Bagaimana Menanggapi Curahan Hati Tentang Kekerasan?
Beberapa hari yang lalu, tanggal 5 Maret 2017, timeline instagram stories saya ramai dengan ucapan simpati untuk @dylan_sada yang berbagi cerita mengenai kekerasan fisik yang ia alami. Berhubung penasaran, segera saya berkunjung ke akun yang bersangkutan. Sedih rasanya melihat luka akibat kekerasan yang dilakukan oleh orang terdekat kepada Dylan. Cerita Dylan seakan menyeruakkan tabir yang menutupi kenyataan tentang kekerasan dalam relasi romantis (Intimate Partner Violence/Gender Based Violence).
Saya perhatikan, selain komentar yang memberikan dukungan, banyak juga yang menyatakan bahwa dirinya sedang atau pernah mengalami kejadian serupa. Ternyata, Dylan tidak sendirian. Data dari komnas perempuan menunjukkan bahwa pelaporan Kekerasan Dalam Pacaran (KDP), Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dan kekerasan dalam relasi personal semakin meningkat dari tahun ke tahun. Itu baru data yang dilaporkan, bisa jadi ada yang mengalami tapi tidak melaporkan. Bisa jadi, penyintas (survivor) KDP/KDRT ada juga di sekitar kita. Bisa jadi, mereka adalah teman se-kampus, se-kantor, atau mungkin tetangga kita. Oleh karena itu, ada baiknya kita mempersiapkan diri jika suatu saat ada teman yang mencurahkan isi hati tentang kekerasan yang dialami.
Bagaimana sebaiknya menanggapi curhat teman yang mengalami kekerasan?
Dengarkan tanpa menghakimi
Jika seseorang menghampiri Anda untuk menceritakan pengalaman kekerasan yang dialami, kemungkinan ia cukup mempercayai Anda. Oleh karena itu, Anda bisa menghargai kepercayaan tersebut dengan menjaga kerahasiaan dan mendengarkan ceritanya tanpa menghakimi. Seringkali, kita bermaksud baik ingin menenangkan dengan berkata “Sabar ya, semua akan baik-baik saja“. Tapi saat ini kondisinya sedang tidak “baik-baik saja“, sehingga komentar ini seakan mengecilkan permasalahan yang dialami. Terkadang, kita juga ingin memberikan nasihat, misalnya: “Makanya, kamu tinggalin aja, jangan mau digituin”. Namun, seringkali “nasihat” seperti ini malah membuatnya merasa terpojokkan.
Oleh karena itu, ada baiknya kita diam dan mendengarkan dengan penuh perhatian, tanpa mencoba menjawab. Tunjukkan sikap supportive, baik dari mimik wajah maupun bahasa tubuh. Coba tangkap apa perasaan yang ia rasakan, serta ulangi untuk konfirmasi. Misalnya: “Saat ini kamu merasa sangat sedih dan kecewa dengan pasangan, ya?”. Bantu ia mengenali apa yang ia rasakan saat ini. Bantuan ini akan lebih bermakna daripada memberikan nasihat atau harapan palsu.
Perhatikan kebutuhan
Penyintas KDP/KDRT yang menceritakan pengalamannya pada Anda memiliki kebutuhan yang berbeda-beda. Oleh karena itu, amati dan tanyakan apa yang ia butuhkan. Contohnya, jika teman atau kerabat Anda datang dalam kondisi babak belur (luka fisik), maka Anda bisa memberikan pertolongan pertama untuk mengobati lukanya. Jika ia datang dalam kondisi masih menangis, Anda bisa membiarkan ia menangis sambil mengatakan bahwa Anda ada jika ia butuhkan. Pertolongan sederhana seperti menyediakan tissue dan air minum akan sangat bermanfaat.
Berikan informasi praktis, hindari ‘kepo’
Biarkan ia bercerita, tapi hindari menanyakan lebih detil tentang sejarah kekerasan yang ia alami. Menanyakan detil kejadian seperti membuka luka lebih dalam. Belum tentu Anda bisa “menjahit rapi” luka itu kembali, bukan?
Setelah kondisi emosional sang penyintas agak mereda, Anda bisa mendorong ia untuk melakukan hal-hal sederhana yang diperlukan untuk mengurus dirinya sendiri. Dukunglah agar ia merasa berdaya. Misalnya, mengingatkan ia untuk makan, beristirahat atau mencari bantuan lebih lanjut. Berikan informasi praktis yang sekiranya akan ia butuhkan. Seperti misalnya: nomor telepon pusat krisis terpadu, kantor polisi terdekat, lembaga bantuan hukum atau lembaga pemulihan trauma dan penguatan psikososial (misalnya seperti@yayasan_pulih).
Utamakan keselamatan
Sebelum berpisah, Anda bisa mengingatkan untuk mengutamakan keselamatan dirinya dan anak (jika ada). JIka memungkinkan, Anda bisa memberikan link informasi yang membantu seperti link “How to Deal with Domestic Violence” berikut ini.
Melakukan langkah-langkah di atas, memang tidak semudah membalikan telapak tangan. Akan tetapi, jika anda selesai membaca artikel ini, artinya Anda sudah berniat untuk menolong dengan lebih baik lagi. Oh ya, Anda juga perlu menjaga kesejahteraan diri sendiri. Kalau Anda merasakan kesedihan mendalam setelah mendengarkan cerita rekan Anda yang mengalami kekerasan, mungkin Anda terdampak dan butuh upaya relaksasi atau bahkan pertolongan professional. Bantulah sesuai dengan kapasitas Anda, selanjutnya Anda dapat merujuk sang penyintas ke institusi/profesional terkait.
Selamat menolong! š
We think we listen, but very rarely do we listen with real understanding, true empathy. Yet listening, of this very special kind, is one of the most potent forces for change that I know.
– Carl Rogers
Referensi:
Note: Artikel ini sudah pernah dipublikasikan di kumparan.com.
Tentang penulis:
Pingkan C. B. Rumondor, M.Psi., PsikologĀ ialah seorang psikolog klinis dewasa yang tertarik dengan isu hubungan romantis baik pacaran maupun pernikahan, serta trauma. Telah mengikutiĀ workshop Couple and Family Therapy,Ā serta sertifikasi terapis EMDR, dan sertifikasi alat ukur kepribadian Lumina. Penulis adalah dosen mata kuliah psikologi klinis dan juga pembimbing skripsi/magang. Bisa dihubungi di pingkan_rumondor@binus.ac.id.
Comments :