Penulis: Jeanete Evasavitri & Raymond Godwin

Semua orang pada titik tertentu pastinya pernah menunda melakukan suatu aktivitas, dari yang sesederhana membereskan kamar, membuat keputusan besar, hingga yang berjangka panjang seperti mengasah kemampuan dalam hobi tertentu. Fenomena psikologis ini disebut prokrastinasi, yang dalam Bahasa Latin berarti “diteruskan besok”. Terdengar tidak asing? Mungkin banyak dari pembaca yang merasa demikian karena begitulah alur proses sebuah prokrastinasi, dimulai dari kata “nanti” atau “besok saja” saat diberikan sebuah tugas. Tentunya dalam jangka pendek dan secara langsung, hal ini tidak berbahaya bagi seorang prokrastinator, tetapi dapat menimbulkan banyak masalah pada kemudian hari. Walau prokrastinasi dapat melanda manusia dari berbagai kalangan dan umur, mahasiswa sebagai sebuah populasi menariknya sangat sering mendapat sorotan sebagai simbol dari prokrastinasi.

Apa ciri-ciri prokrastinasi? Ciri yang pasti dan utama ialah menunda-nunda aktivitas hingga hari esok, hal ini kerap dilakukan hingga saat sudah mendekati akhir dari batas waktu pengerjaannya. Dalam kasus umum, penyebabnya ialah kurang atau tidak adanya motivasi untuk mengerjakan aktivitas. Ketiadaan motivasi tersebut dapat dipicu oleh perasaan negatif seperti kebosanan, tekanan, ketakutan, atau kecemasan. Untuk contoh, ada sebagian yang melakukannya karena takut kualitas hasil tugasnya rendah, ada yang karena takut mengalami stres saat mengerjakan tugas tersebut sehingga memilih untuk menghindari mengerjakannya sebisa mungkin, dan ada yang memilih untuk sengaja menunda tugas hingga detik terakhir agar mendapatkan dorongan untuk menyelesaikannya berkat kecemasan dan ketakutan atas sisa keterbatasan waktu yang ada.

Artikel ini akan fokus membahas kemampuan seseorang mengatur perilakunya, atau regulasi diri (self-regulation). Menurut penelitian Marcellino Yohanes (2016), self-regulation menandai kemampuan seseorang dalam melakukan suatu aktivitas berdasarkan tujuan yang ia sudah tetapkan sendiri dan batasannya dalam mempertahankan dan mengatur pengerjaan aktivitas tersebut meskipun dihadang oleh banyak gangguan. Jika kemampuan self-regulation seseorang rendah, ia cenderung dapat dengan mudah terjatuh ke lubang perangkap dari menunda-nunda tugas. Aktivitas lain yang mengganggu atau tidak relevan akan lebih menarik dilakukannya pada saat itu dikarenakan gangguan yang ada. Satu kasus umumnya berupa ketidaktertarikan atau bosan pada tugas yang ada lalu memilih untuk melakukan hal yang lebih menyenangkan, yang pada akhirnya tujuan yang telah ditetapkan juga akan tertinggal atau kehilangan prioritasnya.

Dalam penelitian lain, yang dilakukan oleh Jeremy Kristanto (2016), prokrastinasi karena pengalihan perhatian juga utamanya ditekankan pada kasus-kasus saat seseorang melakukan media multitasking, atau penggunaan banyak media dalam waktu yang bersamaan untuk mengerjakan sebuah aktivitas. Media yang dimaksud tidak harus membantu kelangsungan atau penyelesaian tugas utama, bahkan sering kali memang sangat tidak berhubungan dengan tugas. Misalnya, membaca sambil mendengarkan musik dan mengetik sambil browsing bebas di web. Idealnya, konsep dari multitasking yang berguna itu sendiri adalah yang efisien dan/atau menghemat waktu, tetapi dengan gangguan yang berlebihan dari berbagai sisi, fokus kita tidak akan sepenuhnya tertera pada satu aktivitas saja, melainkan terbagi-bagi atas semua yang sedang dilakukan, dan sebuah tugas bisa tertinggal atau kurang mendapat perhatian dibandingkan tugas lainnya. Sehingga yang terjadi bukanlah multitasking, melainkan switch-tasking alias berpindah fokus.

Dalam penelitian Kristanto, terdapat dua fenomena psikologis besar lainnya yang dapat memiliki kontribusi dalam perilaku menunda. Fenomena yang pertama ialah kepercayaan diri seseorang bahwa ia bisa mengerjakan tugas tersebut secara baik dan tepat waktu dengan menunda, walaupun pengalaman menunda sebelumnya sudah berulang kali berkata sebaliknya. Sedangkan fenomena yang kedua adalah keberanian seseorang dalam mengerjakan sebuah aktivitas yang tidak enak atau ditakuti. Banyak faktor lain yang dapat turut berkontribusi, seperti karakter tugas, kepribadian seseorang, atau bagaimana pola asuh orangtua dari orang tersebut. Akan tetapi, semua akan berbalik pada keadaan psikologis seseorang saat dihadapkan dengan sebuah aktivitas dan seberapa jauh kita dapat mengatasi gangguan yang ada baik dari dalam maupun luar diri.

Prokrastinasi merupakan perilaku yang tidak masuk akal karena kita diwajibkan untuk tetap mengerjakan aktivitas yang ada. Namun tidak jarang banyak dari kita yang terjebak melakukannya. Seringkali landasannya tidak dilihat atau diabaikan hingga masalah serius timbul pada kehidupan pelakunya. Oleh karena itu, berbagai alasan psikologis di belakangnya patut dikenali agar kebiasaan menunda-nunda dapat diatasi dan diperbaiki. Bagi para pembaca, ingat untuk selalu memperhatikan dan menjaga kebiasaan pengerjaan tugas serta kemampuan regulasi diri kalian, ya! FOKUS!

 

 

Referensi:

Kristanto, J. (2016). Peran Keberanian, Perilaku Media Multitasking, dan Planning Fallacy Dalam Memprediksi Decisional Procrastination. Universitas Bina Nusantara.

Yohanes, M. (2016). Hubungan Antara Self-Regulation Dengan Prokrastinasi Akademis Pada Mahasiswa Universitas Bina Nusantara. Universitas Bina Nusantara.

Effert, B. R., & Ferrari, J. R. (1989). Decisional Procrastination: Examining Personality Correlates. Journal of Social, Behavior, and Personality, 4. Diambil pada 13 September 2018.

 

 

Sumber gambar;

https://writingcooperative.com/how-to-stop-procrastinating-59cdbf83ee0d
http://lesism.blogspot.com/2012/01/angel-of-procrastination.html