Bayangkan berapa banyak benda yang ada di dunia ini, baik benda mati maupun benda hidup? Banyaaaaaaak sekali toh?! Salah satu cara manusia untuk dapat memahami bermacam-macam benda yang ada di dunia ini adalah dengan cara mengelompokkannya ke dalam kategorisasi-kategorisasi tertentu. Bayangkan akan betapa chaos-nya pikiran kita ketika melihat banyak benda yang bertaburan di dunia ini jika kita tidak melakukan kategorisasi. Mengkategorisasikan benda ataupun objek memudahkan kita untuk memahami objek tersebut dan apa fungsinya. Layaknya mengajarkan seorang anak kecil yang sedang melihat benda-benda di sekelilingnya. Tapi secara ilmiah, bagaimana sih sebenarnya proses seseorang itu belajar mengkateorisasikan benda?

Secara umum, sebenarnya tidak ada acuan khusus untuk mengelompokkan benda ke dalam kategori tertentu, kecuali para ahli biologi yang mengelompokkan hewan-hewan sesuai dengan genus dan family-nya. Bagaimana dengan objek atau benda-benda yang sering kita temui sehari-hari? Misalnya ketika kita mengajarkan anak kecil tentang apa itu sebuah bola. Sebagai orang yang memiliki pengalaman dan pemahan lebih tentang bola, Anda mungkin akan mencoba memberikan penjelasan bahwa bola adalah: benda yang bulat, bisa menggelinding, bisa untuk dilempar, bisa untuk bermain, warna dan ukurannya bermacam-macam. Bayangkan jika anak tersebut kemudian menemukan sebuah apel. Anak itu akan mengamati bahwa benda ini juga bulat, bisa menggelinding, bisa untuk dilempar dan bermain. Sangat mungkin anak tersebut akan menyebut apel sebagai bola dan memperlakukan apel layaknya bola (misalnya untuk bermain, bukan untuk dimakan). Sebenarnya proses yang terdengar simpel itulah yang dilakukan seseorang ketika menemui benda asing yang belum pernah dilihatnya.

Menurut Malt et al. (1999), cara kita mengkategorisasikan benda: Pertama, kita mulai mengamati dan menyadari bahwa benda tersebut memiliki karakteristik yang sama dengan benda yang sudah pernah kita lihat atau ketahui sebelumnya. Contohnya adalah seperti anak tadi yang melihat benda baru (e.g., apel) yang kemudian membandingkan dengan benda yang sudah dia kenal (e.g., bola). Kedua, kita akan mengelompokan benda-benda dengan karakteristik yang sama ke dalam satu kategori. Dalam contoh sebelumnya, anak tersebut mengenali bahwa karakteristik benda baru tersebut mirip dengan bola, sehingga dia menyebutkan apel sebagai bola. Namun, bagaimana dengan bola rugby? Apakah “pantas” untuk dikelompokan ke dalam kategori bola?

Untuk lebih mudah membayangkan, berikut ilustrasinya:

Beberapa teori menyebutkan bahwa benda-benda yang memiliki karakteristik yang sama akan dikelompokan ke dalam kategori yang sama (e.g., Heit & Barsalou, 1996; Rosch & Mervis, 1975; Smith & Medin, 1981). Misalnya semua objek yang memiliki sayap, bertelur, dan bisa terbang akan dikelompokan ke dalam kategori burung. Jadi idealnya, karena setiap benda dapat dilihat dan diamati karakteristiknya, setiap orang harusnya memiliki cara pengkategorisasian yang sama. Misalnya semua orang pasti setuju bahwa bola tenis adalah bola, apel adalah buah, lemari adalah furnitur, sepak bola adalah jenis olahraga, burung camar adalah burung, dan sebagainya. Tetapi beberapa penelitian menemukan bahwa kategorisasi itu sifatnya subjektif, bisa berbeda setiap di setiap budaya dan bahasa (Malt, Sloman, & Gennari, 2003), usia (White, Storms, Malt, & Verheyen, 2018), bahkan nama objek pun (Djalal, Voorspoels, Heyman, & Storms, 2016) bisa mempengaruhi bagaimana orang mengkategorisasikan objek tersebut. Lebih jauh lagi, walaupun kultur, budaya, dan bahasa yang digunakan adalah sama, setiap individunya bisa memiliki cara pengkategorisasian yang berbeda (Verheyen & Storms, 2013).

Beberapa benda atau objek terkadang diragukan keanggotaanya dalam kategori tertentu karena tidak memiliki karakteristik penting yang biasanya dimiliki oleh setiap anggota dari kategori tersebut. Misalnya, apakah pinguin itu bisa dikelompokan ke dalam ketegori burung walaupun tidak bisa terbang? Atau bola rugby yang tidak bulat masih bisa disebut sebagai bola? Bagaimana dengan catur, apakah masih termasuk ke dalam jenis olahraga?

