Pada tanggal 22 Desember 2017 yang lalu, penulis diundang menjadi salah satu pembicara talk show “Women & Career” yang diselenggarakan oleh Coworking Space Kolega di Jakarta. Talk show gratis tersebut bertujuan membahas bagaimana karir dan peran sebagai Ibu Rumah Tangga bisa berjalan beriringan. Acara yang berlangsung dari pukul 13.30 – 16.30 ini dibagi menjadi dua sesi. Sesi pertama membahas mengenai “Perspektif Perempuan dalam Karir“, dengan pembicara: Yuniyanti Chuzaifah (Wakil Ketua Komnas Perempuan 2015-2019); Sophia Hage (Co-founder Lentera Sintas Indonesia); Pingkan Rumondor (Psikolog dan Dosen Univ. Bina Nusantara); Adek Berry (AFP Photographer). Sedangkan sesi kedua berjudul “Perempuan dalam Bisnis”, dengan pembiacara: Cecille Christophia (CEO PT ATBIC, C&J Management), Devina Hartono (Chief Performance Officer Endeavor Indonesia), dan Dina Dellyana (Dosen SBM ITB / Director The Greater Hub Incubator).

Dari 4 pembicara dalam sesi “Perspektif Perempuan dalam Karir“, penulis mencatat beberapa poin penting. Pertama, pada level masyarakat, masih ada stigma negatif mengenai perempuan yang bekerja hingga malam. Masyarakat masih menganggap bahwa peran utama perempuan adalah sebagai Ibu Rumah Tangga. Di sisi lain, temuan Komisi Perempuan memperlihatkan bahwa ketergantungan ekonomi pada suami turut mempengaruhi kerentanan kesehatan perempuan dan cenderung berdampak pada struktur keluarga yang rapuh. Secara ekonomi, negara juga berupaya meningkatkan tingkat partisipasi perempuan dalam angkatan kerja.

Kedua, meskipun demikian, riset di Asia Pasifik memperlihatkan bahwa perempuan berkarir tidak serta-merta menyebabkan kerusakan pernikahan. Asalkan ada beberapa hal yang dilakukan berdua seperti saling kerjasama dan ada usaha menjaga romantisme. Pengalaman pribadi para pembicara turut memberikan contoh bahwa karir dan keluarga dapat berjalan bersamaan dengan beberapa strategi. Misalnya berbagi tanggung jawab, berbagi mimpi dan cita-cita dengan pasangan, setelah itu berbagi kesempatan meraih cita-cita tersebut. Sebagai contoh, Ibu Yuni memiliki kesepakatan dengan suaminya, bahwa setelah ia menyelesaikan kuliah di luar negeri, maka ia akan pulang dan menjaga anak sementara suami berkuliah. Untuk bisa menjalankan strategi tersebut bersama suami memang diperlukan pemahaman mengenai relasi yang setara antara pria dan wanita. Selain itu, Ibu Yuni dan Ibu Adek sama-sama berusaha menjalin komunikasi yang intens dengan anak meskipun sedang terpisah, dan mengusahakan waktu berkualitas saat sedang bertemu. Strategi lainnya ialah memanfaatkan dukungan dari lingkungan, misalnya dengan meminta orangtua menjaga anak atau mempercayakan anak pada asisten rumah tangga yang sudah dipercayai. Bahkan menurut Ibu Adek, anak dan suami termasuk sosok yang mendukung karir. Ibu Adek mengibaratkan keluarganya sebagai suatu tim yang saling mendukung.

Ketiga, dalam berkarir (dan secara umum) perempuan rentan mengalami pelecehan seksual. Mbak Sophie menjelaskan bahwa perilaku menggoda perempuan yang sedang jalan sudah termasuk pelecahan seksual. Perempuan yang mengalami pelecehan seksual cenderung merasa malu untuk bercerita. Oleh karena itulah beliau mendirikan Lentera Sintas Indonesia, tempat para penyintas (survivor) pelecehan seksual dapat berbagi pengalaman dan saling menguatkan dalam suasana yang aman dan rahasia. Menurut Mbak Sophie, pemikiran yang membantu pemulihan para penyintas ialah bahwa trauma pelecehan seksual yang dialami merupakan hal yang terpisah dari identitas sang penyintas. Sehingga identitas sang penyintas tidak ditentukan oleh pengalaman trauma tersebut. Peremuan dapat mengambil kontrol atas identitasnya, meskipun ia pernah mengalami pelecehan seksual.

