehatan. Meta analisis Kiecold-Glaser, Newton (2001) menemukan bahwa pernikahan yang tidak bahagia berhubungan dengan 2.5 kali resiko lebih tinggi terkena depresi. Di sisi lain, Semakin tinggi kualitas pernikahan, semakin rendah kemungkinan mengalami sakit fisik (Wickrama, Lorenz, Conger, & Elder, 1997).

Studi longitudinal dari Miller, Hollist, Olsen, Law (2013) juga mendukung fakta bahwa kebahagiaan pernikahan dan permasalahan dalam pernikahan berhubungan dengan kesehatan fisik. Perubahan dalam kebahagiaan pernikahan berhubungan dengan perubahan kesehatan pada pasangan yang lebih muda, dan perubahan permasalahan pernikahan berhubungan dengan perubahan masalah kesehatan pada cohort yang lebih tua (midlife).

Kesimpulannya, pernikahan yang bahagia itu penting agar lebih sehat dan stres berkurang 🙂
Nah, buat kamu yang belum menikah, sadarilah bahwa dukungan suami/istri ternyata bisa membuat kamu tambah sehat, atau lebih cepat sakit. Makanya, pilihlah dengan sungguh-sungguh calon suami/istrimu. 🙂 Kira-kira apa aja ya efek buruk dari hubungan antar manusia dengan kesehatan? Hmmm.. Tunggu di post berikutnya ya..

Referensi:

Atkins, C. J., Kaplan, R. M., Toshima, M. T. (1991). Close Relationships in the epidemiology of cardiovascular disease. In W. H. Jones & D. Perlman (Eds). Advances in personal relationships (Vol 2, pp. 207-231). London: Jessica Kingsley.
Berscheid, E., Regan, P. (2005). The Psychology of Interpersonal Relationship. New Jersey: Pearson.
Cutrona, C. E. (1990). Stress and social support: In search of optimal matching. Journal of Social and Clinical Psychology, 9, 3-14.
Cutrona, C. E. Suhr, J. A. (1994). Social support communication in the context of marriage: an analysis of couples’ supportive interactions. In B. R. Burleson, T. L. Albrecht & I. G. Sarason (Eds.), Communication of social support: Messages, interactions, relationships, and community (pp. 113-135). Thousand Oak, CA: Sage.
Cobb, S. (1976). Social support as a moderator of life stress. Psychosomatic Medicine, 38, 300-314.
Miller, R. B., Hollist, C. S., Olsen, J., & Law, D. (2013). Marital Quality and Health Over 20 Years: A Growth Curve Analysis. Journal of Marriage and Family, 75(3), 667–680. http://doi.org/10.1111/jomf.12025
Vaux, A. (1988). Social support: Theory, research, and intervention. New York: Praeger.
*Tulisan ini adalah sebagian dari Makalah “RELATIONSHIPS AND HEALTH:
DAMPAK HUBUNGAN INTERPERSONAL TERHADAP KESEHATAN FISIK, MENTAL DAN KEBAHAGIAAN” untuk kelas Hubungan Interpersonal di Magister Sains Psikologi Sosial, Universitas Indonesia, 2017.
*Tulisan ini juga dipublikasikan di blog penulis, yaitu https://pingkanrumondor.blogspot.com/2017/11/dukungan-sosial-dan-kesehatan.html