Penelitian Malt, Sloman, dan Gennari (2003) menemukan perbedaan dalam mengelompokan jenis-jenis wadah (e.g., botol, toples, box, etc.) antara orang-orang yang berbahasa Inggris, Cina, dan Spanyol. Bahwa jika dalam bahasa Inggris, semua wadah yang terbuat dari kaca, berbentuk silinder, memiliki leher, dan bukaan yang kecil di bagian atas akan dikelompokan sebagai botol (EN: bottle), namun dalam bahasa Spanyol, wadah berjenis botol ini bisa terbagi ke dalam beberapa kategori (botella, envase, gotero, mamadera, roceador), atau bahasa Cina disebut Ping. Penelitian White, Storms, Malt, dan Verheyen (2018) menemukan bahwa, bagi generasi tua, karakteristik penting yang harus dimiliki oleh sebuah benda untuk disebut sebagai botol adalah wadah yang terbuat dari kaca, namun bagi generasi yang lebih muda, wadah yang terbuat dari plastik pun bisa disebut sebagai botol.

Lebih anehnya lagi, tidak hanya karakteristik yang dimiliki oleh sebuah benda cukup untuk membuat benda tersebut dikelompokan ke dalam kategorisasi yang sama. Ternyata nama benda pun dapat mempengaruhi bagaimana benda tersebut dikategorisasikan. Penelitian Djalal et al. (2016, 2018) menemukan bahwa bagi native English: jellyfish dan starfish termasuk ke dalam kategori ikan dan dinilai mirip dengan ikan salmon dan tuna. Tapi hal ini tidak berlaku bagi orang Indonesia (ubur-ubur dan bintang laut) dan juga bagi native Dutch (kwal dan zeester). Sebaliknya bagi native Dutch, inktvis (cumi-cumi) dan walvis (ikan paus) termasuk anggota kategori ikan.

Mungkin masih dapat dimaklumi bahwa orang yang berasal dari kultur budaya dan bahasa yang berbeda, bisa mengkategorisasikan benda dengan cara pandang yang berbeda. Menariknya, penelitian dari Verheyen dan Storms (2013) membuktikan bahwa syarat-syarat sebuah benda untuk dikelompokkan ke dalam kategorisasi tertentu pun bisa berbeda walaupun orang-orang tersebut berasal dari negara yang sama dan menggunakan bahasa yang sama. Mereka menemukan bahwa bagi sebagian orang, sebuah kegiatan bisa disebut sebagai olahraga jika dilakukan secara individual, di dalam ruangan, dan tanpa harus berkeringat. Bagi orang-orang dengan pemahaman akan konsep olahraga seperti itu, maka bagi mereka kegiatan yang termasuk kegiatan olahraga adalah catur, bilyar, darts. Sebaliknya bagi orang yang menganggap bahwa olahraga adalah segala kegiatan yang dilakukan secara individual, di luar ruangan, dan mencakup kegiatan fisik yang bisa membuat berkeringat, maka akan mengelompokan kegiatan seperti naik gunung, bersepeda, dan lari sebagai kegiatan olahraga. Untuk mempermudah, coba lihat gambar berikut:

Nah, ternyata proses manusia untuk mengkategorisasikan benda itu tidak sesimple yang kita kira. Terasa simple mungkin karena prosesnya yang berlangsung secara otomatis bagi kita. Tapi jika diteliti lebih detil, ternyata lebih kompleks dari kelihatannya. Bayangkan jika kalian harus mengajarkan pada anak kecil bahwa: tomat itu sayur, tapi apel itu buah; ikan paus itu bukan ikan tapi mamalia, dan kuda itu hewan tapi juga termasuk alat transportasi. Hal ini penting, karena tanpa melakukan kategorisasi, dunia kita akan terlihat berantakan!

Referensi

Djalal, F. M., Voorspoels, W., Heyman, T., & Storms, G. (2016). Language Informativity: Is starfish more of a fish in English than in Dutch? In Proceedings of the 38th Annual Conference of the Cognitive Science Society (pp. 1068-1073). Cognitive Science Society.

Djalal, F. M., Voorspoels, W., Storms, G., & Heyman, T. (2018). Is jellyfish more of a fish in English than in Dutch? The effect of informative labels. Quarterly Journal of Experimental Psychology. Advance online publication. doi: 10.1177/1747021818777094

Heit, E., & Barsalou, L. W. (1996). The instantiation principle in natural categories. Memory, 4(4), 413-451. doi: 10.1080/096582196388915

Malt, B. C., Sloman, S. A., & Gennari, S. (2003). Universality and language specificity in object naming. Journal of Memory and Language, 43(1), 20-42. doi: 10.1016/S0749-596X(03)00021-4

Malt, B. C., Sloman, S. A., Gennari, S., Shi, M., & Wang, Y. (1999). Knowing versus naming: Similarity and the linguistic categorization of artifacts. Journal of Memory and Language, 40(2), 230-262. doi: 10.1006/jmla.1998.2593

Rosch, E., & Mervis, C.B. (1975). Family resemblances: Studies in the internal structure of categories. Cognitive Psychology, 7(4), 573-605. doi:10.1016/0010-0285(75)90024-9

Smith, E. E., & Medin, D. L. (1981). Categories and concepts. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Verheyen, S., & Storms, G. (2013). A mixture approach to vagueness and ambiguity. PLoS ONE, 8(5), e63507. doi: 10.1371/journal.pone.0063507

White, A., Storms, G., Malt., B.C., & Verheyen, S. (2018). Mind the generation gap: Differences between young and old in everyday lexical categories. Journal of Memory and Language, 98, 12-25. doi: 10.1016/j.jml.2017.09.001