penulis: Jeanete Evasavitri dan Raymond Godwin

“Percayalah pada diri sendiri”

Inilah kata-kata bijak sebagai hadiah bagi Anda. Terdengar klise dan membosankan, ya? Seumur hidup Anda, lontaran perkataan itu pasti sudah tak terhitung jumlahnya, entah dari teman, orang tua, dari tagline berbagai iklan produk, maupun dari film. Siapapun Anda, dan pada kegiatan apapun perasaan tidak yakin Anda terletak, mungkin sekedar mahasiswa yang cemas saat menempuh ujian akhir semester atau sebagai karakter protagonis yang harus mengalahkan raksasa besar demi menyelamatkan hari, Anda harus percaya pada kemampuan anda sendiri dan dengan begitu anda bisa berhasil. Alurnya kira-kira seperti itu. Tapi apakah memang hanya pernyataan kosong yang terus-terusan diulang?

Self-efficacy ialah tingkat kepercayaan seseorang pada dirinya sendiri dalam melakukan sesuatu. Pertama kali didefinisikan oleh Bandura pada tahun 1982 sebagai penilaian pribadi mengenai seberapa baik kemampuannya dan batasannya dalam mencapai tujuan, self-efficacy merujuk pada pandangan pribadi seseorang terlepas dari kemampuan orang tersebut bagaimana pada kenyataannya. Aspek psikologis ini, jika dimiliki dalam tingkat tinggi oleh seseorang, dapat membantu mengubah hasil akhir dari pencapaiannya. Karena berhubungan dengan perspektif diri, self-efficacy yang tinggi dapat berpengaruh pada ketahanan seseorang, seperti berapa banyak dan jauh usaha yang dikeluarkan serta berapa lama usaha tersebut dapat dipertahankan, terlebih saat diterjang berbagai masalah lain diluar dari alur tujuan (Stajkovic & Luthans, 1998). Tentunya usaha yang cukup dengan ketahanan yang lama dapat memandu seseorang ke pencapaian tujuan yang sudah didambakan.

Hal ini dapat juga diaplikasikan pada mahasiswa yang sedang menjalani masa studinya. Dalam perjalanan menyelesaikan studi, masalah dan rintangan di dunia akademis perlulah diantisipasi. Adapun masalah dan rintangan yang dimaksud dapat berupa adaptasi di lingkungan sosial dan sistem pendidikan yang berbeda dari sekolah menengah, banyaknya tugas yang menumpuk, serta berbagai tuntutan dari manapun asalnya. Agar mahasiswa dapat tetap berdiri dan fungsional di tengah terjangan hambatan, kesiapan dalam keterampilan dan secara mental juga dibutuhkan untuk menahan efeknya. Bukan lagi hanya keyakinan saja yang dibutuhkan, banyak aspek psikologis akan ikut berpartisi. Mahasiswa harus mampu menerima hambatan sembari menjaga keadaan emosionalnya agar tidak terhanyut dalam kegagalan dan pesimisme lalu beradaptasi sesuai dengan hambatannya, dan di tengah semua kekacauan itu mahasiswa harus terus mengeluarkan usaha agar tuntutan dapat dipenuhi serta tujuan tidak melenceng keluar jalur.

Keseluruhan proses dari kemunculan masalah hingga adaptasi terhadap masalah hingga mencapai keberhasilan cukup rumit. Banyak faktor pendukung dibutuhkan agar berhasil, dan self-efficacy merupakan salah satu faktor tersebut. Seperti yang sebelumnya disebutkan, self-efficacy berpengaruh terhadap bagaimana seseorang mengatasi hambatan yang menimpanya. Mahasiswa memiliki kemungkinan lebih besar untuk dapat mengatasi dan beradaptasi terhadap masalahnya di lingkungan akademisnya jika memiliki self-efficacy yang tinggi.

Pernyataan tesebut, serta banyak dari klaim di paragraf-paragraf sebelumnya mengenai kesulitan di konteks akademis dan self-efficacy, didukung oleh penelitian milik Karel Yuven (2018). Target penelitiannya secara spesifik diarahkan pada mahasiswa di Universitas dengan kredit A yang topiknya mengacu pada academic resilience atau ketahanan seseorang di lingkungan akademis, yakni universitas tempat mahasiswa sedang mengeyam edukasi. Pada penelitian tersbut, self-efficacy secara positif berhubungan pada tingkat academic resilience mahasiswa. Semakin tinggi tingkat kepercayaan mahasiswa pada kemampuan dirinya dalam melalui masalah, maka mahasiswa juga dapat menjadi semakin pantang menyerah atau tahan banting dengan berbagai lika-liku masalah perkuliahan. Bisa sebaliknya juga, semakin pantang menyerah akan semakin tinggi pula self-efficacy yang dimilikinya.