Keempat, faktor lain yang juga penting bagi perempuan dalam berkarir ialah mengenali diri sendiri, termasuk minat, kekuatan dan hal-hal yang masih perlu dikembangkan. Ibu Adek Berry menceritakan mengenai perjalanan karirnya dari seorang jurnalis menjadi fotografer jurnalistik, dan sekarang menjadi penulis buku. Selengkapnya mengenai pengalaman hidup beliau bisa dibaca di buku “Mata Lensa“. Sebagai seorang perempuan yang berprestasi di area pekerjaan yang lebih banyak ditekuni oleh pria, kunci keberhasilannya ialah “kerjakan sebaik mungkin” tanpa menjadikan gender sebagai alasan.

 

Buku Mata Lensa

 

Kelima, hasil penelitian psikologi yang dijelaskan dalam majalah Monitor in Psychology edisi Desember 2017 memperlihatkan beberapa strategi menjaga keseimbangan karir dan keluarga, yaitu:

1) Perencanaan karir dan keluarga: penting untuk mengetahui pola kerja selama setahun, tahu kebijakan tempat kerja soal cuti (tahunan, wajib, hamil, dll). Lakukan hal yang sama soal keluarga, pelajari pola keluarga selama setahun. Sebagai contoh, rencanakan liburan bersama sejak awal tahun.

2) Komunikasi dengan pasangan: tanyakan perencanaan karirnya, acara keluarganya. Ungkapkan ekspektasi kita. Contoh di kehidupan penulis: pasangan membebaskan saya untuk memiliki acara, tapi di berharap saya menginformasikan lebih dulu dan setiap minggu setidaknya menyediakan satu hari untuk kencan atau kumpul keluarga. Jadi kalau sabtu kerja, minggu bersama keluarga dan sebaliknya.

3) Tahu batas dan berani bilang tidak: kalau ada tawaran pekerjaan saat jadwal sudah penuh, maka berani bilang tidak. Demikian juga soal waktu, kalau sudah janjian jam 8-10, akhiri dengan tegas di jam 10.

4) Ingat untuk menjaga diri sendiri (self-care): waktu ke salon atau pijat perlu dijadwalkan. Belajar meditasi, cari waktu olahraga. Kalau perlu minta tolong suami untuk menjaga anak, atau orangtua/mertua.

5) Cari dukungan suami, keluarga, atasan, kantor: beberapa supervisor memahami perjuangan ibu bekerja. Kebetulan atasan penulis pernah mengatakan: “utamakan keluarga, ingatlah bahwa bekerja juga untuk keluarga“. Hal ini membuat penulisan tenang untuk usaha kerja cepat dan pulang tepat waktu. Strategi ini sejalan dengan pendapat Bu Adek dan Bu Yuni untuk memanfaatkan dukungan dari lingkungan.

 

Pembicara dan moderator.

 

Penulis belajar banyak mengenai bagaimana seorang perempuan dapat menyeimbangkan karir dan kehidupan rumah tangga dari talk show ini. Penulis juga terinspirasi oleh pengalaman sosok perempuan yang berhasil dalam bidang karir masing-masing, sekaligus menjaga keutuhan rumah tangga. Akhir kata, penulis setuju dengan teori humanistik, bahwa tiap manusia, laki-laki atau perempuan memiliki dorongan untuk mencapai aktualisasi diri. Laki-laki dan perempuan dapat memilih untuk mencapai kondisi diri yang paling optimal, dapat ekspresi diri yang bebas, termasuk bebas dalam memilih antara mengejar karir, membina keluarga, atau mengusahakan keduanya. Bahkan, teori terbaru tentang pernikahan menjabarkan bahwa pernikahan (terutama di masyarakat Amerika kontemporer) bukan lagi sekedar lembaga untuk mendapatkan cinta dan kemesraan tapi juga sarana mengekspresikan diri. Jadi, menurut penulis, stigma bahwa tiap perempuan memiliki end goal yang sama yaitu menjadi ibu rumah tangga perlu ditinjau kembali.

Tentang penulis:

Pingkan C. B. Rumondor, M.Psi., Psikolog ialah seorang psikolog klinis dewasa yang tertarik dengan isu hubungan romantis baik pacaran maupun pernikahan, serta trauma. Telah mengikuti workshop Couple and Family Therapy, serta sertifikasi terapis EMDR, dan sertifikasi alat ukur kepribadian Lumina. Penulis adalah dosen mata kuliah psikologi klinis dan juga pembimbing skripsi/magang. Bisa dihubungi di pingkan_rumondor@binus.ac.id.