Gangguan Jiwa dan Pertanggungjawaban Pidana dari Kacamata Psikologi Forensik
Pada Senin, 22 Maret 2016, yang lalu, Asosiasi Psikologi Forensik (Apsifor) Jabodetabek yang baru dibentuk akhir tahun 2015 yang lalu mengadakan Forum Belajar pertama di Universitas Taruma Nagara, Jakarta Barat. Penulis, selaku pengajar psikologi klinis merasa perlu menghadiri forum belajar tersebut untuk memperlengkapi diri mengajar materi Psikologi Forensik.
Forum belajar APSIFOR ini mengangkat tema “Gangguan Jiwa dan Pertanggungjawaban Pidana” dengan pembicara: Kompol Evie Mahrita, Psi., dari Biro Psikologi SSDM POLRI dan Romy Leo Rinaldo, advokat, aktivis LBH Jakarta. Setelah dua pembicara memaparkan materinya, dimulailah diskusi dan tanya jawab, dimana Nathanael Sumampouw, ketua APSIFOR Jabodetabek menjadi moderator.
Kompol Evie selain adalah seorang polisi yang kemudian menempuh pendidikan menjadi psikolog. Saat ini, beliau banyak menangani kasus gangguan jiwa dan pertanggungjawaban pidana. Di awal pemaparannnya, Kompol Evie bercerita bahwa Polda akan membuat divisi forensik yang terdiri dari empat bidang, diantaranya psikologi dan kedokteran. Menurut pandangan beliau, psikologi forensik menjadi bidang yang diminati, sebagai efek dari film Crime Scene Investigation (CSI) yang menggambarkan kerja penyidik yang berlatar belakang psikologi. Ia juga bercerita bahwa awal terbentuknya APSIFOR diinisiasi oleh polisi yang merasa ‘kurang ilmu’ (psikologi) yang kemudian bertemu dengan ilmuwan psikologi yang ‘kurang praktek’.
Dalam pemaparannya, Kompol Evie menceritakan pengalamannya dalam menangani kasus kriminal yang khas dan terkait dengan ilmu psikologi. Misalnya saja kasus Ibu D yang membunuh anaknya sendiri. Dalam menghadapi kasus tersebut, beliau kemudian mempelajari kasus-kasus sebelumnya yang sejenis. Dari penelusuran tersebut, beliau melihat ada inkonsistensi dalam pertangungjawaban pidana. Pada beberapa kasus, pelaku dengan ciri ganggungan jiwa dikenai pertanggungjawaban pidana, dengan kata lain: menghabiskan masa hukuman di Lembaga Pemasyarakatan. Namun pada kasus lainnya, pelaku dengan ciri gangguan jiwa bisa bebas dari hukuman dan direhabilitasi di Rmah Sakit Jiwa. Menurut pengamatan Kompol Evie, biasanya pada kasus-kasus yang tergolong berat dan menjadi perhatian publik, pelaku tetap menjalani hukuman meskipun menununjukkan ciri gangguan jiwa. Misalnya pada kasus S dan R yang memakan korban dan memutilasi korban.
Pada pertemuan tersebut ada beberapa permasalahan yang dilontarkan oleh Kompol Evie dan didiskusikan bersama. Permasalahan tersebut antara lain: 1) Siapakah yang menentukan pertanggungjawaban pidana? Psikolog, Psikiater, atau Ahli Pidana? 2) Apakah pertanggungjawaban pidana adalah sebuah dikotomi? Kalau ‘sadar’ artinya ia dapat bertanggung jawab, kalau tidak ‘sadar’, dia tidak dapat bertanggung jawab? 3) Terdapat perbedaan persepsi mengenai gradasi perilaku di antara ahli psikologi dan psikiatri. 4) Terdapat perbedaan persepsi tentang gradasi perilaku antara hukum dan psikologi. 5) Terdapat celah hukum bagi tersangka untuk meminta keringanan hukuman. 6) Jenis gangguan jiwa seperti apa yang bisa dimintakan pertanggungjawaban pidana? 7) Kapan pelaku dinyatakan tidak kompeten untuk dimintai pertanggungjawaban? 8) Apakah fungsi hukuman bagi pelaku dengan gangguan jiwa. 9) Apakah rehabilitasi adalah jalan terbaik untuk pelaku kejahatan yang tidak dapat dimintai pertanggungjawaban? 10) Bagaimana dampak bagi psikolog saat tersangka atau terdakwa berhak untuk mengusahakan dan mengajukan saksi (termasuk saksi ahli psikolog) yang meringankan? Jika kurang puas dengan saksi ahli dari satu psikolog, kemudian meminta dari psikolog lain, siapkah psikolog ‘diadu domba’?
Diskusi topik-topik di atas belum 100% tuntas, tetapi membuka wawasan penulis mengenai perdebatan yang ada dalam psikologi forensik di Indonesia. Bidang psikologi forensik ini menjadi bidang yang menantang, tapi diperlukan. Jika pembaca ada yang berniat menjadi seorang psikolog forensik, maka teruskanlah niat tersebut, masih banyak ruang untuk mengembangkan psikologi forensik di Indonesia.
Tentang penulis:
Pingkan C. B. Rumondor, M.Psi., Psikolog ialah seorang psikolog klinis dewasa yang tertarik dengan isu hubungan romantis baik pacaran maupun pernikahan, serta trauma. Telah mengikuti workshop Couple and Family Therapy, serta sertifikasi terapis EMDR, dan sertifikasi alat ukur kepribadian Lumina. Bisa dihubungi di prumondor@binus.edu.
Comments :