Hasil dari penelitian Yuven (2018) dapat diaplikasikan pada mahasiswa Binus Kemanggisan. Berdasarkan wawancara yang penulis lakukan pada 6 orang terkait self-efficacy, 2 (dua) dari narasumber memiliki self-efficacy yang rendah ditandai dari pesimisme dan ketidakraguan dalam mengerjakan segala sesuatu yang bersifat akademis. Sisanya memiliki tingkatan yang cukup atau bahkan tinggi. Dua mahasiswa yang memiliki tingkat self-efficacy kurang, memilih untuk pasrah atau hanyut dalam masalah-masalahnya, utamanya datang dari perasaan bahwa mereka tidak bisa mengubah keadaan jika sudah terkesan tidak bisa tertolong atau berhasil dalam rangkaian aktivitas kampus. Berdasarkan jawabannya, ciri-ciri self-efficacy yang tinggi terkesan hilang, yakni keyakinan bahwa mereka bisa melakukan tugas yang ada dan pantang menyerah dalam melakukannya. Mereka yang tingkat self-efficacy-nya tinggi, di sisi lain, memilih untuk terus menerjang masalah walau terlihat susah untuk dilalui karena keyakinan mereka untuk berhasil tinggi atau setidaknya ada.

Dalam wawancara, self-efficacy dibedakan dengan self-esteem. Self-esteem lebih mengarah pada pandangan seseorang terhadap diri mereka sendiri, sedangkan self-efficacy lebih terarah pada pandangan apakah ia bisa berhasil dalam mengubah keadaan di sekitarnya yang dapat diubah. Semua narasumber nampak memiliki self-esteem yang cukup. Narasumber yang diduga memiliki self-efficacy rendah akan mudah stres dan menyerah jika masalah sudah menumpuk dan terlalu menekan. Jika sudah stres, kedua mahasiswa mahasiswa tersebut akan kewalahan dan secara sadar memilih untuk tidak menerjang masalahnya.

Self-efficacy yang tinggi memang bukan solusi satu-satunya terhadap mengatasi masalah perkuliahan, tetapi dapat dikatakan bahwa dengan memiliki self-efficacy yang tinggi, proses menjalani perkuliahan, dan menyelesaikannya, dapat terbantu serta keberhasilan dapat tercapai. Anda sebagai mahasiswa tidak merasa terlalu banyak ditumpuk masalah dan tugas? “Pasti berlalu, yakini saja bisa maka akan lebih cepat selesainya”, ungkap salah satu narasumber saat ditanya mengenai bagaimana mereka mengatasi masalah yang menggantung. Sudah merasa belajar mati-matian tetapi masih mendapatkan hasil yang mengecewakan? Mungkin Anda tidak benar-benar percaya bahwa Anda bisa, sehingga usaha anda tidak benar-benar maksimal karena tidak menaruh upaya penuh. Percayalah pada kemampuan diri Anda sendiri.  Ungkapan tersebut klise, memang sudah sebelumnya dibahas, tetapi dapat membantu dalam perjalanan jangka panjang Anda di dunia perkuliahan jika dilakukan dengan benar.

 

Referensi:

Ackerman, C. (2018, May 29). What is Self-Efficacy Theory in Psychology? Definition & Examples (PDF). Diakses pada 11 Oktober 2018 dari https://positivepsychologyprogram.com/self-efficacy/

Bandura, A., & Locke, E. A. (2003). Negative Self-Efficacy and Goal Effects Revisited. Journal of Applied Psychology,88(1), 87-99. doi:10.1037/0021-9010.88.1.87

Zimmerman, B. J., Bandura, A., & Martinez-Pons, M. (1992). Self-Motivation for Academic Attainment: The Role of Self-Efficacy Beliefs and Personal Goal Setting. American Educational Research Journal,29(3), 663. doi:10.2307/1163261

Stajkovic, A. D. & Luthans, F. (1998). Self-Efficacy and Work-Related Performance: A Meta-Analysis. Psychological Bulletin. 2: 240–261. doi:10.1037/0033-2909.124.2.240.

 

Sumber gambar:

Gambar 1:  Oleh Element5 Digital, sumber dari Unsplash Link: https://unsplash.com/photos/jCIMcOpFHig
Gambar 2: Oleh Startup Stock Photos, sumber dari Pexels) Link: https://www.pexels.com/photo/notes-macbook-study-conference-7102/
Gambar 3: Sumber dari Pixabay Link: https://pixabay.com/en/beauty-still-japanese-film-2423417/