Judulnya “journal-like” bukan? Memang tidak seperti judul pada beberapa artikel saya sebelumnya. Kali ini saya mencoba membuka  dengan cara yang lebih ilmiah, meskipun sebenarnya ide artikel ini terinspirasi dari sebuah kejadian yang baru saja terjadi. Kejadian yang membuat dunia musik kembali berduka, yakni rockstar yang dikenal sebagai vokalis band Linkin Park, Chester Charles Bennington, meninggal dunia. Chester bunuh diri dengan menggantung dirinya menggunakan ikat pinggang. Sampai artikel ini dituliskan, belum ada penyebab yang pasti mengapa Chester mengakhiri hidupnya, namun salah satu media berita daring Inggris mengatakan bahwa di awal tahun ini Chester sempat menceritakan mengenai ketergantungannya pada obat-obat terlarang dan depresi yang dirasakannya. Mungkin saja ini salah satu triggernya, namun belum tentu dapat menjelaskan penyebab utama Chester bunuh diri. Crichton-Miller (1931) dan Maris et al.(2000) menjelaskan bahwa bunuh diri didasari motif yang  sangat kompleks dan tumpang tindih sehingga tidaklah mungkin memastikan etiologi bunuh diri. Tingkat kepastian etiologi bunuh diri dapat ditentukan jika kita sangat akrab dengan hidup orang tersebut.  Crichton-Miller dalam artikelnya yang bertajuk “Psychology of Suicide” menjabarkan tiga penyebab bunuh diri dalam tiga poin besar, yakni: (a) Physical pain, (b) Social sufferings and fears, (c) Doubts and dreads pertaining to the hereafter.Pada artikel ini saya akan fokus membahas poin kedua. Mengapa? Tentu karena ranah psikologi lebih erat kaitannya dengan poin tersebut.

Saya akan menceritakan sedikit mengenai kasus-kasus yang dihadapi dr. Crichton-Miller terkait dengan poin kedua. Kasus yang dihadapi dr. Crichton-Miller mungkin bisa dikatakan hampir mirip dengan kasus Chester.  Pasien dr. Crichton-Miller adalah seorang pria yang mengalami depresi pada usia awal 40 tahun sama seperti Chester. Depresi yang dirasakan dipacu karena pasien merasa kesepian atau tidak terkoneksi secara sosial dengan baik.  Beberapa kasus yang lain menceritakan bahwa pasien yang bunuh diri disebabkan karena belum mampu memiliki self-love dan tidak menerima penghinaan dari orang lain. Salah satu unsur self-love yang memiliki peluang menjadi salah satu faktor yang dapat mengurangi resiko untuk mengambil keputusan bunuh diri adalah self-compassion (Martinez, 2017). Self-compassion adalah bentuk kasih sayang pada diri sendiri berupa keterbukaan pada penderitaan yang dialami, tidak menghindarinya, melainkan melihat penderitaan atau hal-hal negatif yang terjadi sebagai bagian dari pengalaman hidup manusia secara lebih luas (Neff, 2003). Lalu apakah self-compassion juga dapat memprediksi munculnya kesepian?

Hasil penelitian Akin (2010) yang menyatakan bahwa dorongan self-compassion akan mengurangi resiko kesepian dan depresi. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa self-compassion memiliki dampak langsung terhadap kesepian. Individu yang memiliki skor yang tinggi pada dimensi-dimensi self-compassion (self-kindness, common humanity dan mindfulness) cenderung tidak kesepian (Akin, 2010). Nah, kalau begitu self-compassion harus kita tingkatkan bukan? Bagaimana caranya? Menurut Neff (2003), salah satu cara meningkatkan self-compassion adalah dengan peran orang-orang di sekitar yang menolong untuk melawan kecenderungan mengkritik diri sendiri, mengenali kapan saat yang tepat untuk terhubung dengan orang lain dan menangani emosi dengan lebih tenang sehingga semuanya tampak jelas dan jernih.

 

Hidup tidak bisa ditebak, mungkin bantuan dari orang-orang di sekeliling belum tersedia, kita sudah terlanjur merasa ingin segera mengakhiri hidup, lalu siapa yang bisa menolong? Menurut saya, semuanya akan kembali pada apa yang ada di dalam diri kita. Saya akan tutup dengan satu kalimat yang membuat saya terkesan yang berasal dari seorang mentor yang saya kagumi. Beliau berkata “ Apa yang ada di luar kita tidak akan bisa mengalahkan kita, asalkan yang ada di dalam kita kuat”.

Referensi

Akin, A. (2010). Self-compassion and loneliness. International Online Journal of Educational Sciences, 2(3), 702-718. Diunduh dari https://www.researchgate.net/publication/49591624_Selfcompassion_and_Loneliness

Crichton-Miller, H. (1931). THE PSYCHOLOGY OF SUICIDE . British Medical Journal, 2(3683), 239–241.

Maris, R. W., Breman, A. L., Silverman, M. M., & Bongar, B. M. (2000). Comprehensive Textbook of Suicidology.New York: Guilford Press.

Neff, K. (2013). Self-compassion: an alternative conceptualization of a healthy attitude towardoneself. Self and Identity, 2, 85–101. Diunduh dari http://self-compassion.org/wp-            content/uploads/publications/SCtheoryarticle.pdf

Tentang Penulis

Febriani Priskila, seorang ilmuwan psikologi khususnya psikologi pendidikan. Berpengalaman sebagai akademisi baik pada pendidikan dasar maupun pendidikan tinggi.  Tertarik mempelajari dan pernah  meneliti topik-topik terkait pendidikan anak berkebutuhan khusus dan academic engagement.